Senin, 01 Agustus 2011

Selamat Ulang

Hampir 1 Abad Berkarya dan Melayani Umat Surabaya

Kamis lalu (21/7) suasana Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Keuskupan Surabaya tidak seperti biasa. Sore itu banyak umat berdatangan untuk menghadiri perayaan HUT Gereja Katolik Hati Kudus Yesus.

"Gereja yang berdiri pada tahun 1921 merupakan bangunan peninggalan Belanda ini telah berusia 90 tahun tepatnya 21 Juli 2011."

Menyambut perayaan HUT ke-90, panitia menggelar syukuran dengan perayaaan ekaristi, lomba tumpeng, dan nasi kuning. Lomba diadakan di halaman gereja. Selepas perayaan ekaristi.

Sebagai ucapan syukur, panitia membagikan post card. Dengan gambar gedung gereja 4 generasi mulai dari tahun 1921 hingga 2011. Dan, dibaliknya terdapat tulisan visi dan misi Gereja Keuskupan Surabaya; "Gereja Keuskupan Surabaya sebagai persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa dalam Iman, Guyub, Penuh Pelayanan, dan Misioner" serta Lima Tugas Gereja, diantaranya Diakonia, Koinonia, Liturgia, Martyria, dan Kerygma. (asep)


Ilustrasi : www.images.google.com

OASE


LEWAT PANGAN ORGANIK,
ORANG MEMULIAKAN ALLAH


Helarius Sunardi (55) petani kecil warga Sidoharjo, Sine Ngawi, istrinya sakit maag akut. Ia mengorbankan banyak hal untuk kesembuhan istrinya, mulai dari menjual ternak dan sebagian tanahnya. Ia berpuasa minta petunjuk untuk kehidupan keluarganya yang sulit.

Lama setelah itu Sunardi mendapatkan mimpi didatangi Ratu berkilau sinar, mengatakan supaya taat pada 10 perintah Allah. Lalu Ratu itu juga memberikan sesuatu: sebuah piring
yang sangat bersih.

Sunardi akhirnya menulis di ruang utama rumahnya yang sederhana sepuluh perintah Allah dalam Bahasa Jawa. Ia berharap setiap melakukan kegiatan di rumah, ia dan keluarganya melihat tulisan itu dan mengingatnya untuk dilakukan. Tetapi mengenai piring yang sangat bersih itu ia belum tahu apa maksudnya.

Bertahun-tahun kemudian Sunardi diajak rekannya bergabung dalam kelompok Tani Mulya. Ia mendengar, dengan menjadi anggota ia akan mendapatkan modal untuk pertaniannya. Ia juga mendengar bahwa yang akan
dilakukan dalam kelompok adalah belajar bertani organik. Mengenai yang terakhir ini ia tidak begitu antusias.

Ia memang mendapatkan pinjaman modal untuk beli ternak. Tetapi lama-kelamaan yang menarik baginya adalah pertanian organik. Pelatihan pertanian organik tiap bulan menarik hatinya. Dengan bertani organik ia memuliakan ciptaan Allah. Allah dimuliakan lewat pangan organik. Ia membuat kompos dan obat hama dari bahan organik. Ia mempraktekkan pertanian organik tanpa kimia sama sekali.

Saat ini ia sudah dua kali tanam organik murni. Panennya naik, dari 4 kuintal menjadi 5,3 kuintal. Panennya terbaik di tempatnya sebab yang lain diserang wereng. Ia memenuhi lumbungnya dengan hasil panen dan menjualnya sedikit sisanya ke orang lain ketika ada yang minta. Keluarga penting baginya untuk bisa menikmati beras sehat itu. Anak istrinya senang.

