Minggu, 07 Juni 2009

OSIS SMA Santa Maria



Tumbuhkan Rasa Kepedulian dan Kepekaan

Minggu (7/6), OSIS SMA Santa Maria menggelar peduli kasih di pendopo Santa Maria. Peduli kasih ini dikemas dalam tiga kegiatan. Diantaranya sembako murah, baju layak pakai, dan pengobatan gratis.

Peduli kasih ini kerjasama dengan perawat William Boath dan warga sekitar lingkungan sekolah. Mulai dari kawasan Jl. Tumapel, sampai dengan kawasan perkampungan Dinoyo. Untuk warga sekitar dikoordinir oleh Ibu Margaretha dan Ibu Niken-perwakilan dari SDK, SMPK Santa Maria.

Untuk membatasi dan mengantisipasi warga masyarakat yang datang. Panitia menggunakan sistem kupon dan menyediakan 256 paket sembako. Di antaranya mie instan, gula, dan minyak goreng. Untuk baju layak pakai, panitia menyediakan 200 baju layak pakai. Terdiri dari pakaian dewasa, remaja sampai anak-anak.

Marselina Lilies D. S.Pd, selaku koordinator pelaksana di Pembina OSIS mengatakan penjualan baju layak pakai ditempatkan di depan ruang guru SMPK Santa Maria. Warga masyarakat sekitar bebas memilih baju dengan suka hati dengan harga lumayan terjangkau.

Dengan antusias, mereka memilih bajunya satu per satu sampai anggota OSIS SMA Santa Maria kualahan melayaninya. Walaupun kualahan hati anggota OSIS tetap semangat melayani mereka dengan semangat SERVIAMnya. SERVIAM merupakan semangat dalam menumbuhkembangkan jiwa pelayanan anggota OSIS untuk warga masyarakat, kata Lilies.

Sembako murah ditempatkan di selaras depan ruang Wakasek Kurikulum SMPK Santa Maria. Untuk pengambilan sembako panitia telah menyebarkan kupon seminggu sebelum kegiatan peduli kasih berlangsung, tambah Lilies.
Senada yang diungkapkan oleh ketua panitia OSIS SMA Santa Maria, Florentina Melani W. kegiatan ini salah satu program OSIS. Namun sebenarnya Beras Murah, karena kendala biaya kurang mencukupi untuk beras murah. Kami menggantinya dengan peduli kasih ini, ungkap ketua panitia.

”Kegiatan peduli kasih ini, kami usaha sendiri dan tidak meminta subsidi dari sekolah kita. Karena kami diajarkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian setiap siswa-siswi. Dengan cara mencari donatur dari berbagai pihak.” tambahnya.

Lanjut, melihat kearah pendopo Santa Maria. Panitia men’yulap’nya menjadi poliklinik minimalis. Sebelum masuk di pendopo, disediakan tempat pendaftaran sebelum periksa dokter. Di tengah-tengah pendopo didesain sebagai ruang tunggu lengkap dengan televisinya.
Tak lama kemudian, bagian informasi memanggil beberapa pasien untuk diperiksa dahulu tensinya oleh para perawat. Kemudian, dokter memeriksa keluhannya di ruangan kelas yang telah didesain layaknya ruang dokter. Lengkap dengan meja praktek, tempat tidur, dan wastafel ala SMA Santa Maria.

”Tak lama lagi, dokter memberikan resepnya untuk diberikan kepada bagian obat. Sambil menunggu obat warga masyarakat diberi minum bergizi, yakni kacang ijo tanpa santan. Dan, air mineral serta roti.”

Setelah dikonfirmasi obat yang diberikan itu cuma-cuma. Tidak mengantikannya dengan ongkos obat, terang Lilies. Proficiat OSIS SMA Santa Maria. Salam generasi! (asep)
Caption : 1. TELITI dan telaten memilih satu per satu baju layak pakai, 2. SETIA mendengarkan keluhan pasien. (Foto: DP-OSIS SMA Santa Maria)

Rabu, 03 Juni 2009

Ikan Segar

Temu Kangen Wagu

Yogyakarta, 17 Mei 2009. Tepat pukul 10.00 WIB, pertemuan WAGU (Wadah Arek Garum) dimulai. WAGU sendiri merupakan wadah perkumpulan bagi para mantan seminaris Yogyakarta yang pernah menjalani pembinaan hidup di Seminari Garum.

Pertemuan dihelat secara sederhana di Rumah Makan Sendang Ayu Yogyakarta, dengan acara utama adalah pemilihan ketua baru. Anggota WAGU yang hadir berjumlah 15 orang, kurang dari setengah jumlah total anggota. Pemilihan ketua dilakukan dengan cara sederhana dan lucu. Seperti yang telah menjadi tradisi selama menjadi seminaris, kebiasaan penunjukan sepihak masih dibawa oleh para eksim dalam memilih ketua yang baru.

Ketua lama, Mas Ghoes, menyerahkan jabatan yang telah diembannya selama lebih kurang tiga tahun (2006-2009) dengan begitu gembira dan bahagia kepada Wahyu-Cepoe, WAGU angkatan 2008. Susunan organisasi yang baru dibentuk secara brainstorming siang itu juga, benar-benar khas seminari. Wakil ketua dijabat oleh Janudi, subdivisi para bapak diemban oleh Mas Bimo, dan koordinator divisi mahasiswa oleh Billy dan Aska.

Sub-sub divisi tersebut sengaja dibentuk untuk mempermudah komunikasi antar anggota WAGU yang memiliki rentang zaman kehidupan berbeda. Anggota WAGU tertua merupakan angkatan seminaris tahun 1977, dan yang paling muda adalah eksim Garum angkatan 2005.

Setelah ketua baru terpilih, WAGU-ers sempat curhat dan melontarkan keprihatinan akan keberadaan para eksim yang tidak lagi eksis. Banyak eksim yang ketika mengundurkan diri dari seminari, menghilang begitu saja dan tak terwadahi. Menurut pengamatan Mas Bimo, para eksim yang baru keluar dari seminari pasti merasakan kesepian karena tidak ada yang mau mengerti keputusan mereka mengundurkan diri dari jalan panggilan.

