Selasa, 16 September 2008

Tahbisan

Doa Orangtua Selalu Mengiringi

Menjadi romo merupakan kebanggaan yang sangat besar bagi keluarga. Tetapi, perlu diingat bahwa tantangan dunia saat ini luar biasa besar. Enam imam baru dari Keuskupan Surabaya ini ibarat bayi yang masih belajar berjalan. Untuk belajar jalan, diperlukan dukungan dari orangtua dan umat.
Stefanus Markun (56), ayah dari Romo Stanislaus Dadang Ardiyanto, yang berasal dari Ponorogo ini memuturkan, sejak kecil anaknya ingin jadi "orang", di antaranya pegawai dan pejabat, termasuk romo. Jadi romo yang baik, romonya romo, dan mengayomi umatnya.
Pribadi Dadang itu menarik, dewasa, berani memutuskan hidupnya mau ke mana. Tetapi kelemahannya, kata Pak Markun, banyak diam dan terlalu serius menjalani hidup. Orangtuanya ingin Dadang itu humoris, tidak terlalu serius. "Nanti dikira romo ini sombong atau tidak acuh kepada umatnya," tuturnya.
Dia berpesan kepada Romo Dadang bahwa moto yang dibuatnya janganlah menjadi slogan, melainkan digeluti sebagai pengabdian mengikuti Kristus. Kalau istilah Jawanya, Abdi Dalem, itu harus setia kepada tuannya. Tidak boleh mbanggel kepada tuan! Ayahnya berkendak Romo Dadang tidak mementingkan atau tertarik pada orang-orang tertentu, tapi memperhatikan seluruh umat, tidak memandang umat itu kaya atau miskin.

Begitu pula yang dikatakan oleh Yosepha Finansia Trisnasuprapti (58), ibunda Romo Thomas Christiawan CM. Ketika Thomas memutuskan melanjutkan studi di Seminari Menengah Garum, ibunya sempat stres selama tiga bulan, karena anaknya hanya dua. Kakaknya pada waktu itu kelas tiga SMA mau jadi suster, Brigita Desi Ariyani. Pertama kali ibunya mengatakan kepada kakaknya, kalau jadi suster dari SMA kerjanya membersihkan kamar mandi dan kakus.
Begitu mendengar percakapan tersebut, Thomas tergesa-gesa melontarkan ucapan bahwa dia juga mau jadi romo. Kaget, ibunda mengatakan tidak mengizinkan sang anak masuk seminari karena dia anak laki satu-satunya. Tetapi karena keinginan yang sangat kuat, ibunda tidak berbuat apa-apa. "Ya, terserah kamu," kenang Ibu Yosepha.
Akhirnya, sang ibu mengatakan, kalau kamu mau masuk ke seminari, surat-surat kamu urus sendiri. Setelah itu Thombas bilang kepada ibunda: "Saya tidak mempunyai uang untuk biaya surat menyurat dan check up." Ternyata, apa yang dikatakan Thomas itu bohong. "Saya tahu sejak kecil, Thomas suka menyimpan uang di bawah bantal. Bahkan, setiap selesai makan permen di taruh di bawah kasur. Ibu juga tidak boleh mengganti seprei, harus menunggu dulu Thomas pulang dari sekolah."
Setelah sekian tahun menggeluti perziarahan panggilan, Thomas mengatakan serius menjadi romo yang akan mengabdi Tuhan dan melayani sesama. Mendengar itu, Ibunda Thomas berpesan kalau memang mau menjadi romo, pakailah jubahmu sampai mati. Dan, sebelum naik di altar menerima jubah dan stola, pikirkan benar-benar keputusanmu. Kalau memang ya berangkatlah dengan membawa wejangan Ibunda ini. Akhirnya, Ibunda ikhlas mempersembahkan anaknya kepada Tuhan.
Tidak hanya orangtua Romo Dadang dan Romo Thomas yang menyertai jalan panggilan anaknya. Orangtua Romo Lorentius Rony men-sharing keunikan Rony. Rony ini cita-citanya tinggi sekali, displin, dan tidak bertele-tele. Pada waktu itu di Paroki St. Yusup Karangpilang ada kunjungan frater-frater dari Jogjakarta. Dari situlah Rony tertarik untuk menjadi romo. Maka, lulus dari SMAK St. Yusup, Surabaya, dia memutuskan masuk Seminari Menengah Garum, kelas khusus.
Keputusan ini didukung oleh ayahnya. Sang ayah berpesan supaya Rony jangan membedakan umat kaya atau miskin. Kaya atau miskin itu sama saja. “Terlanjur terjun sekalian aja minum air, tidak ada kata nanggung dalam menapaki perziarahan batin ini." pesan Nikolaus Ora Ronggi kepada anaknya. (asep)
*Tahbisan Imam Keuskupan Surabaya dan Kongregasi Misi

