195 Tahun, Saatnya Beri Kesempatan Bagi Orang Muda Katolik
Awal mulanya gereja pertama Kelsapa peninggalan Misionaris jaman Belanda ini berada di pojok Roomsche Kerkstraat/Komedie weg sekarang bernama jalan Cendrawasih sekitar wilyah Polwiltabes. Namun karena gereja pertama semakin rusak dan perkembangan umat begitu pesat. Akhirnya sekitar tahun 1822, umat merealisasikan membangun sebuah gereja berada di jalan Kepanjen/Kebunrojo yang berdampingan dengan SMAK Frateran (sebelah kanan) dan Kantor Pos Besar (sebelah kiri).
Pastor pertama kali yang bertugas di gereja Kepanjen, yakni Pastor Phillipus Wedding dan Pastor Hendricus Waanders. Namun Pastor Wedding kemudian pindah bertugas ke Batavia. Sementara Pastor Waanders menetap di Surabaya membaktikan dirinya untuk melayani umat Kepanjen dan sekitarnya.
Tidak hanya itu, gereja yang merupakan ikon kota Surabaya menjadi cagar budaya ini bergaya Geothic sering kali dikunjungi oleh wisatawan asing maupun lokal. Mereka tertarik pada gaya arsitekturnya dengan menggunakan batu bata yang tampak luar dan berbentuk salib. Dan, telah diabadikan dalam bidikan seorang fotografer dan telah menjadi bagian dari museum minim di depan balai Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria.
Dan, tak terasa usia gereja pertama kali di Surabaya ini sudah berusia 195 Tahun. Usia ini tidak begitu pendek yang dirasakan umat Kepanjen. Begitu panjang perjuangannya dalam menumbuhkembangkan perkembangan umat dalam hidup menggereja. Hingga, berkembang sampai saat ini.
Kalau kita melihat dari sesi gedungnya tetap berdiri kokoh dan dihiasi dengan berbagai tanaman hias dan fasilitas gedung yang memadai. Seperti tanaman hias yang berada di depan gereja, balai pengobatan, ruang BIAK, ruang REKAT, ruang KOMSOS, ruang MUDIKA, ruang SSV, dan di belakang sebelah kanan dilengkapi dengan gua Maria.
Gua Maria menjadi tempat untuk berdoa umat Kepanjen maupun di luar Kepanjen. Sampai akhirnya diadakan misa Oase setiap hari Jumat pada siang hari atau saat jam istirahat makan siang. Di depan ruang Organisasi Katolik terdapat replika patung Hati Kudus Yesus. Dan, di samping kiri dibangun balai paroki yang dilengkapi dengan ruang-ruang pertemuan, salah satunya untuk Legio, ruang doa, di atasnya terdapat gedung apreasi seni maupun seminar dan dapat digunakan sebagai fasilitas olah raga, seperti olah raga Bulutangkis.
Di lantai 1 terdapat ruang sekretariat, kedai buku dan benda-benda rohani, ruang dewan paroki, ruang pembinaan untuk BIAK dan Rekat, serta ruang pastor paroki untuk konsultasi maupun kanonik.
Sangatlah memadai fasilitas gereja kita. Kita sebagai umat Kelsapa seharusnya berbangga memiliki gereja yang unik dan klasik ini. Kebangggaan ini, apakah hanya sekedar pada bentuk fisiknya. Namun, hal ini menjadi dilema bagi umat Kelsapa. Bila hanya bangga pada bentuk fisiknya saja. Berbanggalah hidup menggereja kita sebagai umat Allah. Karena kita telah dibaptis dan menjadi bagian dari anggota tubuh Gereja.
Bagian inilah yang seharusnya menjadi bahan refleksi kita sebagai umat Kelsapa dalam menyambut hari jadi gereja kita. Apakah kita telah berperan aktif menumbuhkembangkan hidup menggereja di saat mau menginjak usia yang ke 2 abad ini.
Dan, tepat sekali Hari Ulang Tahun (HUT) Gereja kita kali dengan mengusung tema, “Ini Aku Utuslah Aku, Yesaya 6:6-8.” Tema ini merupakan tema yang cukup mendasar dan mendalam. Untuk mengingatkan kita dalam hidup menggereja, terutama pelayanan kita kepada Gereja.
Kita sebagai umat Allah yang bertumpu pada PuteraNya, hendaknya melayani sesamaNya. Yakni umat kita sendiri melalui kegiatan yang telah dirumuskan oleh panitia HUT kali ini. Diantaranya Seminar Kitab Suci, Seminar Ajaran Sosial Gereja, Lomba Koor antara wilayah maupun lingkungan, Lomba Pemazmur, Lomba Membaca Kitab Suci atau seringkali pelakunya disebut Lektor, dan Merangkai Bunga.