Dunianya sudah berbeda dan mungkin hanya dengan sesama orang yang pernah menjalani kehidupan imam saja yang mampu mengerti. Karena perasaan kesepian berkepanjangan itu, sangat mungkin eksim menjadi antipati terhadap seminari dan menjadi masa bodoh akan dunia almamaternya. Di sinilah komunitas WAGU sebenarnya mengambil peran. WAGU maupun komunitas-komunitas eks-eks yang lain diharapkan dapat menjadi wadah bagi para eksim yang telah mengundurkan diri dari seminari. “Masih ada saudara di sini. Anda tidak sendirian. Kami juga sama seperti Anda. Kami mau mendengarkan Anda."

Curhat WAGU-ers berakhir begitu saja ketika ikan bakar, ikan sambal ijo dan ikan goreng datang. Persaingan hidup mati pun dimulai. Temu kangen WAGU yang semula ceria menggembirakan berubah layaknya pembantaian barbar terhadap hidangan pesta. Tepat pukul 13.30 WIB, dengan perut kenyang yang membuncit, ke-15 WAGU-ers berpencar kembali menuju medan karya masing-masing. Pelajaran kehidupan tak henti-hentinya membanjiri anggota WAGU, bahwa kesolidan memang harus dijaga dan pelayanan terhadap Tuhan harus tetap melenggang. Hidup WAGU. Vivat et Gloria! (Gallus Andi Widyawan)

Caption : Acara santap siang n Sertijab ketua lama ke ketua baru.

Senin, 01 Juni 2009

Sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-43


Konsistensi Pengolahan
dan Penerbitan Media Paroki


“..............demikian juga pada masa kini, karya pewartaan Kristus dalam dunia teknologi baru menuntut suatu pengetahuan yang mendalam tentang dunia jika teknologi itu dipergunakan untuk melayani perutusan kita secara berdayaguna....................”
(artikel 8, Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 43 Bapa Suci Benediktus XVI)

Sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia dengan tajuk ”Menciptakan Manajemen Media Paroki”. Kegiatan ini diadakan di Wisma Pastoran Hati Kudus Yesus, Sabtu lalu (23/5). Dan, dihadir oleh 35 peserta dari beberapa paroki yang ada di Surabaya. Di antaranya pengelola, pelaksana media paroki, dan koresponden Tabloid Jubileum.

Tidak hanya itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh pemerhati media paroki, yakni Romo Eko Budi Susilo-Pemimpin Umum T. Jubileum, Romo Al. Budi Prasetio-Ketua Komunikasi Sosial, Errol Jonathans-Direktur Operasional Suara Surabaya Media.

“Pelaksanaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ini bekerjasama dengan Tabloid Jubileum, Warta Paragonz, dan Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Surabaya.”

Sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh panitia, setelah registrasi peserta. Kegiatan ini dimulai pukul 10.00 oleh moderator kita, Dewa Made R.S. Dan, dibuka oleh Romo Al. Budi Prasetio dengan doa pembuka.

Tak panjang lebar, Dewa memanggil ketiga narasumber dari tim Warta Paragonz untuk menyampaikan materi: bagaimana menciptakan dan mengelola media paroki. Ketiga narasumber dari tim Warta Paragonz, di antaranya Anton Suliyanto, Benyamin T. Gunadi, dan Yunani Luciana.

Yunani selaku pemimpin redaksi menjelaskan pengertian majalah itu sendiri. Setelah kita mengetahui arti dari majalah tersebut. Kita dapat membuat atau menciptakan majalah gereja. Intinya bahwa majalah gereja berisikan tentang pewartaan yang sesuai dengan kebutuhan umat paroki setempat.

Nantinya majalah ini sebagai jembatan antara hirarki, dewan paroki, dan umat. Sifat majalahnya bottom up dengan mengakomodir kebutuhan umat paroki setempat, jelas pemimpin redaksi warta paragonz.

Alhasil, kita dapat menentukan peran dan batas majalah gereja. Dengan begitu persiapan untuk menelorkan majalah gereja dapat dilakukan lebih lanjut. Melalui menentukan konten atau isi majalah, di antaranya rubrik yang akan kita sajian kepada pembaca. Semisal surat redaksi, seputar paroki, liputan kegiatan, sorotan, profil, dan humor.

Lanjut, kita telah siap menerbitkan majalah gereja. Tinggal menentukan tahap preproduksi dan produksi melalui berapa jumlah cetaknya sekali terbit.

”Penentuan terakhir, kita mencari percetakan yang paling murah sesuai kebutuhan kita. Dengan hasil yang maksimal untuk kita sajikan kepada pembaca. Pembaca, kita manjakan melalui media kita.”

Kemudian Anton mensharingkan pengalaman selama menjadi redaksi pelaksana. Redaksi pelaksana menjadi salah satu penentuan kekuatan dari majalah. Karena mereka apinya majalah. Terbit tidaknya majalah juga tergantung pada redaksi pelaksana dan menjadi penentuan.

Penentuan redaksi pelaksana merumuskan kinerja majalah mulai dengan rapat redaksi untuk menentukan tema-tema yang akan disajikan kepada pembaca. Hingga berkesan dan bermakna bagi pembaca, seru redaksi pelaksana.

Selain itu redaksi pelaksana membagi tugas dalam pencarian berita di segala penjuru kepada reporter atau wartawannya. Dan, menentukan deadline artikel untuk reporter.

Redaksi pelaksana juga mempunyai link kepada para kontributor penulis untuk dimuat di kolom tertentu yang telah disediakan redaksi pelaksana.

Bukan hanya itu saja, redaksi pelaksana masih berlanjut tugas mendamping design grafis dalam pembuatan cover. Semuanya telah terhimpun dalam satu kesatuan, mendekati terakhir bagi redaksi pelaksana menentukan tata letak berita yang akan diterbitkan bersama layouter. Layouter bertugas sebagai pengatur letak isi berita untuk didesain secara apik. Sehingga pesannya dapat dimengerti cepat dan jelas oleh pembaca.

Terakhir untuk redaksi pelaksana untuk menentukan proses cek akhir untuk dibuatkan film dalam proses cetak supaya menjadi majalah gereja yang apik dan berimage di mata pembaca. Jadilah majalah gereja dan siap didistribusikan kepada pembaca. Kembalinya redaksi pelaksana memikirkan konsistensi penerbitan majalah dengan satu kata, yakni menghimpun dana penerbitan majalah, tambahnya.

