Kamis, 11 September 2008

Orang Muda Katolik

Mudika Bukan Next Generation

Oleh FX Rubbyjanto S.

Salah satu kelompok kategorial yang pasti ada dan mewarnai setiap paroki adalah Mudika alias Muda-Mudi Katolik, atau apa pun istilah di masing-masing paroki. Organisasi kategorial ini dimulai dari usia bangku sekolah SLTA sampai dengan mereka yang belum menikah. Pada umumnya mereka selalu dikelompokkan sebagai bagian dari next generation dari sebuah paroki.


Sumbangsih pikiran, ide, gagasan, dan sebagainya dari kaum muda biasa dianggap remeh. Dianggap anak kemarin sore oleh para pengurus gereja yang memang rata-rata dijabat oleh kaum tua. Acap kali dalam setiap kegiatan besar gereja, jabatan para orang muda tak lebih dari bagian perlengkapan.

Pertanyaan saat ini, apakah Mudika tetap mendapat cap seperti itu? “Tidak!“ itulah jawaban Ketua Dewan Paroki St. Stefanus, Surabaya, Agustinus Setiarso, yang sebelumnya menjabat sebagai pendamping Mudika St. Stefanus.

“Mudika bukan lagi bagian dari next Ggneration dari sebuah

paroki, tetapi mereka saat ini menjadi bagian dari paroki. Mudika pada umumnya pribadi yang unik, memiliki potensi dengan ciri khasnya sendiri sebagai anak muda. Dinamis, terbuka, kreatif, idealis, tetapi juga empati dan rasa kesetiakawanan dan kebersamaannya tinggi.”

“Gampang-gampang susah mendampingi kaum muda, karena mereka juga merupakan sekelompok usia yang sedang mencari identitas diri. Kalau pas lagi kompak, banyak sekali yang berkumpul, tetapi kalau sudah pas hilang, ya hilang. Tidak stabil. Dan itu saya rasa terjadi di setiap paroki,” kata Agustinus Setiarso, yang biasa dipanggil Pak Agus.

"Tetapi mereka harus mendapat pendampingan, pengarahan, agar kelompok atau habitus dari anak muda ini dapat menjadi habitus baru dalam sebuah paroki. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia sendiri pernah mengangkat topik khusus untuk anak muda ini. Kalau nggak salah, saat itu temanya Bangkit dan Bergeraklah."

“Banyak anak muda yang sudah masuk dalam jaringan narkoba, seks bebas, dan segala bentuk kejahatan-kejahatan lain. Apakah kita harus berpangku tangan melihat generasi muda kita semakin hancur? Di sisi lain ada sekelompok anak muda yang punya hati, ingin aktif dalam paroki, kenapa tidak kita perhatikan dan kita dampingi? Banyak cara agar mereka mau dan bergabung dalam setiap kegiatan berparoki, lewat band atau apa pun kesenangan dan hobi anak muda kita saat ini. Lewat itulah, kita mencoba masuk, membina, serta mengarahkan mereka."

Di Paroki St. Stefanus, anak-anak muda ini bergabung dalam MUSTAFA, Muda-mudi Katolik St. Stefanus. Ia berangkat dari kegemaran bermain musik, akhirnya mereka memiliki grup band dan sering tampil baik untuk umat maupun masyarakat umum. Mereka juga mengisi kas Mudika dan gereja dengan hasil penampilannya. Sekarang MUSTAFA ini telah memikirkan generasi lanjutan dengan membentuk grup band dari kelompok Rekat dan Misdinar.

"Saat ini semakin banyak anak muda yang duduk dalam jajaran Dewan Pleno Paroki St. Stefanus," aku Pak Agus.

“Pembinaan dan pendampingan terus kami lakukan baik tingkat teritorial, dengan selalu mendata dan mengundang serta mengajak anak muda yang ada di lingkungan, wilayah, stasi yang ada. Membentuk kelompok-kelompok kategorial, seperti paduan suara, band. Kami juga selalu berusaha melibatkan anak muda yang ada di paroki untuk ambil bagian dalam kelompok kategorial di luar paroki. Jajaran Dewan Pleno kami banyak anak muda terlibat di sana.”

Pak Agus berharap semoga momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang baru saja kita peringati dan 63 Tahun Kemerdekaan RI mampu membangkitkan semua orang muda yang ada di paroki-paroki untuk ikut ambil bagian memikirkan perkembangan gereja masing-masing. Orang muda Katolik dapat menjadi Garam dan Terang Dunia di mana pun mereka berada.

Bravo kaum muda! Bangkit dan bergeraklah! Jangan mau menjadi next generation! Saat ini kalian sudah menjadi bagian dari gereja. (*)

BIAK Paroki Kelsapa

Baksos BIAK Kelsapa

di Rumah Singgah Simo


Minggu, 13 Juli, Bina Iman Anak Katolik (BIAK) Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya, mengadakan bakti sosial di Yayasan Merah Merdeka. Bakti sosial ini diikuti delapan pembina BIAK, satu perwakilan dari Dewan Paroki, dan 10 anak BIAK Kelsapa. Di Yayasan yang berada di Simo Pomahan II/2A itu, rombongan membagi-bagikan sumbangan peralatan tulis kepada anak-anak yang tinggal di sanggar dan rumah singgah Merah Merdeka.

Bakti sosial ini sebagai wujud keprihatinan BIAK Kelsapa terhadap anak-anak yang membutuhkan bantuan berupa alat-alat tulis. “Juga sebagai kegiatan rutin BIAK Kelsapa tiap satu tahun sekali” ujar Steven Taufik Leo, selaku ketua panitia bakti sosial.

