Minggu, 29 Maret 2009

Felis - The Cat


Laku Lagak Kucing Kampong

Bekerjasama dengan Petra Togamas-Toko Buku, Jl. Pucang Anom Timur No. 15, Romo Yohanes Gani Sukarsono, CM bersama rekan seprovesinya menjadi tukan foto, yakni B.G. Fabiola Natasha mengelar pameran foto di gedung Seruling Bambu Art Space.

Pameran foto yang bertajuk Felis-The Cat mengisahkan Laku Lagak Kucing Kampong. Pameran foto ini berjumlah 30 foto dipameran dengan gaya minimalis. Saat kita masuk ke dalam gedung tersebut melihat ucapan berupa karangan bunga.

“Setting tempat pun dibuat berbentuk huruf U, ditengah-tengah ada dua pilar yang dikombinasi dengan kain Bali dengan ciri khas, yakni hitam kotak-kotak.”

Berbagai ekspresi kucing kampung ini bergaya, bak model yang sedang bergaya di atas panggung. Bahkan setiap foto yang semuanya kucing ini diberikan judul dan nama fotografernya.

Seperti foto No. 13 yang berjudul “Tuan dan Hamba” hasil jepretan dari Romo Yohanes Gani Sukarsono, CM. Bahkan foto No. 14 berjudul “Pemilik Kost” hasil jepretan dari B.G. Fabiola Natasha.

Kucing ini seakan-akan pemilik kost, padahal fotografer ini mengambil gambarnya pas berada di bawah tulisan “Terima Kost”. Bahkan sorot matanya kucing ini tajam sekali.

“Dari sinilah mungkin, ide pemberian judul dilihat dari kesetiaan menunggu momen yang pas untuk menghasilkan yang terbaik.”

Seperti yang dikatakan oleh Media Harian di Surabaya mengatakan bahwa mengenai foto ini, salah satu dari hobbynya yang suka berkelana dalam memperjuangkan masyarakat kecil. (sep.)

Kamis, 26 Maret 2009

ITATS Berbenah


Bangun Taman Hotspot
Sejak pertengahan tahun 2008, ITATS mulai berbenah sarana prasarana di lingkup ITATS. Diantaranya di belakang gedung Pelayanan Satuan Atap, tetapi mahasiswa-mahasiswi lebih mengenalnya dengan PSA. Sarana di belakang PSA ini telah direhap menjadi taman hotspot.

Sebelum pembenahan, pertengahan tahun 2008, ITATS membentangkan spanduk yang bert
uliskan “Lahan akan dibangun taman hotpot”. Taman Hotspot menjadi gudangnya ilmu di dunia maya.

“Gaya taman hotspot ITATS ini lebih menonjolkan minimalis. Ada dua pendopo yang dibangun di samping kirinya dan disamping kanannya dibangun pendopo utama yang dibawahnya dikombinasi kolom mini. Lengkap dengan taman yang menghiasi suasana di sekitar gedung B ITATS.”

Mahasiswa-mahasiswi telah lama menanti keindahan taman hotspot ITATS ini. Karena selama ini mereka memakai fasilitas hotspot di depan ruang PSA. Bahkan sering berebut tempat duduk dan aliran listrik.

Untuk mengakomodir hal tersebut, ITATS membangun fasilitas taman hotspot. ”Gunakan fasilitas ini untuk kepenuhan wacana kita sebagai mahasiswa-mahasiswi ITATS.”

Taman menjadi hal terindah bagi manusia di kala mengalami kepenatan dalam menjalani rutinitas. Dengan taman ini, kita disegarkan pikiran layaknya hijaunya daun yang mewarnai keceriahan lingkungan ITATS ini.

Lebih jauh, Hotspot adalah lokasi dimana user dapat mengakses melalui mobile computer (seperti laptop atau PDA) tanpa mengguakan koneksi kabel dengan tujuan suatu jarigan seperti internet. Jaringan nirkabel menggunakan radio frekuensi untuk melakukan komunikasi antara perangkat komputer dengan akses point dimana pada dasarnya berupa penerima dua arah yang bekerja pada frekuensi.

”Jaga taman hotspot kita ini dengan iman dan harapan akan kesuksesan ITATS dan kita sebagai mahasiswa-mahasiswi ITATS.” Berikan yang terbaik untuk ITATS dan kepenuhan pribadi kita. (sep.)