”Jadi penerbitan majalah harus menciptakan sinergi antar tim, bukan saling tergantung kepada yang lainnya. Sinergi membangun kemajuan langkah awal penerbitan majalah gereja. Jaga sinergi ini secara bersama-sama, jangan sampai lepas dan hilang.”

Lain halnya Benyamin selaku pemimpin umum Warta Paragonz menjelaskan fungsi dari komunikasi sosial. Awalnya bertanya-tanya kepada para hirarki. Yang ada jawabannya mengambang di dataran.

Dengan insiatif sendiri, Benjamin memikirkan fungsi dari komunikasi sosial. Komunikasi sosial salah satu bentuk hubungan umat dengan para hirarki untuk saling mengingatkan perkembangan gereja dan iman umat. Sehingga sifat dari komunikasi sosial adalah pewartaan kepada terang Injil yang menjadi garam dan terang dunia, jelas pemimpin umum Warta Paragonz.

WORKSHOP JURNALISTIK

Usai makan siang, sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-43 dilanjutkan kembali. Moderator-Agustinus Sepanca Naryanto memanggil narasumber, yakni Lambertus L. Hurek. Hurek ini, salah satu editor dari Tabloid Jubileum dan bekerja di media harian, yakni Radar Surabaya sebagai redaktur.

Lambertus L. Hurek menjelaskan tentang menulis berita yang lebih pada soft news atau lebih dikenal dengan feature. Salah satu unsur dari feature adalah deskripsi-deskripsi yang memperjelas dan menyentuh hati pembaca, jelas redaktur Radar Surabaya.
Bukan hanya itu, Hurek juga memberikan contoh berita yang ditulis oleh wartawan Kompas, 5 Januari 2004 dengan Lilin Pembawa Berkah di Sendangsono. Berita ini unsur deskripsinya banyak sekali. Menjelaskan kehidupan sehari-hari dan pribadi Mbah Sowiredjo dengan jelas serta detail.

Medianya pun tak lupa dibawahnya sebagai contoh berita soft news. Bahwa soft news merupakan berita yang mengandung 5W+1H, namun dikemas dengan gaya bahasa ringan, dan biasanya beritanya menarik (human interest).

Jadi, berita yang telah terjadi dua Minggu atau pun satu bulan dapat disajikan secara menarik dengan soft news. Dan, di dalam soft news kita harus selalu memakai kalimat langsung di dalamnya, tambahnya.

Untuk media paroki perlu diketahui untuk penulisan berita, janganlah menulis acaranya bagaimana, kapan diadakan, dan apa homilinya romo. Tetapi menjelaskan situasi dan kondisi acara tersebut dengan detail. Sehingga nilai beritanya mempunyai human interest.

Workshop menulis soft news diakhir dengan cafe break selama lima belas menit. Lanjut pada workshop fotografi jurnalstik yang disampaikan oleh Yohanes Totok dari Suara Surabaya.net.

Yohanes Totok mengemukakan pendapatnya mengenai dasar dan teknik foto jurnalistik. Dalam dunia jurnalistik, foto merupakan kebutuhan yang vital, sebab foto merupakan salah satu daya pemikat bagi para pembacanya. Jurnalistik foto adalah fotografi oleh pres dan foto-foto yang dihasilkan untuk pemberitaan disebut foto berita.

“Jadi seorang fotografer Jurnalistik tidak hanya sekedar membidik objek. Tetapi mencari celah-celah supaya dapat masuk dalam momen-momen yang apik. Dan, tidak terburu-buru membidik objek. Lihatlah situasi dan kondisi yang kita hadapi, semisal ada demo tentang pornografi, Forum Pembela Islam mendukung keras undang-undang tersebut.”

Totok mengungkapkan bahwa dia tidak langsung membidik demo tersebut, melainkan mencari celah supaya dapat masuk di situasi demo tersebut. Dengan memakai seikat kain putih sebagai tanda dari Forum Pembela Islam. Barulah membidik aktifitas demo tersebut.

“Karena kalau tidak memakai kain putih taruhnya nyawa dalam bertugas, jelasnya.”

Situasi dan kondisi telah kita kuasai, tinggal kita mencari angel yang paling bagus untuk membidik objeknya. Melalui berbagai posisi dan sudut. Membidik tidak monoton lurus dan vertikal pada objek. Kita bisa dari atas, bawah, samping kanan dan kiri dalam membidik objeknya.

Alhasil, Totok tidak hanya berbicara mengenai dasar dan teknik foto jurnalistik. Melainkan mempraktekkan cara membidik yang benar. Dan, memperlihatkan hasil bidikannya. Di antaranya foto pengusuran stren kali Jagir, Lumpur LAPINDO, PKL Keputran, dan aktivitas TNI.

Dalam materinya, Totok juga menjelaskan perkembangan fotografi jurnalistik. Dasar kelahiran pertumbuhan jurnalistik foto, menurut Soelarko yang dikenal sebagai bapak fotografi di Indonesia, ditentukan oleh tiga faktor, yakni rasa ingin tahu manusia yang merupakan naluri dasar dan menjadi wahana kemajuan, pertumbuhan media massa sebagai audio visual yang memuat tulisan dan gambar, kemajuan teknologi yang memungkinkan terciptanya kemajuan fotografi dengan pesat, jelasnya. (asep)

Caption: 1. MATERI pertama disampaikan oleh tim Warta Paragonz.
2. HUREK sampai soft news. (foto: anton KOMSOS Keuskupan Surabaya)

Koresponden Tabloid Jubileum


Bekali Desain Tata Letak

Usai sambut hari komunikasi sosial sedunia ke-43, tabloid Jubileum mengadakan pertemuan kali kedua dalam menyatukan sinergi antar koresponden daerah dan kota Surabaya.

Pertemuannya diadakan di Wisma Mojopahit Lt. 4 dan ruang Tabloid Jubileum, Sabtu lalu (23/5) dengan dua agenda. Di antaranya menentukan tema 2009 dan pemberian bekal desain tata letak.

