Rabu, 31 Maret 2010
Ulang Tahun Imamat, John Tondowidjojo CM
Sindir Cendikiawan Jarang Berdoa
Bertepatan dengan Minggu Palma dan Minggu terakhir dalam akhir bulan, Romo John Tondowidjojo, CM merayakan pesta imamat bersama bersama anggota Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Minggu (28/3) di gedung Fransiskus Xaverius, Universitas Katolik Widya Mandala, lantai 4.
Dalam perayaannya, Romo John Tondowidjojo ini merayakannya secara sederhana sekali dengan perayaan ekaristi. Karena menurut beliau dengan perayaan ekaristi semakin disatukan panggilan imamatnya. Dan, perayaan ekarsiti bagian dari ucapan syukur atas segala rahmat yang diterimanya dalam perjalanan imamatnya.
Dalam homilinya, Romo Tondo menjelaskan bahwa awalnya Yesus dielu-elukan sebagai raja orang Yahudi. Sampai dihadapan Pilatus dan Herodes, Yesus dikhianati oleh orang Yahudi, karena menganggap diriNya seorang raja, Ini semua ulah dari pemuka agama, ahli taurat, dan orang farisi.
“Ini salah satu bentuk dari manipulasi informasi pada zaman itu. Dan, ini juga diawali di bangsa Indonesia. Dengan memutarbalikkan kebenaran. Yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar.”
Romo Tondo mengajak kepada para cendikiawan untuk jangan muda tergoda pada manipulasi informasi terutama taktik adu domba. Sebagai umat Katolik hendaknya selalu mengimani sikap Katolik kita dengan mengingat kembali komitmen kita pada janji permandian kita.
”Dan, kita sebagai para cendikiawan jangan lupa akan iman Katolik kita dan berdoa. Sediakan waktu untuk menjalin relasi dengan Tuhan. Jangan sibuk pada rutinitas kita, sehingga tidak ada kata untuk berdoa bersama Tuhan.”
Hadirkan Tuhan di hati kita, terutama tahun ini merupakan tahun keluarga. Pergunakan waktu-waktu kita untuk berkumpul bersama keluarga. Keluarga salah satu anggota tubuh yang paling berharga, tambahnya.
Setelah perayaan ekaristi, Romo Tondo memberikan hadiah kepada Silvester atas komuni pertamanya. Dan, menginstruksikan kepada para undangan untuk menyebutkan angka dari 1 sampai 100. dimulai dari bangku deretan depan sampai belakang, ajak Romo Tondo.
Ternyata yang diinstruksikan tersebut menyangkutkan tanggal ulang tahun imamatnya. Ulang tahun imamat ke 47. Romo mengajak lima orang yang telah menyebutkan angka 47. Dan, ada 5 orang yang menyebutkannya. Padahal hadiahnya hanya satu berupa gambar monstran.
Dengan cara diundi, akhirnya salah satu ibu yang mendapatkannya. Untuk 100 para undangan yang hadir mendapat Oremus yang berisi doa pagi dan malam bersama keluarga disusun oleh Romo Lorenstius Iswandir, CM.
Tidak hanya membagikan Oremus, Romo Tondo juga mengajarkan cara berdoanya, yakni doa pagi cara pertama. Oremus ini juga telah mendapat Imprimatur dari Keuskupan Surabaya oleh Romo Dwi Joko pada tanggal 22 Februari 2010.
Diharapkan dengan memperolehnya Oremus, para cendekiawan semakin rajin berdoa pagi bersama keluarga. Setelah membagikan Oremus, Romo Tondo mensharing pengalaman panggilannya selama menjadi romo, misalnya setiap kali mendapat uang dari umat pasti ada yang meminta. Dan, jumlahnya pasti sama. Pengalaman panggilan itulah yang menguatkan bagi Romo Tondo.
Bagi beliau, pemberian dari umat itu bukan untuk beliau. Tetapi untuk umatnya. Romo Tondo hanya sebagai penyalur kebaikan Tuhan, sharing romo yang rajin berdoa tiga salam Maria ini.
Romo juga berpesan kepada para undangan bahwa di tahun keluarga ini, hendaknya kita memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Dan, berpikir selalu pada ”How to do duit?, tetapi How to do it? Karena segala perilaku kita akan difotokopi oleh anak kita, pesannya.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktf dari arah dasar Musyawarah Pastoral tentang arah dasar prioritas pastoral Keuskupan Surabaya 2010-2019. (asep)
Keseimbangan
Tema APP Selaras Dengan MusPas
”Paskah ditandai dengan Rabu Abu, Bertobatlah dan Percayalah Pada Injil. Dengan begitu berikanlah dirimu didamaikan Allah. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari penyelamatan.”
Sebelum memasuki Tri Hari Suci, kita sebagai umat Katolik menjalani masa prapaskah. Prapaskah merupakan masa retret agung yang kita jalani sebelum merayakan Paskah. Retret agung kita jalani melalui Aksi Puasa Pembangunan (APP). APP ini salah satu wujudnyata dari pantang puasa kita selama merefleksikan makna hidup kita sepanjang prapaskah hingga paskah.
Tema umum APP dari KWI, yakni ”Kesejatian Hidup Dalam Keluarga”. Namun di pihak Keuskupan Surabaya dirumuskan kembali menjadi tema yang sesuai kebutuhan umat Katolik Keuskupan Surabaya, yakni ”Aku Cinta Keluarga”.
Melihat dari kata AKU ini di dalam keluarga terdapat anggota. Diantaranya ayah, ibu, kakak, dan adik. Keanggotaan ini mempunyai peranan yang saling mempengaruhi dalam hidup berkeluarga. Terutama ayah dan ibu, kadang tingkah laku mereka ditirukan oleh anak-anak mereka. Ada peribahasa mengatakan bahwa buah itu tidak jauh dari pohonnya. Segala kemiripan pasti meniru dari pohonnya.
Hal ini juga sama dengan keluarga, bila ayah dan ibu mempunyai kebiasaan baik atau buruk. Mau tidak mau akan tercermin pada anak-anak mereka. Jadi, ketika sesuatu yang tidak berkenan untuk anak-anak. Janganlah melakukan hal itu dihadapan anak-anak. Karena perkembangan anak itu masih luas melalui daya tangkap atau rekamnya masih tinggi. Dan, segala tingkat laku ayah dan ibu akan ditirunya. Apalagi yang mudah ditirunya tingkah laku yang ”negatif”.
Dengan begitu tepat sekali Keuskupan Surabaya mengambil tema APP tersebut. Melalui tema itu, umat diajak untuk menjalin relasi dengan anggota keluarganya. Keluarga dapat menumbuhkembangkan relasi melalui rutinitas sehari-hari. Tetapi zaman sekarang rutinitas saat ini dijalani sendiri-sendiri. Untuk tatap muka dengan anggota keluarga potensinya kecil sekali. Untuk hal ini perlu adanya waktu, sehingga relasi dapat tercipta dengan erat. Minimal seminggu dalam keluarga ada pertemuan yang sifatnya rileks. Dengan cara makan, nonton televisi, shopping ke mall, dan doa bersama.
”Dengan begitu relasi antara keluarga menjadi harmonis. Dan, kunci paling tepat dalam hubungan keluarga, yakni keberlangsungan dalam berkomunikasi antara anggota. Memahami kebutuhan anggota dan memberikan kebebasan bereksplorasi di lingkungannya. Tetap adanya kontrol sosial melalui ayah dan ibunya.”
Seperti yang dikatakan oleh Yohanes Berchmans Yan Sastra (54), selaku Ketua I Dewan Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen bahwa keluarga harmonis itu saling memahami peran masing–masing, guyub, keterbukaan, dan tidak egois. Dan, untuk membentuk keluarga yang harmonis.
Bapak kelahiran Ruteng Flores ini mendidik anak-anaknya agar telibat dalam pelayanan gereja dan lingkungan. Diantaranya doa lingkungan, pelajaran agama, koor, kolektan dan tatib, tambahnya bapak yang lahir pada tanggal 9 Januari 1956.
Senada dengan Edy Joko Prasetyo (48), selaku ketua Seksi Liturgi Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, keluarga harmonis merupakan keluarga yang hidup secara harmonis tanpa ada pertengkaran dalam keluarga dan hidup rukun.
Edy juga mengajarkan kepada ke dua putranya untuk saling mengasihi satu sama lain. Dan, jika jika ada pertengkaran harus saling memberikan pengertian satu dengan yang lain, seperti koreksi diri. Penyelesaiannya pada saat itu juga dan jangan sampai berlarut-larut, karena itu berbahaya sekali bagi keharmonisan keluarga kita, jelas bapak yang menikah di Santa Maria Purworejo, 1 juni 1994.
Terpenting dalam diri anak memberikan kepercayaan dan tanggungjawab karena mereka sebagai generasi Gereja yang mempunyai iman kristiani yang tangguh.
Tema APP 2010 juga dikuatkan melalui hasil dari Musyawarah Pastoral (MusPas). MusPas yang telah dilaksanakan pada November tahun lalu ini menghasilkan arah dasar Keuskupan Surabaya 2010-2019.
Isi dari Arah Dasar ini rumusan cita-cita bersama tentang Gereja, yakni ”Gereja Keuskupan Surabaya sebagai persekutuan muri-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner.”
