Manggung Lagi di Bulan Juni’10
Selasa lalu (23/3) di pendopo Instituts Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS), suasananya tidak seperti biasanya di sebelah kiri pendopo di gedung B terpampang kain hitam yang dibentuk semacam lorong hitam.
Ternyata itu gedung B-14 dan 15 sengaja didesain seperti itu. Kaca dan trails pun ikut hitam dan dikombonasi dengan koran bekas. Dan, usut punya usut adanya pementasan teater Adhi Tama. Teater Adhi Tama, salah satu bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa di ITATS.
“Kali ini teater Adhi Tama menggelar Malam Budaya Seni dengan melakonkan Para Jahanam dan Puisi Teaterikal Bangsa Pelacur.“
Dalam gedung B-14 dan 15 berubah total dipenuhi kain hitam. Hitam merupakan warna inspirasi bagi seniman teater. Latar panggung dibuat minimalis dan pencahayaannya pun dibuat sederhana.
Sebelum pementasan teater, panitia menyajikan tari tradisional dengan judul ”Roro Minggir “, puisi spontanitas ”Rayuan”, dan perkusi Phsyco Noise dengan membawa dua komposisi, yakni selamat datang dan sampai jumpa Phsyco Noise. Permainan Phsyco Noise kompak sekali melalui perpaduan tong, perkusi, dan kayu yang di susun mirip kulintang.
“Semakin lengkap dan meriah Malam Budaya Seni dengan hadirnya puluhan mahasiswa ITATS, pemerhati seni teater, dan pembantu rektor III, yakni Bambang Setiono.”
Menurut Bambang menuturkan bahwa melalui peran seni pesan sosial kemasyarakatan tersampaikan dengan baik. Masyarakat akan lebih melek terhadap situasi dan kondisi saat ini. Dan, mengungkapkan sejarah kehidupan dunia. Beliau sendiri juga setuju dengan lagu yang dilantunkan Ahmad Akbar, yakni dunia itu panggung sandiwara.
Dengan teater, para pemain semakin peka dan peduli pada masalah sosial kemasyarakatan, terutama di Surabaya, tambah Bambang.
”Dunia sekarang tidak lagi putih dan jernih. Sekarang menjadi abu-abu atau bahkan hitam, itu karena manusia sendiri yang mengotorinya.”
Setelah berbagai sajian pembuka dan kata pengantar dari Bambang, lakon para jahanam pun digelar dengan setting panggung hanya terdapat satu meja dan kursi. Pak Tua sedang binggung mencari secarik kertas berisi puisinya.
Dan, memanggil istrinya, Tumiah. Tumiah mempunyai sifat selalu mengeluh akan hidupnya yang serba kekurangan. Setiap kali berkeluh kepada Pak Tua. Pak Tua selalu menjawab sabarlah dulu. Malahan meminta uang kepada istrinya untuk pasang lotre. Pak Tua mengantungkan hidupnya dengan lotre dan merah delima.
Begitu juga hidup keponakkannya, Ujang pun sama selalu hidup di jalan dan minum-minuman keras. Dan, berbuat mesum kepada si Janda. Tak kunjung datang rezeki dari loter, akhirnya Pak Tua gelisah dan stress. Mendapati Ujang yang lagi mabuk berat dan menyisakan minumannya.
Pak Tua langsung meminum minuman tersebut. Kembalilah tidur dan memasuki kamar sambil sempoyongan. Di dalam kamar tersebut ada keponakkan perempuannya dan istrinya yang sedang tidur. Tak sadar akibat minuman keras, Pak Tua menggauli keponakkannya dengan leluasan. Ending cerita dari Para Jahanam ini, akhirnya sang istri marah geram.
Lanjut, bangsa pelacur pun ditampilkan di malam budaya seni ini dengan mengisahkan perjalanan seorang pelacur. Penampilan teater Adhi Tama sangat ketal dengan gerak tubuh, ekspresi wajahnya, dan setting blokingnya. Bahkan olah vokalnya pun terdengar jelas. Semakin kuat karakter para pemain bangsa pelacur dengan alunan musik instrumentalia, permainan perkusi, seruling dari tim musik, permainan toya, dan tata lighting.
”Putu Wijaya mengatakan bahwa bermain teater tidak perlu membutuhkan biaya yang tinggi. Kebutuhan teater telah berada di alam, katanya.” (asep)