Menghapus Mitos Panggilan


“Orang sering kali memiliki mitos yang kurang tepat tentang panggilan. Mereka berkata, 'Saya tidak punya panggilan." Tidak ada istilah seperti itu. Malahan, saya sendiri yang memanggil kamu sekalian untuk menjadi imam-imam bagi umat. Itu juga panggilan! Malahan langsung dari saya.”

Penegasan ini disampaikan Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono dalam kotbah di depan kurang lebih 2.000 umat yang hadir di Gereja Katedral “Hati Kudus Yesus” Surabaya. Sore itu, 14 Agustus, umat berbondong-bondong menyaksikan sekaligus mendukung enam frater diakon yang akan ditahbiskan menjadi imam.
Sembari merayakan Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, umat Keuskupan Surabaya juga mengadakan perayaan besar bagi para imam. Perayaan tersebut adalah tahbisan imam yang dipimpin langsung oleh Mgr. Vinsensius Sutikno Wisaksono. Imam baru itu empat imam Praja Surabaya dan dua imam Lazaris (CM).
Para diakon yang ditahbiskan adalah Felicianus Joni Dwi Setiawan (dari Paroki St. Yosef, Ngawi), Ignatius Prasetyo Ambardy (dari Paroki St. Maria Annuntiata, Sidoarjo), Laurensius Rony (dari Paroki St. Yusuf, Karangpilang, Surabaya), Stanislaus Dadang Ardianto (dari Paroki St. Petrus-Paulus, Wlingi, Blitar), Lorentius Iswandir CM (dari Paroki St. Yusup, Blitar), dan Thomas Christiawan (dari Paroki Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Malang). Ini kali kedua Mgr. Sutikno menahbiskan para imamnya, setelah menjadi Uskup Surabaya.
Pada misa konselebrasi tahbisan imam ini, Mgr. Sutikno Wisaksono didampingi oleh Pastor Paulus Suparmono CM (Provinsial CM Indonesia) dan Pastor P.C. Edi Laksito (Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya). Misa dihadiri lebih dari 100 imam, baik dari Keuskupan Surabaya maupun dari luar. Hampir sebagian besar dari mereka bekerja di Keuskupan Surabaya. Selain untuk mendukung para imam baru, kehadiran mereka dalam upacara tahbisan ini juga sekaligus untuk bernostalgia. Ada juga dari antara mereka yang merayakan ulang tahun imamat.

Kristus yang Lain
Mgr. Sutikno mengingatkan bahwa imamat adalah karunia khas yang diperoleh Gereja. Para imam bertindak sebagai alter Christus, Kristus yang lain. Mereka menjadi Kristus yang hadir di tengah-tengah umat. Untuk itu, mereka perlu mempunyai suatu dasar yang teguh. Yakni, harus mengobarkan karunia Allah yang ada dalam dirinya dan menjadi penyalur rahmat kepada umat.
“Para diakon yang akan ditahbiskan ini layak dipilih dan diteguhkan oleh Allah. Kristus telah memberdayakan dan bukan memperdayai kalian semua yang lemah ini untuk membangun relasi yang intim dengan Allah sendiri. Bukti nyata kedekatan seorang imam dengan Tuhan, nampak lewat doa-doa personal mereka. Lebih dari itu, berkat kekuatan Roh Kudus, para imam semakin didekatkan dengan diri-Nya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Mgr. Sutikno mengajak para imam baru dan imam yang lain untuk rajin mengikuti rekoleksi maupun retret yang diadakan oleh Keuskupan Surabaya. Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memupuk hidup rohani mereka. “Rayakanlah Ekaristi dengan senang hati dan penuh syukur! Tapi ingat, bahwa imam bukanlah seorang tukang misa. Imam juga harus menjadi man of communion, pemimpin dari persekutuan yakni Gereja. Dalam hidupnya, dia harus memupuk cinta kasih pastoral dalam tugas dan pelayanan. Hendaknya kalian bisa akrab satu sama lain, terlebih dengan sesama imam. Lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Carilah harta surgawi dan bukan yang duniawi. Janganlah menjadi gembala-gembala yang malah memakan domba-dombanya. Kenakanlah pakaian hamba dan pengurus rumah tangga Allah dan berusahalah setia dalam perkara-perkara kecil dan juga besar,” papar Mgr. Sutikno.
Tambahnya, menjadi seorang imam tidaklah harus seorang yang cerdas. Tapi satu hal yang dituntut oleh seorang imam, yakni bahwa dirinya haruslah suci. Itu yang harus dibangun dalam diri.
Secara khusus Monsinyur berpesan supaya umat berkenan menerima para imam baru ini sebagai pelayan rohani bagi umat. Mereka adalah Bapa/Romo bagi Anda sekalian yang pantas diterima karena memang mereka adalah para pelayan spiritual. Imam tidak perlu dikasihani. Malahan, kita patut berdoa bagi para imam agar mereka tetap disemangati dan dikuatkan oleh Roh Kudus.