”Rumusan ini juga menghasilkan prioritas program bidang pastoral, nilai-nilai hidup, dan prinsip atau semangat motivasional. Diantaranya keluarga dan orang muda.”
Di arah dasar ini, keluarga menekankan pengembangan kuantitas dan kualitas pendampingan bagi calon pasutri dan pasutri. Keluarga diharapkan adanya keterlibatan dalam pastoral keluarga, salah satunya kesaksian dengan ketulusan dalam berkomunikasi dan melayani keluarga muda atau keluarga lainnya.
Tidak hanya itu perlu adanya pemberdayaan keluarga melalui keharmonisan keluarga. Karena kehadiran setiap pribadi anggota keluarga adalah sungguh berharga. Ada saatnya kita sebagai anggota keluarga berdiam diri untuk menjalin relasi dan komunikasi antara anggota. Sehingga keluarga menjadi teladan bagi anak-anak dan mengajarkan kejujuran untuk bertindakan tanpa merugikan orang lain.
Lanjut, begitu juga dengan Orang Muda Katolik. Orang Muda Katolik saatnya diberi pembekalan melalui kepercayaan melakukan kegiatan yang sifatnya besar. Karena di situ, mereka lebih berani belajar dan tidak takut salah. Untuk melakukan sesuatu untuk Gereja.
”Orang Muda Katolik, salah satu generasi yang mempunyai potensi yang tinggi dalam menumbuhkembangkan Gereja. Dan, para orang tua juga harus berani mengkader potensi Orang Muda Katolik.”
Di tingkatan paroki, Dewan Paroki perlu adanya penyelenggaraan pelatihan kaderisasi melalui kepemimpinan tingkat dasar dan berkelanjutan. Dan, hal ini diperlukan kesediaan berbagi dan berkorban.
Dengan begitu pertumbuhan Gereja semakin pesat, seperti apa yang ditulis oleh Alm. Romo Mangunwijaya bahwa Gereja Dispora itu perlu diterapkan. Tidak lagi berbentuk piramida mengkerucut, tetapi membentuk sel-sel di mana para hirarki menjadi fasilitator.
Dan, tema APP tidak hanya sekedar momen prapaskah, tetapi menjadi komitmen bersama dalam menumbuhkembangkan keluarga yang guyub dan harmonis. Bahkan, arah dasar dari musyawarah pastoral menjadi pemicu pengembangan Gereja di tingkat paroki. Arah dasar ini akan selalu dimonitoring oleh Keuskupan Surabaya. (asep)
Teater BATA, Meriahkan WM Super Star 2010
Menyambut 50 tahun Universitas Katolik Widya Mandala ”Sharing Expertise With Others”, UKM 3 Art and Hood mengelar final WM Super Star, Sabtu (13/3) di Auditorium Benediktus lantai 4. Dihadiri 300 para sivitas akademika, diantaranya mahasisaw UKWM, Bapak Yan selaku Pembina UKM 3, dan Ibu Bene, selaku dosen Akademi Sekretari UKWM.
”WM Super Star 2010 ini diadakan bukan pertama kalinya, WM Super Star ini telah diadakan kali ketiga di Universita Katolik Widya Mandala. Awalnya disebut WM Idol.”
Sebelum final, panitia mengadakan audisi dan babak penyisihan satu bulan sebelum pementasan WM Super Star. Dan, akhirnya para juri memutuskan lima finalis yang maju ke babak final. Diantaranya Sheila, Rico, Jefry, Monica, dan Sisilia. Kelima finalis ini diwajibkan menyanyikan dua lagu.
Selama menyanyi dua lagu ini, para juri dengan mengamati kemampuan olah vokal, ekspresi, penguasaan panggung, dan korenya. Panitia mendatangkan juri profesional di bidangnya. Diantaranya Ronny dari Improve Management, Tika Pembina dari UKM 3 Vokal Grup, dan Puji dari Purwacaraka.
Dan, kemasannya berbeda dengan tahun sebelumnya. Konsep WM Super Star ini dikemas dengan kolaborasi teater BATA. Jadi, sebelum para finalis beradu vokal di atas panggung. Teater BATA membuka WM Super Star ini dengan mementaskan Kilas Balik, terang Debora Deka, selaku ketua panitia.
Koordinator teater BATA, Renata dari jurusan Psikologi ini menceritakan sekilas dari sipnosis dari kilas balik ini.
”Kilas Balik ini mengisahkan keluarga muda yang baru menikah dua tahun. Namun tidak dikarunia seorang anak. Kemesraan pun pudar di keluarga muda ini, setiap pagi suaminya selalu marah bila membicarakan tentang kehadiran si mungil. Akhirnya memutuskan pergi ke Surabaya untuk mencari suasana baru,” jelas mahasiswi jurusan Psikologi.