Dengan pembicara dari sisi tema disampaikan oleh Dewa Made RS-Koordinator Liputan yang ditemani oleh Agustinus Sepanca Naryanto-koresponden tetap. Dan, pembicara kedua dari sisi tata letak disampaikan oleh F.X. Joko Triyono.

Dewa Made RS menyampaikan konsep tema 2010, yakni dibagi tiga bagian. Di antaranya bagian liturgi, bagian agenda keuskupan Surabaya, dan bagian kemasyarakatan. Ketiga bagian ini mempunyai pengaruh besar bagi kemajuan T. Jubileum dan keuskupan Surabaya. (Lihat tema tahun 2009)

Penjelasan telah disampaikan kepada koresponden. Dewa Made RS memberikan kesempatan kepada koresponden untuk bertanya mengenai tema yang disampaikan. Y. Gatot B. koresponden asal Tuban menanyakan tentang tema bulan Juni bagian kemasyakatannya bahwa ada Pilpres. Pilpres itu akan dilaksanakn bukan bulan Juni, tetapi bulan Juli. Maka mohon dipindahkan ke bulan Juli dan bulan Oktober merupakan bulan Rosario, jabar koresponden asal Tuban.

”Dengan segala hormat, koordinator liputan mengucapkan terima kasih atas partisipasi kawan-kawan koresponden.”

Tambahan, untuk penulisan artikel biasa minimal 4000 karakter. Sedangkan artikel opini minimal 8000 karakter. Foto yang lewat email kurang lebih ukuran 16x10 centimeter dengan resolusi 200 dpi.

Lanjut, pada pembekalan tata letak versi tabloid Jubelium yang disampaikan oleh Joko. Joko salah satu layouter tabloid Jubileum. Sebelum masuk dalam proses cetak, Joko menjelaskan proses pembuatan naskah dari kiriman koresponden daerah. Terima dari koresponden berupa print out. Print out. Supaya tidak ketik ulang lagi, Layouter menggunakan scan teks agar prosesnya cepat.

Tetapi yang paling menyulitkan layouter, koresponden mengirimkan artikelnya dalam bentuk manual atau melalui fax. Kedua cara ini diproses sangat lama sekali. Jadi dihimbau tidak mengirimkan dalam benuk manual atau pun fax.

Begitu pula, layouter memberikan tips mengecilkan foto dengan menggunakan software photoshop dan ACDSee. Dengan cara cropping dan mengurangai resolusi ketajaman gambar.

Akhirnya, selama ini mungkin bertanya-tanya; program apa yang dipakai tabloid Jubelium untuk melayout tabloidnya. Tabloid Jubileum dilayout dengan menggunakan software page maker. Untuk design covernya dikerjakan di photoshop dan desain tata letaknya diproses di page maker.

Koresponden dibekal dengan desain tata letak baik mulai pembuatan kolom, jarak, impor foto, pemberian caption pada foto, dan memberikan kredit foto. Dengan serius koresponden melihat langkah-langkah yang dilakukan oleh Joko Triyono. (asep)


Caption : Joko bekali koresponden dengan desain tata letak. (foto: anton komsos keuskupan Surabaya)

Sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-43









Konsistensi Pengolahan
dan Penerbitan Media Paroki


“..............demikian juga pada masa kini, karya pewartaan Kristus dalam dunia teknologi baru menuntut suatu pengetahuan yang mendalam tentang dunia jika teknologi itu dipergunakan untuk melayani perutusan kita secara berdayaguna....................”
(artikel 8, Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 43 Bapa Suci Benediktus XVI)

Sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia dengan tajuk ”Menciptakan Manajemen Media Paroki”. Kegiatan ini diadakan di Wisma Pastoran Hati Kudus Yesus, Sabtu lalu (23/5). Dan, dihadir oleh 35 peserta dari beberapa paroki yang ada di Surabaya. Di antaranya pengelola, pelaksana media paroki, dan koresponden Tabloid Jubileum.

Tidak hanya itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh pemerhati media paroki, yakni Romo Eko Budi Susilo-Pemimpin Umum T. Jubileum, Romo Al. Budi Prasetio-Ketua Komunikasi Sosial, Errol Jonathans-Direktur Operasional Suara Surabaya Media.

“Pelaksanaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ini bekerjasama dengan Tabloid Jubileum, Warta Paragonz, dan Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Surabaya.”

Sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh panitia, setelah registrasi peserta. Kegiatan ini dimulai pukul 10.00 oleh moderator kita, Dewa Made R.S. Dan, dibuka oleh Romo Al. Budi Prasetio dengan doa pembuka.

Tak panjang lebar, Dewa memanggil ketiga narasumber dari tim Warta Paragonz untuk menyampaikan materi: bagaimana menciptakan dan mengelola media paroki. Ketiga narasumber dari tim Warta Paragonz, di antaranya Anton Suliyanto, Benyamin T. Gunadi, dan Yunani Luciana.

Yunani selaku pemimpin redaksi menjelaskan pengertian majalah itu sendiri. Setelah kita mengetahui arti dari majalah tersebut. Kita dapat membuat atau menciptakan majalah gereja. Intinya bahwa majalah gereja berisikan tentang pewartaan yang sesuai dengan kebutuhan umat paroki setempat.

Nantinya majalah ini sebagai jembatan antara hirarki, dewan paroki, dan umat. Sifat majalahnya bottom up dengan mengakomodir kebutuhan umat paroki setempat, jelas pemimpin redaksi warta paragonz.

Alhasil, kita dapat menentukan peran dan batas majalah gereja. Dengan begitu persiapan untuk menelorkan majalah gereja dapat dilakukan lebih lanjut. Melalui menentukan konten atau isi majalah, di antaranya rubrik yang akan kita sajian kepada pembaca. Semisal surat redaksi, seputar paroki, liputan kegiatan, sorotan, profil, dan humor.

Lanjut, kita telah siap menerbitkan majalah gereja. Tinggal menentukan tahap preproduksi dan produksi melalui berapa jumlah cetaknya sekali terbit.

”Penentuan terakhir, kita mencari percetakan yang paling murah sesuai kebutuhan kita. Dengan hasil yang maksimal untuk kita sajikan kepada pembaca. Pembaca, kita manjakan melalui media kita.”