Dari berbagai tempat
Seperti biasanya, misa penahbisan didatangi oleh banyak umat dari penjuru Keuskupan Surabaya. Banyak umat yang hadir dari berbagai paroki. Tak ketinggalan juga para adik kelas dari imam baru ini, yakni para frater yang berasal dari Seminari Tinggi Interdiosesan “Beato Giovanni XXIII” dan Seminari Tinggi CM S-1 (Langsep) dan S-2 (Badut), di Malang. Banyaknya umat yang hadir tidak membuat suasana upacara menjadi riuh.
Bertugas sebagai seremonarius misa kali ini adalah Pastor Dicky Rukmanto (Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya). Untuk mengurangi ketegangan umat, sesekali Pastor Dicky membuat umat tersenyum karena gayanya. Pastor yang pernah bertugas sebagai Direktur Tahun Rohani di Malang ini sekarang bertugas di Paroki St. Stefanus, Tandes, Surabaya.
Mewakili para imam baru, Pastor Thomas Christiawan CM menyampaikan sambutan. “Imamat bukanlah akhir bagi kami, tetapi malah sebaliknya menjadi awal bagi perjuangan kami, para imam baru. Seperti halnya seorang atlet yang akan mengikuti pertandingan olimpiade, kami menganggap bahwa diri kami ini masih baru lolos kualifikasi dan akan bertanding di ajang olimpiade sesunggungnya.
"Kami baru masuk dan berjuang dalam laga pertandingan. Masih banyak tantangan yang akan kami hadapi dan kami akan berusaha untuk tetap menjadi imam sampai akhir hayat kami. Untuk itu, kami tetap mohon doa dan dukungan dari umat agar kami senantiasa setia sampai akhir. Justru karena kami ini lemah, Allah berkenan memilih kami sebagai sarana penyalur rahmat bagi umat,” ucap Rm. Thomas, yang banyak dikenal oleh teman-temannya karena badannya yang kurus.
Sebuah wejangan menarik disampaikan oleh Bapak Stefanus Markun (ayahanda Pastor Dadang Ardianto). Dia menyampaikan bahwa para imam harus siap setiap waktu untuk menjadi gembala yang baik. “Menjadi gembala harus siap menghadapi segala risiko. Bukan hanya harus siap untuk menggembalakan domba-domba, tetapi harus siap juga untuk di-kencingi dan di-srinthili oleh kambing-kambingnya.
"Kami akan bangga bila anak-anak kami menjadi imam yang sukses dan dapat menggembalakan umat dengan penuh kesetiaan. Sebaliknya, kami orangtua para imam, akan menjadi stres ketika anak-anaknya dirasani oleh umat. Bahkan, bisa saja kami akan cepat mati kalau mendengar berita yang menyedihkan tentang anak-anak kami,” katanya. Oleh karena itu, Markun mengajak para imam baru untuk mau belajar dari para romo senior. Secara khusus, para orangtua memohon supaya para romo senior berkenan mendampingi dan membimbing anak-anak kami yang masih muda-muda ini.
Usai misa, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah yang diadakan di samping Katedral. Dalam acara ini, Mgr. Sutikno juga mempersembahkan sebuah lagu bagi para hadirin. (Dhani Driantoro)

