Bedah Film “SOEGIJA”
di WTC Surabaya
Bertepatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari
Komunikasi Sosial Sedunia, Universitas Katolik Dharma Cendika bekerja sama
dengan SAV Puskat Yogyakarta menggelar Bedah Film “Soegija” di ruang Singosari
lantai 3, WTC Surabaya.
Bedah Film ini menghadirkan pemeran utama Mgr.
Albertus Soegijapranata, SJ, yakni Nirwan Dewanto, Rm. G. Budi Subanar, SJ
penulis Buku “Soegija”, dan Rm. Iswara Hadi salah satu pengelola SAV Puskat
Yogyakarta.
Rm. Banar menceritakan tentang bukunya. Kedua buku
itu menceritakan hal yang berbeda. Buku pertama mengisahkan kelahiran Romo
Kanjeng sebutan Mgr. Soegija pada jaman dulu di tahun 1945an. Sedangkan buku
kedua mengisahkan catatan harian Romo Kanjeng. Pada saat menulis buku II sumber
utama benar-benar dari catatan harian romo kanjeng. Cukup ekstra keras dalam
membahaskan ke dalam buku kedua saya, karena tulisannya sulit dibaca dan
tulisan huruf latin, ceritanya.
Bagi Romo Banar, sosok Romo Kanjeng bukan orang
Katolik saja, melainkan semasa kecilnya sudah menjadi anak nakal dan
dipermandikan sejak duduk di bangku SMP. Sejak itulah pengalaman lintas budaya
dan agama sudah mulai bertumbuh kembang mengikuti pertumbuhan jaman, jelasnya.
“Nilai kemanusiaan dan perkembangan budayanya
membuat Romo Kanjeng semakin menghidupi nilai kekatolikkannya dan tidak
menempatkan diri di gereja saja Walaupun Soegija sudah menjadi romo, bahkan
sampai menjadi Uskup. Bahkan Romo Kanjeng menelorkan filosofi 100% Katolik,
100% Indonesia. Itulah sosok Romo Kanjeng,” jabar Romo Banar.
Paparan Romo Banar menambah bahan pertanyaan
moderator, Wawan Kristanto. Untuk bertanya kepada Romo Iswara Hadi, SJ. Mengapa
Romo membuat film Soegija? Padahal biayanya cukup besar, tanya moderator.
Romo Iswara menjawab konteks awalnya film Soegija
dibuat bukan dalam kemas layar lebar. Melainkan kemas atau format DVD seperti film
dokumenter. Setelah mengawali diskusi panjang lebar dengan sutradara-Garin
Nugroho dan penata musik-Djaduk Ferianto, jawabnya.
Sebelum pembuatan film Soegija, Puskat telah
mempuyai dua film dan mendapatkan penghargaan. Film Soegija dibuat karena
kesinambungan dari film kedua dari romo Van Lith dan Uskup pertama pribumi.
Romo Kanjeng merupakan murid dari Romo Van Lith dan Pahlawan Nasional yang
mempunyai peranan bagi bangsa dan Negara, jabarnya.
Dari situlah proses pembuatan film. Film ini
merupakan kisah nyata dan telah dilakukan riset dari berbagai sumber mulai dari
tahun 2008. Dan, akhirnya film Soegija dibuat oleh Garin Nugroho. Garin Nugroho
memilih peran utama, yakni Nirman Dewanto.
Dia mengakui dunia perfilman baginya masih baru.
Awal belum yakin tawarnya Garin. Berkat desak-desakkan Garin dan awal Oktober,
dia meminta waktu 2 bulan untuk memikirkan tawaran tersebut. Akhirnya dia
menyetujui peran Romo Kanjeng dengan mulai belajar literature dari buku-buku
Romo Banar salah satunya, reading bersama sutradara, dan hidup bersama
frater-frater di seminari, tuturnya.
Bagi dia, saya sebagai muslim tidak menjadi masalah sebagai peran Romo Kanjeng. Keluarga pun mendukung saya dalam memerankan Romo Kanjeng. Menjadi peran Romo Kanjeng tidak harus menjadi Katolik. Saya tetap menjalankan rutinitas keislaman saya.
Bagi dia, saya sebagai muslim tidak menjadi masalah sebagai peran Romo Kanjeng. Keluarga pun mendukung saya dalam memerankan Romo Kanjeng. Menjadi peran Romo Kanjeng tidak harus menjadi Katolik. Saya tetap menjalankan rutinitas keislaman saya.
Bedah film ini semakin meriah dengan kedatangan
Endang Laras dalam lantunan lagunya Kopi Susu. Lagu kopi susu juga mendapat
lagu di film Soegija. Pada saat cuplikkan film terdapat adegan kelompok musik
menghibur tamu-tamu dengan menyanyikan lagu kopi susu di hotel ASIA di film
tersebut.
SINOPSIS
FILM “SOEGIJA”
Film ini melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa
perang kemerdekaan bangsa Indonesia (1940-1949). Adalah Soegija yang diangkat
menjadi Uskup Pribumi pertama dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya
kemanusian itu satu satu kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya.
Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar
manusia. Ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942, Mariyem (Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya. Ling Ling (Andrea Reva) terpisah dari ibunya (Olga Lydia).
Tampaknya keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh
orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), seorang tentara Jepang dan
penganut Budhist, ia tidak pernah tega terhadap anak-anak, karena ia juga
mempunyai anak di Jepang.
Robert (Wouter
Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang
hebat, akhirnya juga disentuh hatinya oleh bayi tak berdosa yang ia temukan di
medan perang. Ia pun rindu pulang, ia rindu pada ibunya. Di tengah perng pun
Hendrick (Wouter Braaf) menemukan
cintanya yang tetap tak mampu ia miliki karena perang.
Soegija ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta
keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan
kematiaan. (asep, dari berbagai sumber)