Rabu, 08 April 2009

JUMAT AGUNG


Perayaan Pemberian Diri

Ada seorangbernama Darmo, petani sederhana, bapakkeluarga yang setia.Setiap pagi dansore hari dia memikul dua ember air dipundaknya untuk mandi dan masak bagiisterinya. Beban yang berat sebenarnya. Tetapi segera sirna pegalnya setiapkali masuk halaman rumah selalu disambut uluran tangan Astuti, istri yang tatapan matanya memancarkan senyum. Pulih lagi semangatnya untuk kembali ke sumber air yang berjarak satu setengah kilometer menuruni lembah yang berkelok melalui jalan setapak itu. Seluruh penat dan keringatnya sirna diseka oleh selembar kecil senyuman isterinya. Setiap hari, setiap pagi dan setiap sore. Selalu..............
Seperti matahari..................
seperti hujan dimusim tanam.
Seperti nafas di paru-parunya.
Seperti detak jantung terasa di nadinya.
Bertahun tahun dijalani ritual rutin mengusung air, tanpa variasi. Senyum Astuti-lah yang mengubah rutinitas menjadi lagu yang selalu baru, setiap ayam berkokok membangunkannya menjelang pagi..

Di suatu malam, dia bermimpi. Dua embernya sedang bersitegang. Yang satu mengejek yang lain. Dan ember yang diejek menjadi menangis tak berdaya,tenggelam dalam keminderan. Memang salah satu ember sudah bocor dan selalu menetes agak deras. Sudah dua tahun dibiarkan oleh Darmo tanpa ada usaha ditambal. Maka ember yang utuh mengejek bahwa ember bocor tak disayangtuannya. tak bisa bertanggungjawab menampung air secara penuh hingga di bak penampungan mandi sang istri tuan. Maka ember bocor itu mendatangi Darmo menangis, mengiba memohon supaya dirinya di tambal. Namun belum sampai dijawab, darmo sudah dibangunkan Astuti, karena tangan suaminya mengelus muka dan mengenai hidungnya.

Diceritakanlah kepada istri bahwa dia baru bermimpi, bahwa ember yang satu merengek minta ditambal bocornya karena dihina oleh ember yang utuh. Sang istri tertawa kecil, sudah tua kok mimpi seperti anak kecil. Maka mengajaknya tidur kembali setelah menganjurkan Darmo esok pagi menambal embernya sebelum pergi menuju lembah.Darmo tersenyum.

Dalam hatinya dia berjanji, esok akan mengajak Astuti ikut berjalan mengirinya mengambil air di lembah itu, bersama dua anaknya.“Bu, aku memang sengaja tidak mau menambal ember itu. Lebih baik dua atau tiga kali aku kembali ke lembah mengambilkan air untukmu daripada menambal ember itu”, kata Darmo ketika meraih ember dan pikulan di sebelah pintu dapur.“Lho, bagaimana sih Bapak itu? Apa sih beratnya menambal ember dengan plastik bekas dilelehkan api? Kalau gitu biar aku saja yang menambalnya, ya pak. Bukankah air dan letihmu itu untuk aku semata?” jawab istri. “Tidak, Ibu. Darmo menarik tangan isterinya.” Ayo pagi ini kamu antarkan aku menuju lembah, menyusuri jalan setapak, bersama dua anak kita. Kita akan bersama menyanyi dan menari sambil bermandi cahaya pagi”.

Tak seperti biasa, tatapan Astuti dihiasi kernyit dahi, semakin tak mengerti.
Anak.......................anak berlari membungkuk menghindari ember memukul dahi. Langkah Astuti tak jauh dari tapak tapak kaki suami di bekas embun pagi, mengibaskan tanya ke benak Darmo.

Ada sebongkah heran, yang tampaknya sekian tahun tak terlihat sembunyi dalamdiri suami. Tiba-tiba Darmo bersiul, menyahuti cicit burung yang juga menyambut pagi.
Semakin tak mengerti.

“Bu, lihat bunga-bunga rumput dan bunga liar di pinggir jalan kita menapak. Subur dan indah. Kuntum bunganya, seakan barisan malaikat yang berantai, yang satu menyampaikan ke yang berikut, memekarkan senyummu setiap pagi di sepanjang jalanku. Mereka ini tumbuh subur karena sambil kusirami dengan bocornya ember setiap aku melewatinya setiap sore dan pagi. Karenanya, senyummu menjulur sepanjang pagar jalan setapak menuju sumber air itu. Setiap hari aku berjalan bersama senyummu. Itulah sebabnya aku tak tega menambal ember yang satu itu. Jikalau kutambal, aduh. Bunga bunga akan layu dan aku tak rela senyummu tak lagi menghidupi aku di sepanjang jalan itu.”

Astuti terhenti. Ia memaku tanah berbatu dengan kakinya yang kelu. Matanya merembang basah tak tahan menepis haru. Ditatapnya seluruh tubuh Darmo berubah rupa menjadi sebongkah cinta. Tubuh Astuti menjadi ringan, melayang. Mengambang. Sampai senyum Darmo menariknya kembali memijak tanah.

“Kau lihat salib Yesus yang tergantung didinding kita? Lambung dan seluruhtubuhNya bocor mencucurkan darah dan air. Allah Bapa tak rela menambalNya. Karenanya, seluruh hidup kita disuburkanNya, dibiarkan berbunga di sepanjang sejarah peziarahan kita. Senyumnya selalu mekar dan menaburkan spirit di hari-hari sulit keluarga kita. Sebagaimana senyummu bagiku, demikian juga senyumNya bagi seluruh nasib keluarga kita.”

Entah berapa malaikat, tiba tiba mendorong dari kedalaman lubuk cinta mereka, Darmo meletakkan embernya. Astuti merengkuh ke dua anaknya sambil menutup mata, membiarkan bibir Darmo menyetrum dahinya dan menggetarkan seluruh tubuhnya. Seluruh langit dan bumi mengalir, menyatukan empat anak manusia yang sedang berdekap, memandikan mereka dengan berkat. Di dalam retina mata mereka, jauh di ujung bumi di sana, di atas golgota, di atas kayu salib hina, dirasakah Astuti dan Darmo, Yesus tersenyum kepada mereka. (sriBudhi tama" sribudhitama@yahoo.com)

HIDUP IKAN SEGAR!
Deo Gratias!