OMK

Terhambat Budaya Instan

Mengapa orang muda tidak banyak aktif yang aktif di gereja dan masyarakat? Mengapa sangat sulit melakukan kaderisasi? Agustinus Hary Santoso, staf Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota), menyebut pola pikir cepat yang ingin mendapat hasil instan, tanpa kerja keras. Juga ada krisis kepercayaan orang tua terhadap anak muda.
“Anggapan orang muda tidak dipercaya masih melekat dalam diri orang tua. Pola pikir orang muda dan orang tua harus diubah untuk menemukan nilai-nilai yang perlu dibangun dalam hubungan dengan orang tua maupun di setiap kegiatan yang diikuti kaum muda,” ujar Hary Santoso kepada JUBILEUM.
Mantan relawan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia ini juga melihat banyaknya pastor yang tidak bisa sejalan dengan jiwa anak muda. Belum lagi kurangnya dampingan dari hirarki, entah itu pastor atau suster. “Selama ini memang ada latihan kor untuk tugas mingguan. Di beberapa tempat memang ada anak muda yang begitu komit untuk pelayanan, tetapi di lain tempat pelayanan hanya dianggap sebagai suatu rutinitas belaka. Ini bahaya. Anak muda kehilangan spirit, kesadaran untuk membangun lingkungannya memudar.”
Lantas, apa langkah yang sebaiknya diambil oleh orang muda sendiri? Hery mengemukakakan harus ada kesadaran yang timbul dari dalam diri orang muda itu sendiri. Apa yang dapat dikembangkan untuk gereja dan masyarakat. "Itu yang harus ada dalam pikiran orang muda,” tegas relawan rehabilitasi gempa bumi di Aceh ini.
Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk masyarakat, misal pengolahan limbah atau pemberdayaan petani. Dulu ada Pelatihan Sosial Vinsensian untuk melatih kepekaan orang muda terhadap lingkungannya, tetapi kelanjutannya tidak ada. Orang muda harus berani keluar dari dirinya dan lingkungannya. “Buat suatu perkumpulan orang muda yang dapat berguna dan menolong dirinya dan orang lain di luar gereja,” pesannya.
Tamatan Sekolah Menengah Pendidikan Sosial Stella Maris ini juga menandaskan, keberhasilan karya orang muda tidak dapat dilihat dari materi yang didapat, tetapi berapa banyak orang yang terlibat, juga berapa banyak orang yang akhirnya diberdayakan, dapat membangun dirinya sendiri. “Pola pikir instan dan sesuatu yang direncanakan instan hasilnya cendrung instan. Sebaliknya, perencanaan matang dan pola pikir yang positif dapat menghasilkan keberhasilan,” tegas pria kelahiran Lumajang 28 tahun lalu ini.
Peran sekolah tidak kalah pentingnya. Banyak hal yang dapat dilakukan, tidak hanya kemampuan kognitif yang dibangun, tetapi psikomotor dan kepekaan akan lingkungan. “Sehingga, orang muda itu sudah dibentuk sejak dini menjadi aktif dan kreatif.” (marianus)

OMK

Catatan dari World Youth Day Sydney 2008
Oleh Elizabeth Atik

“You will receive power when the holy spirit has come upon you; and you will be my witnesses.” (Acts 1:8). Kutipan dari Kisah Para Rasul tersebut merupakan tema yang diusung Bapa Paus Benediktus XVI pada acara World Youth Day 2008 di Sydney yang berakhir pada 20 Juli lalu.