Kemudian Anton mensharingkan pengalaman selama menjadi redaksi pelaksana. Redaksi pelaksana menjadi salah satu penentuan kekuatan dari majalah. Karena mereka apinya majalah. Terbit tidaknya majalah juga tergantung pada redaksi pelaksana dan menjadi penentuan.

Penentuan redaksi pelaksana merumuskan kinerja majalah mulai dengan rapat redaksi untuk menentukan tema-tema yang akan disajikan kepada pembaca. Hingga berkesan dan bermakna bagi pembaca, seru redaksi pelaksana.

Selain itu redaksi pelaksana membagi tugas dalam pencarian berita di segala penjuru kepada reporter atau wartawannya. Dan, menentukan deadline artikel untuk reporter.

Redaksi pelaksana juga mempunyai link kepada para kontributor penulis untuk dimuat di kolom tertentu yang telah disediakan redaksi pelaksana.

Bukan hanya itu saja, redaksi pelaksana masih berlanjut tugas mendamping design grafis dalam pembuatan cover. Semuanya telah terhimpun dalam satu kesatuan, mendekati terakhir bagi redaksi pelaksana menentukan tata letak berita yang akan diterbitkan bersama layouter. Layouter bertugas sebagai pengatur letak isi berita untuk didesain secara apik. Sehingga pesannya dapat dimengerti cepat dan jelas oleh pembaca.

Terakhir untuk redaksi pelaksana untuk menentukan proses cek akhir untuk dibuatkan film dalam proses cetak supaya menjadi majalah gereja yang apik dan berimage di mata pembaca. Jadilah majalah gereja dan siap didistribusikan kepada pembaca. Kembalinya redaksi pelaksana memikirkan konsistensi penerbitan majalah dengan satu kata, yakni menghimpun dana penerbitan majalah, tambahnya.

”Jadi penerbitan majalah harus menciptakan sinergi antar tim, bukan saling tergantung kepada yang lainnya. Sinergi membangun kemajuan langkah awal penerbitan majalah gereja. Jaga sinergi ini secara bersama-sama, jangan sampai lepas dan hilang.”

Lain halnya Benyamin selaku pemimpin umum Warta Paragonz menjelaskan fungsi dari komunikasi sosial. Awalnya bertanya-tanya kepada para hirarki. Yang ada jawabannya mengambang di dataran.

Dengan insiatif sendiri, Benjamin memikirkan fungsi dari komunikasi sosial. Komunikasi sosial salah satu bentuk hubungan umat dengan para hirarki untuk saling mengingatkan perkembangan gereja dan iman umat. Sehingga sifat dari komunikasi sosial adalah pewartaan kepada terang Injil yang menjadi garam dan terang dunia, jelas pemimpin umum Warta Paragonz.

WORKSHOP JURNALISTIK
Usai makan siang, sambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-43 dilanjutkan kembali. Moderator-Agustinus Sepanca Naryanto memanggil narasumber, yakni Lambertus L. Hurek. Hurek ini, salah satu editor dari Tabloid Jubileum dan bekerja di media harian, yakni Radar Surabaya sebagai redaktur.

Lambertus L. Hurek menjelaskan tentang menulis berita yang lebih pada soft news atau lebih dikenal dengan feature. Salah satu unsur dari feature adalah deskripsi-deskripsi yang memperjelas dan menyentuh hati pembaca, jelas redaktur Radar Surabaya.





Bukan hanya itu, Hurek juga memberikan contoh berita yang ditulis oleh wartawan Kompas, 5 Januari 2004 dengan Lilin Pembawa Berkah di Sendangsono. Berita ini unsur deskripsinya banyak sekali. Menjelaskan kehidupan sehari-hari dan pribadi Mbah Sowiredjo dengan jelas serta detail.




Medianya pun tak lupa dibawahnya sebagai contoh berita soft news. Bahwa soft news merupakan berita yang mengandung 5W+1H, namun dikemas dengan gaya bahasa ringan, dan biasanya beritanya menarik (human interest).




Jadi, berita yang telah terjadi dua Minggu atau pun satu bulan dapat disajikan secara menarik dengan soft news. Dan, di dalam soft news kita harus selalu memakai kalimat langsung di dalamnya, tambahnya.




Untuk media paroki perlu diketahui untuk penulisan berita, janganlah menulis acaranya bagaimana, kapan diadakan, dan apa homilinya romo. Tetapi menjelaskan situasi dan kondisi acara tersebut dengan detail. Sehingga nilai beritanya mempunyai human interest.




Workshop menulis soft news diakhir dengan cafe break selama lima belas menit. Lanjut pada workshop fotografi jurnalstik yang disampaikan oleh Yohanes Totok dari Suara Surabaya.net.




Yohanes Totok mengemukakan pendapatnya mengenai dasar dan teknik foto jurnalistik. Dalam dunia jurnalistik, foto merupakan kebutuhan yang vital, sebab foto merupakan salah satu daya pemikat bagi para pembacanya. Jurnalistik foto adalah fotografi oleh pres dan foto-foto yang dihasilkan untuk pemberitaan disebut foto berita.




“Jadi seorang fotografer Jurnalistik tidak hanya sekedar membidik objek. Tetapi mencari celah-celah supaya dapat masuk dalam momen-momen yang apik. Dan, tidak terburu-buru membidik objek. Lihatlah situasi dan kondisi yang kita hadapi, semisal ada demo tentang pornografi, Forum Pembela Islam mendukung keras undang-undang tersebut.”




Totok mengungkapkan bahwa dia tidak langsung membidik demo tersebut, melainkan mencari celah supaya dapat masuk di situasi demo tersebut. Dengan memakai seikat kain putih sebagai tanda dari Forum Pembela Islam. Barulah membidik aktifitas demo tersebut.




“Karena kalau tidak memakai kain putih taruhnya nyawa dalam bertugas, jelasnya.”




Situasi dan kondisi telah kita kuasai, tinggal kita mencari angel yang paling bagus untuk membidik objeknya. Melalui berbagai posisi dan sudut. Membidik tidak monoton lurus dan vertikal pada objek. Kita bisa dari atas, bawah, samping kanan dan kiri dalam membidik objeknya.