Dan, selama ditinggal pergi suaminya ke Surabaya. Istri mendapat anugerah dari Tuhan selama berhubungan dengan suaminya. Ternyata sedang hamil dan dibantu oleh orang pintar supaya tenang selama proses kehamilannya.
15 tahun kemudian, salah satu anaknya yang bernama Sheila ini ingin membahagiakan ibunya dengan mengikuti WM Super Star. Sebelum berpamitan dengan ibunya. Ibunya memberikan selembar foto ayahnya.
Diharapkan selama perjalanan di WM Super Star juga mencari ayahnya. Audisi pun dimulai dan sampai final. Akhirnya memenangkan WM Super Star. Dan, merayakan di taman kota bersama para finalis lainya. Di taman itu, Sheila ini menemukan ayahnya secara tidak sengaja pada saat membeli air mineral dingin. Di akhir ending cerita, Sheila ini mempertemukan ayahnya dengan ibunya.
Semakin lengkap dan meriah, WM Super Star ini dimeriahkan oleh band, pembagian doorprize, dan voucher. (asep)
Selasa, 23 Maret 2010
Oase
Gaungkan APP '10 dengan MusPas
”Paskah ditandai dengan Rabu Abu, Bertobatlah dan Percayalah Pada Injil. Dengan begitu berikanlah dirimu didamaikan Allah. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari penyelamatan.”
Sebelum memasuki Tri Hari Suci, kita sebagai umat Katolik menjalani masa prapaskah. Prapaskah merupakan masa retret agung yang kita jalani sebelum merayakan Paskah. Retret agung kita jalani melalui Aksi Puasa Pembangunan (APP). APP ini salah satu wujudnyata dari pantang puasa kita selama merefleksikan makna hidup kita sepanjang prapaskah hingga paskah.
Tema umum APP dari KWI, yakni ”Kesejatian Hidup Dalam Keluarga”. Namun di pihak Keuskupan Surabaya dirumuskan kembali menjadi tema yang sesuai kebutuhan umat Katolik Keuskupan Surabaya, yakni ”Aku Cinta Keluarga”.
Melihat dari kata AKU ini di dalam keluarga terdapat anggota. Diantaranya ayah, ibu, kakak, dan adik. Keanggotaan ini mempunyai peranan yang saling mempengaruhi dalam hidup berkeluarga. Terutama ayah dan ibu, kadang tingkah laku mereka ditirukan oleh anak-anak mereka. Ada peribahasa mengatakan bahwa buah itu tidak jauh dari pohonnya. Segala kemiripan pasti meniru dari pohonnya.
Hal ini juga sama dengan keluarga, bila ayah dan ibu mempunyai kebiasaan baik atau buruk. Mau tidak mau akan tercermin pada anak-anak mereka. Jadi, ketika sesuatu yang tidak berkenan untuk anak-anak. Janganlah melakukan hal itu dihadapan anak-anak. Karena perkembangan anak itu masih luas melalui daya tangkap atau rekamnya masih tinggi. Dan, segala tingkat laku ayah dan ibu akan ditirunya. Apalagi yang mudah ditirunya tingkah laku yang ”negatif”.
Dengan begitu tepat sekali Keuskupan Surabaya mengambil tema APP tersebut. Melalui tema itu, umat diajak untuk menjalin relasi dengan anggota keluarganya. Keluarga dapat menumbuhkembangkan relasi melalui rutinitas sehari-hari. Tetapi zaman sekarang rutinitas saat ini dijalani sendiri-sendiri. Untuk tatap muka dengan anggota keluarga potensinya kecil sekali. Untuk hal ini perlu adanya waktu, sehingga relasi dapat tercipta dengan erat. Minimal seminggu dalam keluarga ada pertemuan yang sifatnya rileks. Dengan cara makan, nonton televisi, shopping ke mall, dan doa bersama.
”Dengan begitu relasi antara keluarga menjadi harmonis. Dan, kunci paling tepat dalam hubungan keluarga, yakni keberlangsungan dalam berkomunikasi antara anggota. Memahami kebutuhan anggota dan memberikan kebebasan bereksplorasi di lingkungannya. Tetap adanya kontrol sosial melalui ayah dan ibunya.”
Terpenting dalam diri anak memberikan kepercayaan dan tanggungjawab karena mereka sebagai generasi Gereja yang mempunyai iman kristiani yang tangguh.
Tema APP 2010 juga dikuatkan melalui hasil dari Musyawarah Pastoral (MusPas). MusPas yang telah dilaksanakan pada November tahun lalu ini menghasilkan arah dasar Keuskupan Surabaya 2010-2019.