Tentu saja bukan secara kebetulan, melainkan secara khusus dipilih sebagai tema yang mendasari seluruh kegiatan yang berkaitan dengan World Youth Day tahun ini. Harapan Paus Benediktus XVI kepada kaum muda seluruh dunia agar tema tersebut menjadi pegangan kaum penerus gereja dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat maupun berketuhanan. Kaum muda hendaknya semakin mendekatkan diri serta bersedia membuka hati terhadap kedatangan Roh Kudus untuk berkarya di hati dan jiwa yang terus berkembang ini.
Tema tersebut juga menjadi jiwa dalam WYD08 THEME SONG berjudul Receive The Power. Setiap kalimat yang ada dalam lagu ini mencerminkan betapa agungnya Roh Kudus yang dikirim Tuhan Allah untuk menjaga kita, umat-Nya, di dunia.
Rangkaian acara WYD 08 sungguh memberi kesan yang mendalam bagi saya baik selama berada di kota Goulburn, Canberra, maupun Sydney. Rombongan yang saya ikuti merupakan kerja sama antara Komisi Kepemudaan Keuskupan Surabaya dengan Komunitas Emanuel. Berbagai acara pendahuluan WYD 08 seperti International Youth Forum yang diselenggarakan di Goulburn dan Canberra sangat menyentuh hati saya. Selama di Goulburn, rombongan Surabaya tinggal di berbagai tempat, yaitu rumah-rumah keluarga, pastoran, serta susteran. Kebetulan saya dan 9 teman lain dari Surabaya mendapat tempat di Susteran St. Yoseph.
Perlakuan istimewa yang diberikan benar-benar membuat kami merasa sebagai tamu yang spesial. Selain itu, acara-acara yang disiapkan panitia seperti Misa, Fun Forum, Workshop, dan Teaching Session juga membuat hati saya secara spiritual siap mengikuti World Youth Day Sydney.
Peserta IYF Goulburn juga mengunjungi ibu kota Australia, Canberra, selama sehari untuk mengikuti berbagai acara seperti Misa Kudus yang dipimpin oleh Archbishop of Canberra and Goulburn Mark Coleridge, Permainan Musik oleh beberapa grup musik dan Priest Band, Seminar, Pameran, serta Adorasi.
Puncak acara International Youth Forum Goulburn ditutup dengan Thanksgiving Dinner yang diselenggarakan sebagai ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya IYF dan para orang tua yang sangat menyayangi kami para anak asuh dari berbagai negara yang tinggal bersama mereka selama beberapa hari. Dalam acara tersebut, rombongan Surabaya mempersembahkan beberapa tarian yang menggambarkan ragam permainan tradisional khas Indonesia dengan memakai kain batik sebagai aksentuasi pada pakaian dan kepala. Acara ditutup dengan tampilnya Priest Band yang beranggotakan pastor-pastor dari berbagai negara yang membawakan lagu-lagu rohani yang sangat easy listening.
Acara World Youth Day Sydney berlangsung 15--20 Juli 2008, diawali dengan Misa Pembukaan yang dipimpin oleh Cardinal George Pell dan berlangsung secara meriah dan akbar di Barangaroo, sebuah kawasan di tepi Sungai Darling yang mampu menampung puluhan ribu orang. Berbagai acara digelar seperti Vocations Expo (Expo Panggilan), Adoration (Adorasi), Performing Arts (Pentas Seni), Film Screenings (Pemutaran Film), Forums and Conversation (Dialog dan Forum), Workshops, dll.
Pada 17 Juli 2008 bertempat di Barangaroo, para peziarah dengan meriah menyambut kedatangan Paus Benedictus XVI di Sydney yang menumpang kapal Captain Cook Cruises “Sydney 2000.” Di atas kapal tersebut, Paus menerima perwakilan pemuda dari berbagai negara dan benua serta memberikan berkat kudus. Setelah turun dari kapal, Paus berkeliling memberikan berkat kepada para peziarah yang sudah menanti di tepi-tepi jalan menuju Barangaroo menggunakan “Popemobile”.
Acara penyambutan kedatangan Paus Benedictus XVI diterjemahkan dalam berbagai bahasa, ditayangkan melalui beberapa layar besar dan disiarkan melalui radio dan televisi. Sepulang dari Barangaroo, Paus tetap memberikan berkat kepada masyarakat yang masih menanti di tepi jalan dengan tertib.
Drama Stations of Cross (Jalan Salib) berlangsung pada 18 Juli diawali di Katedral St. Mary dengan melalui The Domain, Sydney Opera House, Darling Harbour dan berakhir di Barangaroo. Jalan Salib ini menjadi momen spiritual dan evangelisasi bagi para peziarah untuk lebih mencintai Kristus yang telah sangat berkorban untuk menebus dosa kita umatnya.
The Pilgrimage Walk dimulai pada 19 Juli menuju ke Randwick Racecourse, Southern Cross Precinct. Perjalanan panjang ini dimulai di 4 titik dan diikuti oleh seluruh peziarah dari berbagi negara yang berjalan bersama dengan tertib sambil menyanyikan berbagai lagu dan meneriakkan yel-yel. Pilgrimage Walk menggambarkan perjalanan panjang yang dilalui para peziarah dahulu untuk mencari penguatan terhadap iman sebagai saksi Kristus. Selain itu, untuk belajar menemukan Yesus, meningkatkan solidaritas terhadap sesama yang berasal dari bermacam ras dan suku bangsa karena dalam perjalanan ini banyak suka duka yang dirasakan mengingat rutenya yang jauh dan melibatkan banyak orang.
Pada malamnya diadakan acara Evening Vigil sebagai pengantar pengharapan terhadap kedatangan roh kudus. Sleeping under the stars atau tidur di bawah bintang-bintang di malam hari merupakan pengalaman yang menarik. Para peziarah diajak bermalam di lokasi yang biasanya dipakai sebagai arena pacuan kuda (Randwick Racecourse). Dinginnya hawa Sydney di malam hari semakin menambah serunya acara Sleeping Under The Stars.
Pagi 20 Juli merupakan puncak dari acara World Youth Day Sydney 2008, yaitu Misa Kudus dan Pemberian Sakramen Krisma kepada perwakilan umat dari seluruh dunia oleh Paus Benedictus XVI. Misa kudus ini selain dihadiri oleh para peziarah, juga warga sekitar Sydney serta pejabat setempat. Dalam misa ini Bapa Paus juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat dan pejabat Australia yang telah menyelenggarakan acara WYD 08 dengan baik dan kepada para peziarah yang telah datang dari berbagai belahan dunia. Misa ditutup dengan pengumuman tuan rumah World Youth Day 2011 berikutnya, yaitu Madrid, Spanyol, dan pemberian berkat kudus yang telah ditunggu-tunggu.
Walaupun rangkaian acara World Youth Day Sydney 2008 telah berakhir, api Roh Kudus diharapkan tetap menyala dalam hati serta terpancar dalam semua tindakan yang dilakukan. SAMPAI JUMPA DI WORLD YOUTH DAY MADRID 2011. (*)