Alhasil, Totok tidak hanya berbicara mengenai dasar dan teknik foto jurnalistik. Melainkan mempraktekkan cara membidik yang benar. Dan, memperlihatkan hasil bidikannya. Di antaranya foto pengusuran stren kali Jagir, Lumpur LAPINDO, PKL Keputran, dan aktivitas TNI.




Dalam materinya, Totok juga menjelaskan perkembangan fotografi jurnalistik. Dasar kelahiran pertumbuhan jurnalistik foto, menurut Soelarko yang dikenal sebagai bapak fotografi di Indonesia, ditentukan oleh tiga faktor, yakni rasa ingin tahu manusia yang merupakan naluri dasar dan menjadi wahana kemajuan, pertumbuhan media massa sebagai audio visual yang memuat tulisan dan gambar, kemajuan teknologi yang memungkinkan terciptanya kemajuan fotografi dengan pesat, jelasnya. (asep)

Rekoleksi Keluarga Ikan Segar

Hidupkan Jejaring Keluarga Bersama

Ikan segar angkatan 1988 mempunyai program tahunan, salah satunya rekoleksi keluarga. Rekoleksi keluraga ini baru terlaksana tahun 2009. Karena tahun 2008, almamater tercinta kita merayakan 60 tahun.

Untuk merayakan 60 tahun, pihak dari Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum-Blitar mengelar reuni akbar, Jumat (27/6/08) di area Seminari.

Alhasil, rekoleksi keluarga ditunda dan baru dapat dilaksanakan bulan Mei 2009. Tepatnya Sabtu (2/5) - Minggu (3/5) lalu diikuti oleh 14 keluarga di Wisma Shallom, Batu-Malang.

Yosua menjelaskan rekoleksi keluarga ini merupakan bagian dari bentuk semangat kami dari hidup bersama selama di asrama Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum-Blitar. Untuk selalu menumbuhkembangkan semangat kebersamaan kami.

Kebersamaan ini memupuk kepekaan dan kepedulian kami sebagai manusia, yakni mahkluk sosial. Mahkluk sosial mempunyai prinsip dasar. Di antaranya kekeluargaan, kegotong royongan, kebersatuan, dan kemufakatan.

”Bahkan tidak hanya memupuk kebersamaan. Biaya akomodasi kegiatan selama di wisma Shaloom atas swadaya teman-teman seangkatan.”

Rekoleksi keluarga ini sekaligus ajang keakraban keluarga bersama, diantaranya anak dan istri, kata Yosua-ikan segar asal Dinoyo.

Rekoleksi keluarga ini tidak semata-mata untuk angkatan 1988. Angkatan 1988 hanya menjadi fasilitator dan kegiatan ini terbuka oleh angkatan lainnya. Kegiatan ini telah diadakan kali kedua setelah diadakan di Sawiran.

Kemasan rekoleksi ini dibagi dalam dua bagian. Di antaranya sharing keluarga dan pemberian bekal yang dikonsep dalam seminar santai dilanjutkan diskusi. Diskusi ini menyesuaikan situasi dan kondisi setiap keluarga yang dialami setiap masing-masing individu.

Sharing keluarga ini diwujudnyatakan ke dalam aksi nyata. Berupa pemberian dalam bidang usaha, seperti pemberian sapi bagi yang hidup di desa sebagai bekal perekonomian keluarga. Setiap bulan akan selalu disampaikan dalam mailing list. Atau langsung melalui by phone.

Pemberian sapi ini tidak hanya diberikan semata-mata begitu saja. Dengan cara modal awal ada berapa dan sisanya disubsidi oleh teman-teman seangkatan. Begitu sebaliknya, ketika usaha ternak sapi berhasil. Teman yang sudah berhasil memberikan partisipasi kepada teman-teman yang membutuhkan modal untuk usahanya.

Teman-teman yang lain selalu mengingatkan kepada lainnya. Bahwa usaha dimulai dari yang kecil. Baru memikirkan kelanjutannya supaya menjadi besar dan berkembang pesat.

“Belajarlah dari yang kecil terlebih dahulu, sebelum belajar yang lebih besar. Karena manusia berhasil dimulai dari hal yang kecil. Dan, jangan pernah menganggap remeh pengalaman hidup. Pengalaman hidup lebih berharga daripada berkutat pada landasan teori. Landasan teori hanya bagian terkecil dari pengalaman. Timbul teori itu berkat dari guru besar kita, yakni pengalaman hidup.”

Seminar santai pun digelar dalam rekoleksi keluarga dengan narasumber, yakni Agung Nugroho dari Alma Omega. Seminar ini bertajuk Therapeutic Leadership-Fundamental Skill. Seminar membahas mental seorangan dalam bekerja dan membentuk bahtera rumah tangga yang harmonis.

Sebelum diakhir rekoleksi keluarga ini angkatan 1988 mengadakan telekonfren dengan teman-teman yang berada di luar kota maupun luar pulau. Di antaranya Rm. Dodik, CM (Kalimantan), Herwi (Jakarta), Agus Eko (Padang), Lilik (Situbondo), dan Anton Hadi (Jakarta).

Rekoleksi keluarga ini semakin lengkap dengan misa penutup yang dipimpin oleh teman seangkatan sendiri, yakni Romo Eka Winarno dari Ngawi. (asep.)
Caption : 1. MASIH seperti layaknya di Kawa Chandradimuka,
2. AKRAB bersama satu keluarga besar. (foto: Yodi)

Ziarah Bersama Tuhan


Aneka Rasa “Cokelat” Panggilan
Oleh Y.B. Nuroto

Dalam sebuah Perayaan Ekaristi dalam rangka Aksi Panggilan, seorang pemuda (tampangnya kayak Frater...) berdiri di mimbar dan berkata:
“Saudara-saudari yang terkasih, panggilan itu ibaratnya butiran-butiran cokelat. Banyak ragam bentuk, jenis dan rasanya. Ada cokelat rasa petani, ada cokelat rasa pegawai, ada cokelat rasa pedagang, ada cokelat rasa rohaniwan/wati, ada cokelat rasa pelajar atau mahasiswa, ada cokelat rasa TNI/Polri, ada cokelat rasa peternak, ada cokelat rasa .... (silakan diisi sendiri, rasa apa yang disukai atau diingini) dan masih banyak lagi rasa-rasa yang lain.

"Namun, pada umumnya orang-orang hanya mengenal dan menginginkan satu rasa cokelat: cokelat rasa rohaniwan/wati!!! Orang belum menyadari – sekalipun telah mengalami dan merasai sendiri – keberadaan cokelat-cokelat rasa yang lain. Orang-orang kerap hanya terpaku memandang cokelat yang satu itu sehingga tidak memperhatikan keberadaan cokelat-cokelat lain, yang bertebaran di sekelilingnya. Entah terlalu silau oleh pesona rasanya atau memang benar-benar belum tahu.”

*****

Entah mengapa, kata “panggilan” akrab dikaitkan dengan hidup dan golongan orang tertentu saja. Panggilan bahkan telah menjadi identik dengan hidup para romo, bruder, suster, frater, dan kelompok kaum berjubah lainnya. Benarkah Tuhan hanya memanggil orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ini? Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang hidup di luar (tembok) kelompok-kelompok ini? Adakah panggilan dalam hidup mereka? Mungkinkah Tuhan juga memanggil mereka?

Bertolak dari orasi pemuda tersebut di atas, saya melihat adanya “reduksi” istilah panggilan. Terjadi semacam eksklusivikasi dalam/terhadap panggilan. Seolah-olah hanya mereka yang berjubah itulah yang dipanggil Tuhan. Akibatnya, ada semacam “arogansi” dari kelompok ini karena merasa diri “dipanggil” Tuhan. Tidak dipungkiri bahwa mereka memang dipanggil oleh Tuhan bahkan secara khusus, sebagai pelayan jemaat. Namun, bukan berarti hal itu harus “meniadakan”, “menyingkirkan” dan “menegasi” yang lain. Memandang lebih rendah eksistensi panggilan hidup yang lain.

Tidak disangkal bahwa kesan ini muncul karena beberapa “tetes nila, hingga rusaklah susu sebelanga”. Di lain pihak, faktor pandangan dan perlakuan umat pun kerap kali mendukung tercipta dan berkembangnya situasi yang demikian ini. Hal yang demikian ini menjadi semacam pupuk penyubur bagi berkembangnya neofeodalisme dalam tubuh Gereja.

Bagi saya, semua yang lahir, yang hidup – utamanya manusia tentu saja – adalah dipanggil oleh Tuhan. Hidup ini adalah sebuah panggilan, tidak terbatas dan hanya menunjuk kelompok tertentu (kaum berjubah) saja. Dengan hidup, manusia dipanggil untuk menjaga dan memelihara serta mengusahakan perkembangan segala anugerah yang telah Tuhan berikan secara cuma-cuma, demi kemuliaan nama-Nya dan keselamatan umat manusia serta segala makhluk. Hal ini tentu saja dapat dilakukan dengan beraneka macam cara dan jalan. Bertani, berdagang, beternak, menjadi pegawai kantor pemerintahan ataupun swasta, menjadi guru, TNI-Polri dan masih ada seabreg jalan hidup yang lain, yang juga panggilan Tuhan. Dengan ini, pertanyaan “Apakah hanya kaum berjubah saja yang dipanggil Tuhan” kiranya telah mendapatkan jawabannya.

Menurut pemahaman saya, panggilan bukanlah masalah “apa”, namun lebih merupakan persoalan “bagaimana”. Bukan masalah “apakah” aku seorang petani atau pedagang atau pegawai atau romo/suster dan seterusnya, namun lebih pada “bagaimanakah” aku menghayati semuanya itu sebagai panggilan dari Tuhan. Kalau semuanya menginginkan cokelat rasa romo atau suster atau bruder atau frater, bagaimanakah dunia ini akan berkembang?

Setiap kelahiran adalah sebuah panggilan. Panggilan untuk hidup, untuk selanjutnya hidup demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan seluruh ciptaan.

Ada begitu banyak jalan hidup atau panggilan. Mungkin jumlahnya “sebanyak jalan ke Roma”. Semua dari kita adalah dipanggil oleh Tuhan, secara lebih khusus lagi: setiap dari kita yang telah dibaptis dan dikuatkan dengan Krisma adalah dipanggil oleh Tuhan untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia yang semakin “menggila” ini.

Dengan lahir manusia dipanggil untuk hidup. Dengan hidup ia dipanggil untuk memuliakan namaNya dan menyelamatkan segala ciptaan yang telah dianugerahkan-Nya. Berkat Baptis dan Krisma, kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah. Berkat Baptis kita telah menerima IMAMAT UMUM sebagai umat Allah dan dipanggil untuk mewarisi tritugas Kristus: untuk memimpin, menguduskan dan mewartakan kabar sukacita-Nya di tengah-tengah dunia.

Yang membedakan dengan para kaum berjubah utamanya para klerus yang memperoleh TAHBISAN suci sebagai tanda penerimaan anugerah IMAMAT KHUSUS “hanyalah” soal wilayah (kekuasaan) dan tugas/fungsi perutusannya. Hakikatnya adalah sama. Sama-sama dipanggil demi kemuliaan nama-Nya dan keselamatan segala makhluk.

*****

Akhirnya, marilah kita bercermin guna berbenah, mengubah segala kekeliruan pandangan atau anggapan serta perspektif yang kita anut dan pegang erat selama ini. Kita semua sama. Sama-sama dipanggil oleh Tuhan untuk mewartakan kabar keselamatan-Nya. Baik sebagai romo, suster, bruder, frater ataupun sebagai petani, pedagang, tukang, guru, pegawai dan seterusnya, adalah sama di hadapan dan dalam panggilan Tuhan. Perbedaan itu “hanyalah” soal wilayah dan tugas/fungsi di dalam perutusan. Yang lainnya adalah sama. Sama-sama sebagai umat Allah yang sedang berziarah di tengah padang gurun dunia.

Sekali lagi, marilah kita melihat dengan kacamata yang baru dan benar bahwa yang ada bukan hanya cokelat rasa rohaniwan/wati saja, tetapi masih ada banyak rasa cokelat yang lain, yang menanti untuk kita nikmati. [NOR@]

HAK


Studi Lintas Iman di Jogjakarta
Oleh Silvester Woru, Wartawan T. Jubileum


Sebanyak 25 perwakilan kelompok kategorial dan komisi, pengurus Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Yayasan Lembaga Karya Dharma (YLKD), dan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) mengikuti studi lintas iman di Jogjakarta, 20-21 Mei 2009. Tempat yang dituju adalah Gua Maria Sedangsono, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), serta Komunitas Banyu Urip. Rombongan peserta didampingi Pastor Harjanto Prajitno, Ketua Komisi HAK Keuskupan Surabaya.

Rabu, pukul 18.00, peserta berangkat dari Wisma HKY menuju Jogja dengan menggunakan bus Kalisari. Tiba di Gereja Katolik Promasan pukul 03.00, langsung naik angkot menuju Sedangsono. Peserta melakukan jalan salib dari Promasan dengan rute menuju Gua Maria Sedangsono. Meskipun cuacanya dingin serta jalan licin karena hujan, rombongan mengikuti jalan salib menyusuri bukit Manoreh dengan semangat.

Tiba di pemberhentian ke-14 di kompleks Gua Maria, tepat pukul 05.30. Setelah itu rombongan mempersiapkan diri: mandi, berdoa pribadi di Gua Maria. Jam 07.00 pagi peserta mengikuti Misa Hari Raya Kebangkitan Tuhan Yesus di Kapel Maria Kompleks Gua Maria Sedangsono. Selesai misa rombongan berangkat ke Yayasan LKIS di Jalan Pura I, Sorowajan Baru Banguntapan, Bantul. Rombongan dipandu Mas Kusumo dari Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang.

LKIS dan Penerbit Kanisius
Tiba di LKIS, rombongan diterima oleh Mbak Puspita dan Mas Sukron Peneliti Divisi Media dan Budaya LKIS, serta Mrs. Chatty, relawan di LKIS asal Australia. Rombongan langsung menuju ke pendopo untuk berdialog dengan rekan-rekan LKIS. Rm. Harjanto mewakili rombongan memberikan penjelasan dan gambaran tentang Keuskupan Surabaya, termasuk Komisi HAK. Komisi HAK adalah bagian dari Keuskupan Surabaya yang memfokuskan pada dialog antara agama dan kepercayaan.

Dialog langsung diisi dengan tanya jawab soal kehidupan beragama di Indonesia. Mbak Puspita yang mewakili LKIS memberikan penjelasan tentang apa itu LKIS kepada rombongan. Yang menarik LKIS selama ini kita kenal lewat buku-buku terbitannya yang memuat tentang pemikiran Islam. Berbagai kajian Islam baik yang klasik maupun kontemporer diterbitkan oleh LKIS.

Pada 1992 LKIS didirikan oleh aktivis-aktivis muda Nahdlatul Ulama dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Situasi dan kondisi pada waktu itu mendorong para aktivis mendirikan sebuah lembaga kajian yang memfokuskan pada dunia keislaman. Islam tidak hanya menjadi sebuah ritual, tetapi menjadi sebuah ajaran profetik yang selaras dengan perkembangan zaman saat ini. Kajian-kajian ini yang memberikan gambaran tentang Islam di Indonesia di tengah keberagaman baik suku, agama, budaya dan bahasa. Islam adalah rahmat bagi semua umat di dunia. Secara organisasi LKIS independen, tidak masuk dalam struktural NU.

Aktivitas sehari-hari LKIS adalah membuat kajian-kajian, penelitian, diskusi, menerbitkan buletin, membuat film dokumentasi, pemberdayaan terhadap ibu-ibu, anak muda dan remaja putri di pesantren. Selain itu menerbitkan buku-buku dan percetakan serta mengelola pondok pesantren. LKIS memiliki jaringan yang cukup luas baik baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ada pelatihan untuk mahasiswa sesuai dengan kebutuhannya, ada pendampingan remaja putri lintas agama seperti di Solo, Jogja, dan Magelang. Ada tiga divisi untuk memayungi berbagai kegiatan tersebut. Pertama, Divisi Media dan Budaya, divisi penerbitan dan percetakan, serta divisi pemberdayaan ibu-ibu dan remaja putri.

Setelah dari LKIS, rombongan menuju ke Penerbit Kanisius di Jalan Cempaka IX, Deresan. Di Kanisius rombongan diterima oleh Komunitas Banyu Urip. Merupakan bagian temu kebatinan Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang. Komunitas ini memfokuskan pada ajaran kebatinan yang bersumber pada kitab suci dan ajaran Yesus. Kemudian peserta langsung diajak ke ruang pertemuan untuk melakukan dialog dengan Komunitas Banyu Urip. Dialog terasa hidup karena peserta diajak untuk menyaksikan berbagai atraksi menarik.

Dengan moto “dalam nama Yesus-bisa-harus bisa-pasti bisa” peserta ditunjukan dengan beberapa atraksi seperti mematahkan pensil dengan jari tangan, mematahkan pensil dengan selembar Rp 50.000, menancapkan sedotan air es di buah kentang, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini merupakan bagian dari olah batin.

Menurut Supriyatmo, pembina Banyu Urip, komunitas ini berujuan supaya kita mengenal diri sendiri. "Kita membuat pelatihan khusus untuk kaum muda dan pensiunan supaya mereka lebih percaya diri dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kemudian memotivasi bahwa Tuhan itu ada di sekitar kita. Kita memang sering lupa dengan tujuan hidup kita." Menurutnya, kegiatan ini bukan hipnotis yang biasa kita kenal, tapi ini bersumber pada kitab suci.

Setelah menyaksikan berbagai atraksi dan penjelasan dari Banyu Urip, rombongan langsung menuju Taman Komunikasi Kanisius. Ada yang sekadar melihat koleksi buku dan juga ada yang borong buku terbitan Kanisius. Berbagai judul buku yang dibeli dengan harga yang terjangkau. Studi lintas iman ini sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Kristiani untuk membangun komunikasi antara umat beragama. Menurut salah seorang peserta, YM Koesrin, kegiatan perlu dilakukan supaya kita saling mengenal dengan berbagai komunitas agama di sekitar kita.

Rangkaian kegiatan dilanjutkan ke Malioboro yang ramai, apalagi bertepatan dengan hari libur. Jalan Malioboro penuh dengan pengunjung yang sekadar cuci mata dan juga shooping. Tepat pukul 18.00 rombongan kembali ke Surabaya. (*)