Senin, 16 Maret 2009

Cermin


Jabatan dan Perilaku

Seorang berkata padaku sambil memuji-muji seseorang yang memangku jabatan tinggi di Gereja. Mendengar itu aku hanya tersenyum. Dia bertanya mengapa aku tersenyum sinis? Padahal aku tersenyum biasa saja. Dia berharap aku pun ikut memuji kehebatan bila orang mampu memangku jabatan tinggi di Gereja. Aku tanya apakah hebatnya sebuah jabatan? Dia lalu menjelaskan banyak hal tentang hebatnya sebuah jabatan. Gereja adalah kumpulan umat manusia yang beriman pada Yesus. Mereka adalah bagian dari dunia, yang berarti semua pola pikirnya tetap mengikuti pola pikir yang berkembang di dunia.

Bila umat manusia di dunia menganggungkan jabatan maka anggota Gereja pun menganggungkan jabatan. Memang banyak orang yang tahu dan pernah baca Injil dimana Yesus mengkritik para rasul yang berebut jabatan untuk duduk di sebelah kanan dan kiri atau mengklaim siapa yang terbesar diantara mereka. Tapi apa yang dibaca itu hanya sekedar pengetahuan. Masih jauh dari penghayatan. Bila Yesus menegaskan bahwa orang yang ingin menjadi besar harus melayani atau jabatan untuk melayani, namun kenyataannya jauh dari itu.

Tidak jarang jabatan itu menjadi ajang pamer kekuasaan, sebab memang dunia mengajarkan bahwa sebuah kedudukan terkait erat dengan kekuasaan dan kehormatan. Banyak umat yang jengkel dengan seorang romo yang sering menunjukkan kekuasaanya. Tidak jarang dia mengatakan saya ini romo kepala yang berkuasa atas paroki ini. Bila kebijakannya diserang maka dengan cepat dia mengatakan "Yang menjadi romo paroki itu kamu atau aku?" Aku yakin bahwa Yesus tidak mengajarkan hal itu, tapi pola pikir dunia yang sudah menancap dalam di dalam sanubarinya maka pola pikir dunialah yang muncul sedangkan ajaran Yesus hanyalah sebuah perkataan dan pengetahuan. Dalam budaya Jawa sering orang mengatakan "Wong jawa kok ora njawani."

Hal ini bila ada orang yang bersikap atau bertutur kata tidak sesuai dengan budaya dan adat Jawa. Dari kalimat ini tersirat arti bahwa kejawaan seseorang dilihat dan diukur dari cara dia bersikap dan bertutur kata. Bila dia tidak mampu bersikap atau bertutur selayaknya tata aturan budaya Jawa maka dia dianggap tidak njawani. Dia bukan orang Jawa. Dengan demikian kejawaan seseorang bukan karena dia dilahirkan sebagai orang Jawa atau di tanah Jawa tapi dari cara dia bersikap, bertindak dan bertutur kata. Sebetulnya prinsip ini juga dapat diterapkan pada jabatan. Jabatan adalah sebuah tempat dalam sebuah struktur yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat atau sebuah komunitas. Dalam Gereja ada herarki yang sudah disepakati oleh umat Katolik dimana dalam herarki itu ada tempat-tempat yang diduduki oleh seseorang.

Bila prinsip orang Jawa itu diterapkan dalam Gereja maka seorang romo itu baru bisa disebut sebagai romo bila dia bersikap dan bertutur selayaknya seorang romo. Bukan karena dia menduduki jabatan atau ditahbiskan begitu saja. Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia dikandung oleh Maria dari Roh Kudus, melainkan karena Dia melakukan banyak karya bagi manusia. Dia mengajarkan agar manusia kembali kepada Allah. Keanakallahan Yesus terpancar dari sikap hidup, perkataan dan apa saja yang dilakukanNya. Maka ketika disalib seorang prajurit dengan melihat cara Yesus mati, dia menjadi percaya bahwa orang ini adalah sungguh Anak Allah.

Pertanyaan kecil apakah para romo sudah menunjukkan keromoannya dari tutur kata dan sikapnya? Bila dia sudah menunjukkan keromoannya dari perilakunya, maka dia tidak perlu mengatakan "saya ini romo paroki" atau "siapa yang menjadi romo, saya atau kamu?" Orang yang masih menyatakan jabatan apa yang disandangnya mungkin sebetulnya dia tidak mampu menunjukkan jabatan itu dari sikap hidupnya. Dia adalah seorang romo yang tidak ngromoi, maka perlu menyatakan diri siapa adanya. Bagiku orang seperti ini adalah orang yang patut dikasihani. Maka aku tersenyum. (Gani) Kiriman dari sahabat mailing listku. Hidup, ikan segar!.


Ilustrasi dari image.yahoo.co.id

Minggu, 01 Maret 2009

Pertanian Organik


Penyelamatan Tanah = Menyelamatkan Manusia


Dalam beberapa tahun terakhir ini, Keuskupan Surabaya melalui Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) menggencarkan gerakan pertanian organik. Secara geografis letak wilayah Keuskupan Surabaya memang sangat didominasi wilayah agraris, tentunya tidak sedikit pula umat yang menekuni bidang pertanian atau perkebunan.
Di beberapa vikep sudah ada gerakan pertanian organik, misalnya di Blitar ada Wahana Bina Patria di bawah naungan Yayasan Yosef, di Cepu sudah ada proyek percontohan pertanian organik, dan di Ngawi pertanian organik sudah berjalan cukup lama. Bupati setempat juga sangat mendukung gerakan pertanian organik ini.


Penggalakan pertanian organik menjadi prioritas program PSE tidak hanya di keuskupan semata, namun juga sebagai di tingkat Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Bahkan, dalam medio Maret 2009 KPSE Keuskupan Surabaya berencana mengadakan Pelatihan Pertanian Organik se-Kevikepan Madiun dan Cepu.

Hal ini sebagai bentuk kepedulihan gereja terhadap keberadaan tanah sawah yang semakin lama semakin rusak akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan dalam waktu yang panjang. Kalau tidak diubah dari pola tanam anorganik ke organik, niscaya tanah sawah tak akan lagi bisa berproduksi beras yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Keuntungan dan Kesiapan
Perubahan pola tanam dari anorganik ke organik yang saat ini dicanangkan oleh gereja memang membawa dampak yang baik bagi tanah sawah, namun tidak dalam jangkah waktu yang pendek.
Dari berbagai wawancara yang dilakukan penulis pada orang yang sudah melakukan pola tanam organik, memang perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi petani dalam jangka waktu satu sampai tiga tahun. Tetapi setelah tiga tahun, perubahan itu akan terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi tanah tersebut.

Bahkan, di Ngawi para katalisator pertanian organik (Bambang Gunadi dkk) pada awalnya merangsang dengan cara membeli 10 persen lebih mahal dari harga pasaran.

Sedangkan dari beberapa petani yang berhasil ditemui di sekitar penulis bermukim menyatakan bahwa pertanian organik itu bagus, tetapi terlalu lama dan hasilnya sedikit, sehingga berpengaruh langsung terhadap penghasilan. Selain itu, "Kami belum tahu di mana mendapatkan benih organik beserta pembasmi hamanya. Sedangkan seandainya membuat pupuk sendiri, sawah kami tak tergarap."

Perubahan Pola Tanam
Dalam perubahan pastilah membawa dampak, entah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan dari semua sisi kehidupan. Begitu pula dalam upaya penyehatan tanah kembali atau mengubah pola tanam dari anorganik yang selama ini dilakukan oleh petani, menjadi pola tanam organik supaya pada akhirnya tanah dapat terus berproduksi dan hasil panen petani dapat melebihi dari pada hasil anorganik bukanlah pekerjaan yang mudah.

Karena hal tersebut membawah perubahan terutama menyangkut ekonomi, bagi petani yang sudah lama melakukan perubahan pola tanam tentunya sudah melewati situasi penurunan produksi bahkan sudah mengalami peningkatan hasil panen, tetapi bagi yang baru atau akan melakukan perubahan tentu saja akan merasakan penurunan produksi selama satu sampai tiga tahun ke depan.

Penurunan tersebut merupakan situasi yang tidak menyenangkan bagi petani yang baru melakukan perubahan pola tanam, karena hal tersebut berdampak langsung terhadap perekonomian para petani. Sebagai dampak lain yang ditimbulkan dari penerimaan penghasilan yang mengalami kemerosotan yang tajam tentunya akan berdampak psikologis yang hasus ditanggung oleh petani.

Bagaimanakah gereja menyikapi hal ini? Apakah hanya cukup membeli 10 persen lebih mahal dari harga pasaran? Perlukah dilakukan penyadaran dan pendampingan untuk selalu memelihara motivasi petani, paling tidak sampai kondisi tanah kembali normal dan hasil panen mengalami peningkatan ? Tentunya hal tersebut di atas perlu dipikirkan bersama, sebab bagaimanapun juga upaya penyelamatan sawah yang saat ini digalakkan sama dengan penyelamatan manusia dalam jangka panjang. (Heri Risdianto)

ilustrasi diambil dari http://www.sragen.go.id/