Hening

Mengenal Meditasi Kristiani

*Komunitas Meditasi Terbentuk di Stasi Krian

Untuk pertama kalinya Komunitas Mondial Meditasi Kristiani Indonesia hadir di Stasi Kebangkitan Kristus, Krian, Sidoarjo. Pada 18 Agustus, bertempat di Aula SMAK Untung Suropati, komunitas ini diresmikan oleh Pastor Paroki St. Yosef Mojokerto Romo Th Djoko Nugroho Pr.

Peresmian dihadiri oleh 40 orang dari Stasi Krian. Diawali dengan misa, Romo Siriakus Maria Ndolu, O.Carm kemudian memperkenalkan meditasi Kristiani serta melakukan praktek meditasi. Romo Djoko Nugroho melihat betapa pentingnya meditasi bagi umat Kristiani. Di tengah kesibukan kita, kita perlu ada waktu untuk hening, kontemplatif, untuk menghadirkan Tuhan dalam berbagai suasana.
Meditasi tidak perlu banyak kata-kata. Yang pertama yang perlu dilakukan oleh adalah mengenal meditasi. Harapannya, kita menyediakan waktu untuk mempraktekan meditasi ini. Paling tidak ada 20 orang yang melakukannya. Kalau sudah banyak, perlu dipecah lagi.
Menurut Romo Djoko, meditasi pusatnya adalah Kristus. Supaya bisa bersatu dengan Kristus melalui kesatuan adalah kasih. Kalau kesatuan tanpa kasih, maka tidak akan sesuai dengan misi Umat Kristiani. Selain itu, perlu ditekankan perbedaan meditasi Kristiani dengan meditasi-meditasi lainnya. Kita harus lepas dari segala kepentingan-kepentingan supaya komunitas ini jadi besar. "Saya melihat ini sebagai sesuatu yang positif," ujarnya.