Isi dari Arah Dasar ini rumusan cita-cita bersama tentang Gereja, yakni ”Gereja Keuskupan Surabaya sebagai persekutuan muri-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner.”
”Rumusan ini juga menghasilkan prioritas program bidang pastoral, nilai-nilai hidup, dan prinsip atau semangat motivasional. Diantaranya keluarga dan orang muda.”
Di arah dasar ini, keluarga menekankan pengembangan kuantitas dan kualitas pendampingan bagi calon pasutri dan pasutri. Keluarga diharapkan adanya keterlibatan dalam pastoral keluarga, salah satunya kesaksian dengan ketulusan dalam berkomunikasi dan melayani keluarga muda atau keluarga lainnya.
Tidak hanya itu perlu adanya pemberdayaan keluarga melalui keharmonisan keluarga. Karena kehadiran setiap pribadi anggota keluarga adalah sungguh berharga. Ada saatnya kita sebagai anggota keluarga berdiam diri untuk menjalin relasi dan komunikasi antara anggota. Sehingga keluarga menjadi teladan bagi anak-anak dan mengajarkan kejujuran untuk bertindakan tanpa merugikan orang lain.
Lanjut, begitu juga dengan Orang Muda Katolik. Orang Muda Katolik saatnya diberi pembekalan melalui kepercayaan melakukan kegiatan yang sifatnya besar. Karena di situ, mereka lebih berani belajar dan tidak takut salah. Untuk melakukan sesuatu untuk Gereja.
”Orang Muda Katolik, salah satu generasi yang mempunyai potensi yang tinggi dalam menumbuhkembangkan Gereja. Dan, para orang tua juga harus berani mengkader potensi Orang Muda Katolik.”
Di tingkatan paroki, Dewan Paroki perlu adanya penyelenggaraan pelatihan kaderisasi melalui kepemimpinan tingkat dasar dan berkelanjutan. Dan, hal ini diperlukan kesediaan berbagi dan berkorban.
Dengan begitu pertumbuhan Gereja semakin pesat, seperti apa yang ditulis oleh Alm. Romo Mangunwijaya bahwa Gereja Dispora itu perlu diterapkan. Tidak lagi berbentuk piramida mengkerucut, tetapi membentuk sel-sel di mana para hirarki menjadi fasilitator.
Dan, tema APP tidak hanya sekedar momen prapaskah, tetapi menjadi komitmen bersama dalam menumbuhkembangkan keluarga yang guyub dan harmonis. Bahkan, arah dasar dari musyawarah pastoral menjadi pemicu pengembangan Gereja di tingkat paroki. Arah dasar ini akan selalu dimonitoring oleh Keuskupan Surabaya. (asep)
Kamis, 18 Maret 2010
Gelar 475 Tahun Ordo Santa Ursula di Indonesia
Sebelum acara dimulai, penonton dimanjakan dengan sajian karawitan karyawan pimpin Wicak, karawitan kontemporer pimpin Pambuko, dan 100 penari Remo yang rancak pimpin Maria Damayanti.
Opera Kolosal ini dibuka oleh Sr Erdina, OSU selaku pengurus dengan pemukulan gong. Dan, Sr. Diah bersama dua siswa balet dari SD Santa Maria melakukan prosesi dimulai dari belakang penonton dengan didahului puisi yang digaungkan oleh Bernadetha.
Opera kolosal ini sangat meriah dengan kehadiran para undangan dari berbagai instansi dan elemen. Dan, Barongsai dan dorprize dari para sponsor pun memeriahkan kegiatan ini, jelas Benedictus selaku Humas 475 tahun Ordo Santa Ursula.
Benedictus menambahkan persiapannya kurang lebih 4 bulan. Selama 4 bulan ini, panitia memikirkan konsep acaranya. Bermula dari ide Kumpul Kempel Art yang diselenggarakan di Cak Durasim, Taman Budaya. Pada waktu itu, penyelenggaranya dari SMA dan ketua panitianya, Pambuko selaku guru seni budaya. Semula direncanakan di Cak Durasim berkembang menuju di SSCC Supermall Pakuwon.
Dari situlah, kita mempunyai ide untuk membuat kegiatan pentas budaya. Dan, SMA sendiri kegiatan tersebut dilakukan dua tahun sekali. Rapat kali pertama dilakukan di pendopo, Minggu dengan tujuan untuk mengembangkan talenta siswa-siswi Santa Maria serta menumbuhkembangkan kecintaan pada budaya Indonesia. (asep)
Oase
KESEJATIAN HIDUP DALAM KELUARGA
Apabila kita perhatikan dengan seksama, anak-anak mempunyai kesamaan atau kemiripan denagan orang tuanya. Semakin bertambah besar, ia semakin menampakkan ciri-ciri yang terdapat pada orang tuanya. Rambut, mata kulitnya dan sebagainya, juga bagaimana cara dia berbicara, makan, marah, dan memecahkan masalah. Sifat dan tingkah lakunya hampir semua meniru orang tuanya.
Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak, paling tidak ketika anak masih bayi. Orang tua sering mendapat julukan sebagai pendidik pertama dan utama. Dari merekalah anak-anak mulai mengalami cinta, benci, dan sedih. Sedikit demi sedikit anak-anak mempunyai gambaran diri dari orang tuanya. Anak mempunyai gambaran positif kalau diperlakukan dengan baik : “Saya dicintai, saya diperhatikan, saya diterima, saya anak yang diharapkan, saya anak yang tidak membebani orang tua dan sebagainya.”
Bila gambaran diri anak positif ia akan belajar merasa diri “Oke” dan mempunyai kepercayaan diri. Akan tetapi, tidak jarang anak-anak yang mempunyai gambaran diri seperti yang tidak dikehendaki kehadirannya. Membuat orang tua jengkel, tidak diperhatikan, tidak dicintai, lahir karena kecelakaan dan sebagainya. Anak akan mempunyai gambaran diri negatif.
Kita dapat mengetahui mereka mempunyai gambaran diri negatif dari ungkapan-ungkapannya: “Mengapa saya selalu dibanding-bandingkan dengan adik”, “Mama merasa menyesal karena melahirkan saya”, “Saya anak haram, anak yang tidak pantas dilahirkan”, dan sebagainya.
Gambaran diri yang negatif membuat anak menjadi minder, merasa diri “tidak oke”.
“Mereka mengatakan bahwa saya ini jelek, untuk apa saya dilahirkan?” seorang filsuf Jean Paul Sartre mengatakan “Orang lain adalah musuh bagiku.” Mengapa ia berpendapat demikian? Ia mempunyai gambaran diri yang jelek, maklumlah karena ia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang berantakan! Apalagi sebelah matanya cacat dan juling.
Kesalahan yang banyak dilakukan oleh orang tua adalah cara mendidik anak dengan sistem hukuman, dengan kata-kata kasar, bahkan kadang anak-anak sasaran pelampisan kekesalan dan kebingungan mereka. Anak yang begitu menderita secara sadar maupun tidak sadar, disebabkan oleh tindakan orang tuanya yang tidak tepat dalam memperlakukannya. Misalnya menerima dengan syarat-syarat, menghukum dengan kekerasan, bahkan tidak jarang anak dijadikan objek atau kemarahannya.
Anak-anak menerima dosa warisan orang tua mereka. Suatu saat nanti, mereka akan membawanya dalam kehidupan keluarga barunya, setelahnya mereka berkeluarga. Untuk itu, kita diajak dalam masa prapaskah dan paskah ini untuk menumbuhkembangkan kecintaan dan kebersamaan keluarga. Hal ini juga diserukan dalam tema APP 2010 secara umum : ”Kesejatian Hidup Dalam Keluarga”. Di Keuskupan Surabaya, Uskup bersama stafnya lebih mempersempitkan lagi menjadi ”Aku Cinta Keluarga”. Diharapkan dengan adanya tema keluarga dapat berkumpul, misalnya makan dan doa bersama. Dari situ akan timbul kebersamaan dan kecintaan keluarga secara utuh.
Dan, orang tua lebih memberikan kepercayaan dan kebebasan anak dengan kontrol sosial melalui kumpul keluarga minimal dalam satu bulan satu kali. Dengan begitu keluarga harmonis tercipta dengan sendiri.
Seperti illustrasi ini, ada salah seorang Frater sangat mengasihi anak-anak nakal. Mereka diterima. Mereka boleh berbuat apa saja dengan syarat tidak merugikan atau mengganggu orang lain. Dalam waktu 6 bulan, mulai terlihat perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku anak didiknya, yang dulunya pemurung sekarang mulai ceria, yang dulunya tidak acuh sudah mulai memperlihatkan gejala-gejala interes terhadap teman-temannya dan sebagainya. Mereka mulai berubah, mereka menemukan gambaran dirinya yang sebenarnya. Setiap orang membutuhkan rasa aman, merasa diterima apa adanya. Benih membutuhkan tempat untuk tumbuh. Anak membutuhkan persemaian yaitu keluarga Allah, keluarga anda, keluarga Katolik. (L . Vicky)
Opini
Johana Rosalia Nirmala-Guru Biologi SMAK Seminari Garum
Bagaimana menulis dan meneliti menjadi budaya?