Tak hanya membagi-bagikan sumbangan, BIAK Kelsapa mengadakan permainan-permainan yang berguna untuk menjalin keakraban antara penghuni sanggar dan rumah singgah bersama anak-anak BIAK. Permainan-permainan itu berupa kuis komunikata, gerak dan lagu. Dalam permainan kuis ini tidak semua anak turut berpartisipasi. Sehingga, anak-anak dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing terdiri dari lima anak.

Setelah bermain kuis ini, 65 anak yang hadir dalam acara bakti sosial ini mendengarkan cerita tentang sampah. Cerita ini diceritakan oleh salah satu pendamping BIAK Kelsapa. Isi dari cerita itu adalah anak-anak dilatih sejak dini untuk tidak membuang sampah sembarangan. Anak-anak jangan meniru apa yang dilakukan oleh kedua bocah yang ada di dalam cerita itu yang membuang sampah sembarangan. Perbuatan yang dilakukan oleh kedua bocah itu menimbulkan banjir di kampung tempat tinggalnya.

Setelah anak-anak selesai mendengarkan cerita, pendamping BIAK memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang BIAK, sampah dan seputar sanggar. Di antaranya, di mana kita harus membuang sampah, kepanjangan BIAK, berapa anggota sanggar. Siapa yang bisa menjawab semua pertanyaan akan mendapatkan hadiah berupa botol minum sekolah, pensil warna, buku gambar, satu set alat tulis. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan siang bersama.

Pendamping BIAK dan anak-anak sanggar dan rumah singgah menampilkan kreativitasnya masing-masing setelah makan siang. Pendamping BIAK menampilkan tepuk khas BIAK Kelsapa: “Tepuk BIAK…BIAK is the best…. Olala…Olele.. Kinclong-kinclong…”. Tak mau kalah dengan pendamping BIAK, anak-anak sanggar dan rumah singgah yang dibina Romo Didik Setyawan CM itu menampilkan satu buah tarian. Acara terakhir adalah pembagian sumbangan berupa peralatan-peralatan tulis seperti buku, penghapus, penggaris, pensil, kotak pensil, bolpoin, dan serutan pensil. Peralatan-peralatan tulis itu merupakan sumbangan anggota BIAK saat misa Natal dan Paskah. (Rahayu)

Puisi

Pak Buta, Hatinya Terbuka

Si Tole badannya kurus alias lencir.
Bocah kecil, kepalanya agak gundul potongan marinir Tinggal di gang nyelempit (kecil) di kampung Surabaya.
Ia anak periang dan suka bergaya.

Suatu ketika, ia bermain bersama seorang teman. Yang kebetulan anak jalanan.
Bersepeda bersama di wilayah Wonokromo Surabaya.
Sial, sepeda angin kesayangannya dicuri orang, hilang entah ke mana.

Ia menangis mau bagaimana.
Mau pulang takut dimarahi ibu dan bapaknya. Linglung, sedih dan bingung bercampur
Si teman mengajak ngamen dan ngandhol sepur.

Ia setuju dan berharap, uang tuk ganti sepeda.
Segera ngandhol dan ngamen di kereta api jurusan Jakarta. Keputusan sang bocah, tanpa konfirmasi orang tua.
Orang tua linglung bingung mencari entah ke mana.

Segenap penjuru kota ditelusuri
Luar kota Surabaya termasuk Denpasar, Bali dijajaki. Hasilnya belum nampak
Orang tuanya bersedih ke mana gerangan si bocah bergerak.

Dalam pengembaraan si Tole bertemu aneka kekerasan
Diuber-uber petugas, sampai dimusuhi sesama pengamen.
Sudutan rokok pun berulang-ulang ia rasakan.
Ia kecap manis ganas kasarnya kehidupan.

Yang paling menyedihkan dan menyesakkan.
Dalam kebingungan, kelaparan, keputuasasan dan ketakutan. Dalam alam bebas tanpa norma.
Tole ditinggal pergi temannya.

Lebih sebulan hidup dalam ketidakpastian
Jauh dari dekapan orang tua. Jauh dari keharmonisan
Dekat kelaparan, kekerasan, kebohongan dan kecuekan
Ia merasa sendiri dan sendiri, hidup diperas orang lain

Saat menangis sendirian
Datang orang yang tak dikenal sendirian
Orang itu merasa kasihan dan iba kepada si bocah melas “Anak kecil sendirian, kok ada di wilayah ganas”

Dengan segala keterbatasan
Menggali informasi seputar Tole si bocah ingusan Dengan segenap kekuatan dan daya
Ia Mengantarkan Si Tole ke Surabaya
Sang orang tua pasrah nasib anaknya, sudah siap getir
Bagai mandapat wahyu, sekonyong-konyong kesamber petir
Anak yang sudah hilang
Tiba-tiba, tanpa kabar, Tole pulang
Puji dan syukur dipanjatkan pada Sang Ilahi dan Agung. Komat-kamit terima kasih kepada orang penolong.
Kaget dan terhenyak!!! Orang tua dan warga kampung. Setelah melihat kondisi penolong.
Bagai disambar gledek.
Antara percaya dan Tidak
Akhirnya toh percaya...
Sang Penolong matanya buta.
Mata buta hati terbuka
Berhati emas Pak Buta
Mengembalikan anak pada orang tuanya
Mengembalikan kebahagiaan anak dan orang tuanya

Si Tole berbekal daya ingat “nama kampung dan kota”
Berniat pulang pada orang tuanya
Bertemu Pak Buta yang luhur hati dan budinva
Jadilah kerja sama kemanusiaan yang luar biasa

Kisah nyata disarikan dari diskusi bersama kawan-kawan lama yang pernah aktif di YMM (Yayasan Merah Merdeka)
K. Karyadi. 2007