Irenius Noertono TO Carm, (75) koordinator Meditasi Kristiani Stasi Krian, yang juga Kamelit awam, memandang meditasi ini sebagai salah satu jalan untuk mengalami hidup rohani. Saat bermeditasi tidak ada permohonan, kita hanya memusatkan diri akan kehadiran Allah. Dari situ Tuhan akan berkarya dalam diri kita. Manfaat meditasi ini agar kita bisa menyerahkan diri pada Allah. Hasilnya mampu menjembatani hidup rohani kita dengan hidup konkret sehari-hari tetap menjadi satu, karena keduanya bersumber pada Allah sendiri. Memang metodenya sangat sederhana, tapi kita perlu konsentrasi supaya gangguan-gangguan itu hilang.
Sebagai pendamping komunitas Meditasi Kristiani, Romo Siriakus menjelaskan, meditasi merupakan tradisi kuno yang dikenal dengan doa monologistos, yakni doa dengan satu kata. Tradisi doa ini ditemukan kembali oleh Jhon Main, seorang rahib Benediktin asal Irlandia. Dia menamakan doa kuno itu Meditasi Kristiani.
Meditasi Kristiani adalah sebuah metode meditasi dengan menggunakan mantra (kata doa) sebagai alat bantu untuk mengarahkan hati dan seluruh diri kita kepada Allah yang berdiam dalam diri kita. Mantra menyatukan keterpecahan yang ada di diri kita, menyatukan semua indra kita dan memfokuskannya pada kehadiran Allah yang berdiam dalam diri kita.
Meditasi dengan menggunakan mantra ini terkait secara langsung dengan Pater Jhon Main OSB, penemu dan pengembang meditasi ini. Ketika bertugas di Malaysia, dia bertemu dengan Swami Satyananda. Dan waktu kunjungan pertamanya ke pusat meditasi di pinggiran Kuala Lumpur, Swami berkata:
“Untuk melalakukan meditasi, engkau harus belajar tenang. Engkau harus duduk diam, tenang, dan berkonsentrasi. Dalam tradisi kami, kami hanya tahu sat jalan untuk mencapai ketenangan dan konsentrasi itu. Kami menggunakan satu kata yang disebut mantra. Untuk memulai, engkau harus relaks dan kemudian mengulangi mantra itu, dengan perasaan cinta dan terus-menerus. Hanya itu saja yang perlu dilakukan dalam bermeditasi.”
Kemudian, Jhon Main ditahbiskan dan menjadi kepala sekolah di Washington, Amerika Serikat. Dia bertemu dengan seorang anak muda yang menanyakan kepadanya soal doa kontemplatif. Ini mendorong dia untuk menggalinya. Dia belajar literatur rohani abad keempat. Lantas, ia berjumpa dengan mantra dalam ajaran Yohanes Kasianus yang termuat dalam bukunya The Conferences (bab 10).
Yohanes Kasianus adalah rahib abad keempat yang berguru pada Abba Isaak. Ia diperkenalkan dengan formula, “Ya Allah bersegeralah menolong aku” (Mzm 40:14). Mengembangkannya berdasarkan tradisi teologi dan biblis Katolik. Perintahnya sederhana saja: “Duduklah dengan tenang, duduklah dengan punggung tegak, tutuplah mata, dan ucapkan mantramu."
Mantra yang dianjurkan ialah Maranatha, berasal dari bahasa Arab yang artinya datanglah ya Tuhan. Kata Maranatha diucapkan secara datar dengan empat suku kata, atau kalau mau dua suku kata, diselaraskan dengan irama pernapasan. Mara (tarik napas) Natha (embuskan). Atau Ma (tarik) Ra (embus) Na (tarik) Tha (embus).
Mengapa memakai kata Maranatha? terdapat dalam St. Yohanes menutup Kitab Wahyu (22:20) dengan kata itu, atau St. Paulus menutup surat pertama Korintus (1 Kor 16: 22) dengan kata itu juga. Barangkali ini adalah doa Kristen yang tertua.
Menurut Jhon Main, yang membedakan meditasi Kristiani dengan meditasi lain adalah meditasi ini bukan untuk menyembuhkan, bukan untuk mendapatkan kesaktian, dan tidak mendapatkan apa-apa. Meditasi ini hanya untuk mendekatkan atau menghadirkan Allah pada diri kita agar kita menemukan buah-buah roh. Sebuah penelitian menyatakan, kalau kita bermeditasi, maka otak kita akan mengeluarkan saraf penenang. Anda akan mengalami ketenangan kalau melakukan meditasi ini dengan baik. (sil)