Budaya berarti menjadi kebiasaan, gaya hidup yang melekat pada seseorang atau sekelompok masyarakat, hasil dari pemikiran, daya kreativitas, keinginan selalu maju dan berkembang, ataupun juga dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Misalnya dari kebudayaan manusia dari jaman batu sampai dapat membentuk peralatan sendiri untuk mencari makan.
Demikian juga budaya menulis dan meneliti akan menjadi kebiasaan dan gaya hidup jika sering dilakukan, dikembangkan dengan banyak membaca dan membaca. Kebiasaan menulis dan meneliti pada guru, guru wanita, dan wanita mungkin sudah tidak asing lagi, namun keberanian, ketekunan untuk menulis secara rutin dalam rangka pengembangan diri yang belum diberdayakan secara maksimal.
”Secara kontekstual, realitas banyak masalah-masalah di masyarakat, sosial, isu sosial yang dapat diangkat dituangkan dalam bentuk tulisan melalui gagasan-gagasan yang dapat membangun masyarakat, mencerdaskan bangsa, dan mampu berpikir secara multikultur."
Apalagi di dunia pendidikan dimana guru selalu mempertanyakan kondisi perkembangan murid-muridnya, Mengapa begini hasilnya? Bagaimana proses pembelajarannya? Apakah ada keluhan siswa terhadap cara mengajar guru? Yang terangkum dalam 5W+1H sehingga selalu mengkondisikan guru untuk menulis, meneliti siswanya.
Dalam sertifikasi guru juga hampir seluruh kegiatan atau kalau boleh dikatakan semua mengandung aktivitas menulis dan meneliti. Contohnya penyusunan Portofolio, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dan peer teaching.
Guru dapat melakukan pengajaran, bimbingan, dan pelatihan bagi siswanya, namun sebelumnya tentu guru berusaha membekali dirinya sendiri dengan berbagai kemampuan pedagogis, kepribadian, sosial maupun professional. Jadi tidak sekedar NATO (Not action not only) menganjurkan atau mengharuskan siswa menulis dan meneliti. Tetapi guru sendiri tidak pernah melakukan.
”Komunikasi dan pertukaran informasi dalam bentuk tulisan jauh lebih efektif, efisien, dan akurat. Dengan menulis, orang akan bisa menyuarakan aspirasinya. Berupa ide, gagasan, laporan peristiwa, persoalan masyarakat, keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan politik secara lugas, obyektif, transparan, dan argumentative serta berdimensi social (Jamal, 2009 : 181).”
Alangkah baiknya jika kondisi yang ada ataupun yang telah dikondisikan diolah menjadi budaya, kebiasaan, dan gaya hidup menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan sehingga dapat memberikan wacana, wawasan, informasi yang berguna bagi siapapun yang membutuhkan.
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam menulis adalah merumuskan masalahnya. Masalah adalah kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan dan kenyataan yang dialami. Dalam menulis satu hal yang harus diperhatikan adalah aspek “nilai gunanya” apakah tulisan itu berguna bagi orang banyak atau tidak, apakah tulisan kita terkait dengan konteks sekarang atau tidak? Dan juga dapat mendorong orang berpikir kritis sebelum melakukan sesuatu (Luturmas, 2002; 36).
Sejak dini harus tekun membaca agar menguasai sejumlah sumber informasi yang berkembang. Tidak hanya terikat dengan buku, tetapi juga majalah, surat kabar, radio, televisi. Bahkan harus membuka jaringan internet. Bila menguasai sejumlah informasi melalui sarana belajar yang ada akan bisa mengetahui perkembangan dan perubahan di masyarakat. Dan selanjutnya akan luas pula dalam menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan.
Namun dalam kenyataannya kadang sudah luas informasinya tapi masih punya keengganan untuk menulis apalagi meneliti sehingga informasi hanya sekedar wacana tak ada keinginan atau semangat untuk menuliskannya dan meneliti.
Apalagi sudah berusaha menulis, misalnya seorang wanita Pritta menulis di email. Akhirnya menjadi masalah seperti kasus yang akhir-akhir ini terjadi, orang jadi enggan atau trauma berpendapat, berkeluh kesah, mengkritik masyarakat takut menjadi “dewasa” dengan tanda kutip melihat sudut positif memperbaiki diri, meminta maaf jika salah.
Banyak hasil-hasil kesenian, budaya Indonesia yang diakui, diambil alih oleh Negara lain diantaranya karena menulis sebagai sarana untuk memberitahukan, melaporkan hasil karya belum menjadi kebiasaan, budaya masyarakat kita. Misalnya Batik dan Reog Ponorogo. Di sisi lain mungkin juga kita sendiri sebagai generasi penerus belum berusaha mewarisi hasil-hasil budaya bangsa sendiri.