Semarak kegiatan HUT ini merupakan bentuk aplikasi dari tema yang diusung oleh romo paroki dan panitia HUT kali ini. Dengan adanya lomba dan seminar, umat diajak semakin terlibat aktif dalam pelayanan hidup menggereja. Hingga umat semakin hidup dan lebih hidup serta kokoh berdiri menghadapi arus globalisasi.
Dan, ini yang diharapkan oleh para hirarki kepada umatnya. Keterlibatan langsung dalam hidup menggereja untuk menjadi pelayananNya, seperti menjadi petugas lektor, misdinar, perangkai bunga, pemazmur, dan anggota koor. Serta tergabung dalam organisasi katolik baik kategorial maupun lingkungan paroki.
”Seperti yang ditulis dalam bukunya oleh Alm. Rm. Mangunwijaya dengan menumbuhkembangkan Gereja Diaspora. Gereja bukan hanya milik para hirarki, melainkan miliki kita bersama. Para hirarki sebagai fasilitator dalam mendampingi umatNya. Dalam pertumbuhan iman Katoliknya.”
Terutama keterlibatan Orang Muda Katolik (OMK) kita, karena nantinya merekalah yang menjadi penerusnya. Kita sebagai umat dan pengurus yang mempunyai di atas 45 tahun. Hnedaknya mau melibatkan OMK dalam hidup menggereja.
Mengapa demikian?, karena saat ini OMK mengalami pasang surut dengan imannya yang lebih cenderung mengikuti arus globalisasi. Dengan adanya budaya yang serba instans. OMK cenderung menikmati budaya tersebut tanpa menyadari bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya meracuni OMK kita. Hingga tak sadar, mereka terbuai dengan fasilitas tersebut dan mempengaruhi pola pikir mereka dalam mengarungi hidup mereka di jamannya.
Hal ini janganlah kita biarkan, karena nasib OMK masih panjang dan salah satu penerus Gereja nantinya. Untuk itu, para hirarki dan dewan paroki harus membuka peluang lebar-lebar. Para hirarki dan dewan paroki mau memberikan fasilitas kepada mereka. Dalam bentuk kegiatan OMK sesuai keinginan mereka. Sehingga tak terasa mereka akan rindu hidup menggereja dan selalu ingin menggelar kegiatan di gereja.
Dengan begitu, apa yang ditulis dalam bukunya Alm. Romo Mangunwijaya benar-benar terwujud dalam diri umat Kepanjen. Mewujudkan keterlibatan OMK dalam segala kegiatan di gereja.
Dan, perlu diketahui keberadaan OMK saat ini lebih kreatif dan mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam membangun gereja. Namun hal ini menjadi dilema, dikarenakan para pengurus gereja kurang memberikan tanggung jawab dan kepercayaan kepada OMK.
Paradigma inilah yang harus kita bongkar dan mau memberikan peluang kepada OMK. Untuk terlibat aktif mengikuti kegiatan di gereja. Adanya kekeliruan dalam diri OMK itu hal biasa dan perlunya bimbingan serta arahan. Itu semua menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai pengurus gereja untuk mendampinginya.
Bila ini kita lakukan dalam gereja kita akan semakin bertumbuh kembang pesat dengan semangat OMK melalui keteladanan putraNya.. Karena kepercayaanlah yang dibutuhkan oleh OMK. Kalau kita melihat OMK mempunyai kemauan dan kemampuan yang luar biasa. Dan, memperbolehkan OMK mengadakan kegiatan dalam lingkup besar yang dilakukan oleh OMK. Kesemuaannya panitianya dipercayakan kepada OMK. Para hirarki dan dewan paroki menjadi kontrol sosial. Sedangkan di struktur organisasi kita terdapat seksi kepemudaaan. Seksi kepemudaan di sini menjadi fasilitator dan membuat program kaderisasi untuk OMK sesuai minat dan bakat mereka. Sehingga memaksimalkan fungsi seksi kepemudaan sebagai penjembatan antara dewan paroki dengan OMK.
Jadi, alur yang dilakukan dalam menggerakkan OMK, yakni melibatkan peran serta OMK secara proaktif dalam kegiatan, mempercayakan salah satu kegiatan sepenuhnya kepada OMK, membuat program kaderisasi, dan menggelar rekoleksi. Dengan begitu terciptalah Habitus Baru bagi OMK di tengah-tengah Gereja kita. Sesuai tujuan arah dasar pastoral keuskupan Surabaya. (asep)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar