Rabu, 25 Februari 2009

Seminar Kitab Suci


Siapa takut Menafsirkan Kitab Suci?

”Seringkali umat Katolik lupa bahwa gereja mempunyai kekayaan terbesar diantara Alkitab. Tetapi Alkitab kurang digeluti oleh umat katolik. Atau sibuk dengan urusannya mereka atau lebih familier dengan pujian syukur. Bahkan terbiasa dengan teks misa. Jadi tidak perlu membawa alkitab di saat ke gereja. Atau bahkan takut dan salah menafsirkan Alkitab.”


Melalui kalimat ini, umat katolik masih canggung untuk membuka dan membaca kitab suci. Mengapa demikian?, Mungkin karena takut menafsirkannnya salah atau gimana?. Dengan melihat ini Forum Studi Ilmiah Katolik (FOSIL Katolik) tergerak untuk mengadakan seminar kita suci sehari untuk menfasilitasi kebutuhan umat Katolik saat ini.

Seminar Kitab Suci diadakan di Catholic Center tepat di jalan Bengawan No. 3, Minggu lalu (8/2) dimulai pukul 09.00 wib. Seminar ini menghadirkan narasumber yang kompeten, yakni Romo Prof. Dr. H. Piedyarto G., O.Carm. Seminar Kita Suci bertajuk ”Cara Menafsirkan Alkitab Secara Katolik.

Romo Piedyarto mengatakan Alkitab satu kesatuan dengan Allah. Allah berbicara dengan kita melalui PuteraNya, yakni Yesus Kristus. Membaca kitab suci, kita juga membaca sejarah perjalanan Tuhan dengan Allah. Jadi, sebelum menafsirkan kita harus belajar banyak hal mengenai Alkitab. Tidak boleh tergesa-gesa pada saat membacanya, umat perlu menghayati dan mengimaninya ayat demi ayat, kata Romo Piedyarto.

Alhasil, bila kita hanya membaca sendiri tanpa pendampingan menjadi percuma. Terasa hambar rasanya. Pastor atau romo dapat membantu kita sebagai pendamping atau pembimbing, karena romo salah satu penganti para rasul. Para rasul merupakan seorang Magisterium (guru, red.) yang menjaga dan menafsirkan dengan setia sabda Allah, jelas Piedyarto.

Umat Katolik saatnya membangun budaya membaca Alkitab yang tinggi. Perlu diingatkan bahwa membaca Kita Suci dengan kecintaan hati yang tulus dan satu-kesatuan, tidak sepenggal-penggal atau “asal comot”.

Bila asal comot begitu saja, nantinya penafsirannya akan menjadi salah kaprah. Kesalahkaprahan akan membuat salah tafsir dan menjadi perdebatan yang “carut marut”.

Lebih jauh lagi, Romo Piedyarto juga membagikan lima prinsip penafsiran Alkitab, diantaranya prinsip penelitian ilmiah, prinsip roh kudus, prinsip isi dan kesatuan seluruh Alkitab, tradisi hidup seluruh Gereja, serta Analogi Iman.

Kelima prinsip ini harus kita kuasai dan umat diperbolehkan menafsirkan Alkitab. Jadi tidak hanya kaum hiraki saja yang mampu dan boleh menafsirkan Alkitab. Seluruh Gereja termasuk kaum awam boleh membaca dan menafsirkan Alkitab.

”Bahkan Komisi Kepausan Kitab Suci menyatakan bahwa kaum kecil dan tertindas sering kali mampu memahami Alkitab dengan baik. (bdk. Ucapan Yesus pada Mat 11:25; Luk 10:21).”

Untuk itu umat Katolik memerlukan petunjuk praktis lain dalam menafsirkan Alkitab, diantaranya berdoa sejenak, membaca teks dengan penuh perhatian dan teliti, melihat konteksnya, menganalisa kalimatnya (menurut subjek, predikat, dan objeknya), menganalisa makna kata dengan jalan melihat teks-teks lain yang memaknai kata yang sama, mencari gagasan penting suatu teks, dan mencoba melihat logika teks.

Selain beberapa petunjuk praktis, dalam menafsirkan Alkitab. Kita juga memerlukan beberapa penguatnya supaya semakin memahami ayat-ayatnya, diantaranya konkordasi dan kamus Alkitab.

Alhasil, Romo Piedyarto juga menjelaskan bahwa Alkitab memakai bahasa Perumpamaan. Di Alkitab banyak arti dan jenis-jenis perumpamaan. Kata ”perumpamaan” mengandung arti pembandingan suatu hal dengan hal lain. Dalam bahasa Yunani perumpamaan adalah parabole dan dalam bahasa Ibrani mashal. Misalnya ucapan ”Hai tabib, sembuhkanlah dirimu sendiri” disebut ”perumpamaan” (terjemahan LAI: ”pepatah”). Perumpamaan bisa juga berupa satu kisah yang cukup panjang, misalnya tentang penabur (Mat 13:24-29).

”Tujuan perumpamaan adalah menantang para pembaca agar ikut berfikir, mengambil sikap, dan mengubah cara hidup umat Katolik,” jelas Romo Pied. (sep.)

Ilustrasi diambil dari Internet.