Penelitian pada dasarnya diartikan. Pertama suatu usaha untuk mengumpulkan, mencari, dan menganalisis fakta-fakta mengenai sesuatu masalah (Marzuki, 1983: 4). Kedua, penelitian dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip (facts or principles) dengan sabar, hati-hati serta sistematis (Supranto, tahun 1974: 13). Ketiga, usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Marzuki, 1983: 5)
Menurut Soetrisno Hadi (1985: 3) yang dimaksud dengan menemukan adalah berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan; mengembangkan berarti memperluas dan mengali lebih dalam apa yang sudah ada; sedang menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih diragukan kebenarannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip (menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran) dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik, dan dapat dipertanggungjawabkan (metode ilmiah).
Penelitian punya ciri pertama bersifat ilmiah artinya melalui prosedur yang sistematik dengan menggunakan pembuktian yang menyakinkan berupa fakta yang diperoleh secara obyektif. Kedua, merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus, sebab hasil suatu penelitian selalu dapat disempurnakan lagi, berlanjut atau dilanjutkan dengan penelitian lain.
Keberhasilan kegiatan penelitian yang dilakukan sangat tergantung pada sikap dan cara berpikir peneliti. Untuk menjadi seorang peneliti yang baik diperlukan tiga cara berfikir, yaitu: skeptis, analitis dan kritis. Berpikir skeptis yang dimaksud dengan sikap ini adalah bahwa peneliti selalu menanyakan bukti (fakta) yang dapat mendukung suatu pernyataan. Berpikir analitis peneliti harus selalu menganalisis setiap pernyataan atau persoalan.Berpikir kritis peneliti harus mendasarkan pikiran dan pendapatnya pada logika, serta menimbang berbagai hal secara obyektif berdasarkan data dan analisis akal sehat (common sense).
Di samping bersikap dan berfikir ilmiah, seorang peneliti harus pula memenuhi syarat-syarat lain kompeten, obyektif, jujur, faktual, terbuka.
Kompeten seorang peneliti yang baik memiliki kompetensi (berkemampuan) artinya: mampu menyelenggarakan penelitian dengan menggunakan metode dan tehnik penelitian tertentu. Obyektif seorang peneliti yang baik bersikap obyektif, artinya: dapat memisahkan pendapat pribadi dengan kenyataan.Jujur maksudnya tidak memasukkan keinginan sendiri ke dalam data. Faktual yang dimaksudkan dengan ini ialah bahwa peneliti bekerja dengan menggunakan fakta.Terbuka peneliti bersedia memberikan bukti penelitian dan siap menerima pendapat pihak lain tentang hasil penelitiannya.
Penelitian sangat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pada gilirannya akan sangat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan kemajuan bangsa. Apabila penelitian tumbuh subur, kemajuan IPTEK, semakin pesat. (Hermawan Wasito, 1993).
Syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang peneliti agar mendapatkan dasar-dasar deduksi yang benar dan tepat memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kecermatan dalam mengumpulkan fakta-fakta, cerdas, tajam dan obyektif dalam menganalisis, menginterpretasi dan menarik kesimpulan. (Mardalis, 1989).
Ketekunan, ketelitian, dan kecermatan dalam mengumpulkan fakta-fakta, obyektif jujur dapat menghindarkan dari kegiatan plagiat-plagiator yang lagi marak terekspos.
Kondisi atau budaya menulis dan meneliti tersebut mengandaikan banyak membaca atau ditunjang dengan banyak referensi sehingga kejadian yang memalukan dan memilukan yang mencoreng keprofesionalan tidak akan terjadi.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan pemecahan masalah bagaimana menulis dan meneliti itu menjadi budaya tapi mengajak untuk melihat bahwa banyak kondisi yang dapat menjadikan menulis dan meneliti menjadi budaya bangsa Indonesia.khususnya guru, guru wanita, dan wanita. Pertama aktivitas guru yang sebagian besar berkaitan dengan menulis dan meneliti tinggal mengolahnya, kedua jumlah guru wanita, wanita yang bukan guru lebih banyak dan kecenderungan wanita lebih teliti, telaten, tekun bukan isu gender ketiga punya sarana-sarana untuk mengambangkan kemampuan menulis dan meneliti secara bertanggungjawab tanpa rasa takut misalnya koran tertentu punya sarana berpendapat tanpa rasa takut. Keempat masyarakat yang semakin hari semakin kritis yang kadang seide dengan dan mendukung gagasan-gagasan yang ditulis, yang secara realitas ada di masyarakat yang butuh kepedulian, kepekaan, dan aksi nyata. Kelima ketika gagasan-gagasan yang kontekstual, realistis ditulis dan ada yang menanggapi (yang berwenang) maka perkembangan akan terjadi di segala bidang.