Minggu, 01 Maret 2009

Pertanian Organik


Penyelamatan Tanah = Menyelamatkan Manusia


Dalam beberapa tahun terakhir ini, Keuskupan Surabaya melalui Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) menggencarkan gerakan pertanian organik. Secara geografis letak wilayah Keuskupan Surabaya memang sangat didominasi wilayah agraris, tentunya tidak sedikit pula umat yang menekuni bidang pertanian atau perkebunan.
Di beberapa vikep sudah ada gerakan pertanian organik, misalnya di Blitar ada Wahana Bina Patria di bawah naungan Yayasan Yosef, di Cepu sudah ada proyek percontohan pertanian organik, dan di Ngawi pertanian organik sudah berjalan cukup lama. Bupati setempat juga sangat mendukung gerakan pertanian organik ini.


Penggalakan pertanian organik menjadi prioritas program PSE tidak hanya di keuskupan semata, namun juga sebagai di tingkat Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Bahkan, dalam medio Maret 2009 KPSE Keuskupan Surabaya berencana mengadakan Pelatihan Pertanian Organik se-Kevikepan Madiun dan Cepu.

Hal ini sebagai bentuk kepedulihan gereja terhadap keberadaan tanah sawah yang semakin lama semakin rusak akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan dalam waktu yang panjang. Kalau tidak diubah dari pola tanam anorganik ke organik, niscaya tanah sawah tak akan lagi bisa berproduksi beras yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Keuntungan dan Kesiapan
Perubahan pola tanam dari anorganik ke organik yang saat ini dicanangkan oleh gereja memang membawa dampak yang baik bagi tanah sawah, namun tidak dalam jangkah waktu yang pendek.
Dari berbagai wawancara yang dilakukan penulis pada orang yang sudah melakukan pola tanam organik, memang perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi petani dalam jangka waktu satu sampai tiga tahun. Tetapi setelah tiga tahun, perubahan itu akan terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi tanah tersebut.

Bahkan, di Ngawi para katalisator pertanian organik (Bambang Gunadi dkk) pada awalnya merangsang dengan cara membeli 10 persen lebih mahal dari harga pasaran.

Sedangkan dari beberapa petani yang berhasil ditemui di sekitar penulis bermukim menyatakan bahwa pertanian organik itu bagus, tetapi terlalu lama dan hasilnya sedikit, sehingga berpengaruh langsung terhadap penghasilan. Selain itu, "Kami belum tahu di mana mendapatkan benih organik beserta pembasmi hamanya. Sedangkan seandainya membuat pupuk sendiri, sawah kami tak tergarap."

Perubahan Pola Tanam
Dalam perubahan pastilah membawa dampak, entah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan dari semua sisi kehidupan. Begitu pula dalam upaya penyehatan tanah kembali atau mengubah pola tanam dari anorganik yang selama ini dilakukan oleh petani, menjadi pola tanam organik supaya pada akhirnya tanah dapat terus berproduksi dan hasil panen petani dapat melebihi dari pada hasil anorganik bukanlah pekerjaan yang mudah.

Karena hal tersebut membawah perubahan terutama menyangkut ekonomi, bagi petani yang sudah lama melakukan perubahan pola tanam tentunya sudah melewati situasi penurunan produksi bahkan sudah mengalami peningkatan hasil panen, tetapi bagi yang baru atau akan melakukan perubahan tentu saja akan merasakan penurunan produksi selama satu sampai tiga tahun ke depan.

Penurunan tersebut merupakan situasi yang tidak menyenangkan bagi petani yang baru melakukan perubahan pola tanam, karena hal tersebut berdampak langsung terhadap perekonomian para petani. Sebagai dampak lain yang ditimbulkan dari penerimaan penghasilan yang mengalami kemerosotan yang tajam tentunya akan berdampak psikologis yang hasus ditanggung oleh petani.

Bagaimanakah gereja menyikapi hal ini? Apakah hanya cukup membeli 10 persen lebih mahal dari harga pasaran? Perlukah dilakukan penyadaran dan pendampingan untuk selalu memelihara motivasi petani, paling tidak sampai kondisi tanah kembali normal dan hasil panen mengalami peningkatan ? Tentunya hal tersebut di atas perlu dipikirkan bersama, sebab bagaimanapun juga upaya penyelamatan sawah yang saat ini digalakkan sama dengan penyelamatan manusia dalam jangka panjang. (Heri Risdianto)

ilustrasi diambil dari http://www.sragen.go.id/