Sunardi mengatakan kepada saya, mungkin inilah yang dimaksud dengan piring yang sangat bersih itu; menyajikan pangan sehat di piring Sunardi yang sederhana. (ton_nur_net)

BIAK Paroki St. Stefanus Surabaya










Live In di Stasi St. Yosef TSI
(Taman Siwalan Indah) Surabaya


Kegiatan Live In ini diikuti oleh 67 anak BIAK dari umur SD kelas 3 sampai kelas 6. Kegiatan ini bertempat di Stasi St. Yosef TSI (Taman Siwalan Indah) Surabaya, Sabtu-Minggu lalu (11-12/6) dan diikuti oleh BIAK dari paroki, stasi TSI dan PBI. Acara ini dibuka dengan pelepasan balon oleh Ketua DPP Paroki St. Stefanus Surabaya, didampingi Ketua Stasi TSI dan Ibu Duti Phidiastantri selaku Ketua Panitia Live In. Pastor Kepala Paroki St. Stefanus Surabaya Rm. Kholik, Pr sangat mendukung kegiatan ini. Beliau baru menghadiri acara ini pada Sabtu malam dan rela tidur di Stasi.

Sebelum anak-anak diantar ke keluarga tempat live in, mereka dikumpulkan di kapela dan dibekali dengan materi oleh Fr. Alfons Kolo dari Seminari Tinggi Giovanni Malang. Tema dalam kegiatan ini adalah “Ya, Aku Mau, Aku Bisa”. Dengan tema ini anak-anak dibimbing dan dimotivasi agar menanamkan dalam dirinya bahwa “Aku Bisa”. Anak-anak dimotivasi bahwa untuk sukses dalam mencapai cita-cita serta sukses menjadi anak Katolik yang baik perlu menanamkan dalam dirinya bahwa “Aku Bisa”. Di sini dibutuhkan kemauan dan kehendak yang kuat.

Anak-anak juga dibimbing untuk menanamkan sikap jujur dalam diri mereka. Mereka dimotivasi bahwa apa saja yang kita lakukan tidak akan benar-benar sukses jika tidak dilandasi oleh KEJUJURAN. Jika benar-benar ingin berhasil dalam hidup, kejujuran adalah satu-satunya acuan. Untuk melatih anak-anak dalam hal kejujuran, panitia menyediakan “Kios Kejujuran’. Kios kejujuran ini tidak dijaga. Anak-anak dapat belanja tanpa ada yang menjaga. Mereka adalah penjual sekaligus pembeli. Di sinilah anak-anak dilatih untuk jujur.

Setelah anak-anak dibekali dengan materi, mereka kemudian diantar ke keluarga tempat live in. Di sana mereka dilatih untuk hidup bersama dan mengalami suasana kekeluargaan dalam keluarga baru. Dari sharing pengalaman, anak-anak mengatakan bahwa ada suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang mereka alami di keluarga baru, misalnya kebersamaan dalam doa bersama, makan bersama, cuci piring bersama, olahraga bersama, ke Kapela untuk Misa bersama, dan pengalaman kebersamaan lainnya. Anak-anak sangat senang dengan kegiatan ini dan mengharapkan agar kegiatan ini diadakan lagi karena ini baru pertama kali diadakan oleh Paroki St. Stefanus Surabaya. (Fr. Alfons Kolo)

Gemma Inventa

Gelar Konser Reuni Tribute to Alumni

Melangkah sampai 30 tahun di dunia musik liturgi. Perjalanan yang tidak singkat untuk mereka lalui bersama. Itulah kelompok musik liturgi Gemma Inventa. Gemma Inventa, salah satu kelompok musik liturgi yang lebih dikenal dengan GI (baca : je-i).

“GI berasal dari bahasa Latin Gemma artinya “mutiara” dan Inventa artinya “yang ditemukan”.

Awal mulanya beberapa mahasiswa-mahasiswi yang terpanggil untuk melayani perayaan ekaristi khusus mahasiswa-mahasiswi se Keuskupan Surabaya. Tanggal 22 September 1982, keberadaan GI dikukuhkan oleh alm. Rm. J. Sastropranoto, CM (pastor mahasiswa).

Senada yang dikemukan oleh salah satu pendiri GI, Heru bahwa GI artinya mutiara yang ditemukan” wujud konkritnya membentuk kelompok musik liturgi dengan tujuan sebagai pengabdian kepada Gereja. Bukan sekedar hanya melayani Gereja. Hingga GI diharapkan selalu mengabdikan dirinya untuk Gereja semakin tumbuh dan hidup seiring kemajuan jaman saat ini. Bahkan tidak hanya bernyanyi, tetapi juga berorganisasi, jabar Heru.

Heru juga menambahkan bahwa GI juga mempuanyai tiga pendiri selain saya, diantaranya Bambang Hartanto dan Emanuel Kristanto, tambahnya.

Anggota GI benar-benar dilakukan dengan sepenuh hati. Pengabdiannya tidak berporos pada vertikal saja, melainkan horizontal juga bagian dari pengabdiannya.

Dengan mengembangkan dan mengaktualisasikan diri, merealisasikan potensi-potensi yang ada dalam diri GI di bidang musik liturgi, kepemimpinan, manajemen, dan komunikasi organisasi, hubungan antar pribadi, kerja sama, kreatifitas, dan homaniora.

Untuk merayakan 30 tahun GI digelar konser reuni, Sabtu lalu (9/7) (di balai paroki Santa Maria Tak Bercela bertajuk “Our Journey to Serve”.

Leonard Danaro, ketua pelaksana menjelaskan konser reuni merupakan langkah awal. Untuk persiapan anggota menyongsong konser 30 tahun GI. Pada konser ini, panitia juga mengadakan reuni, jelas Danaro.

Untuk itu, GI perlu mengadakan konser ini yang terbagi dalam 2 babak. Babak pertama dilantunkan 4 lagu gereja. Diantaranya Hallelujah, Amen dari Judah Maccabaeus, Tea for Two, Aint No Moutain High Enough, dan Festival Sanctus.

Di sela-sela, memasuki babak kedua alumi GI juga menyumbangkan 2 buah lagu yang dikonduktori oleh Ronny Kleden.

Seperti yang ditutur oleh MC, Lusi bahwa di babak kedua anggota GI menyanyikan lagu-lagu pilihan dan favorit mereka yang pernah dinyanyikan saat pelayanan dan lomba-lomba. Diantaranya Di Batas Kerinduan, Nuasa Bening, Gusti Memberkati, Naik Delman, dan Hymne GI yang digarap oleh Matheus Hermawan Budiadi dan dibantu dengan Pudji.

Hymne GI menjadi penutup dari keseluruhan rangkaian konser reuni. Konser ini semakin lengkap atas kepiawaian sang konduktor, Aditya Sukmawan dan sang pianisnya, Fansiska Kartika Rantri. (asep)

Sharing

Bukan.............
Sekedar Luar Biasa

Stephanie Santoso sekarang duduk di kelas XII untuk kedua kalinya. Teman-teman sering lupa bahwa saya harus mengenyam pendidikan SMA selama 4 tahun. Bukan karena saya tidak naik kelas, lho! Sebaliknya, saya mengambil cuti sekolah selama setahun karena saya terpilih dalam program pertukaran pelajar Youth Exchange and Studies (YES) ke negeri Paman Sam, tutur Stephanie.

Stephanie menjelaskan program YES adalah program beasiswa yang diprakarsai oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menjembatani upaya perdamaian dengan belasan negara bermayoritas muslim di dunia, termasuk Indonesia. Tahun ini kurang lebih empat ratus pelajar SMA dan sederajat dari seluruh dunia berpartisipasi dalam program ini. Lewat Yayasan Bina Antarbudaya, Indonesia berhasil mengirimkan 101 pelajarnya untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di AS selama kurang lebih sebelas bulan.

Selama setahun di Amerika Serikat “lebih dari sekedar luar biasa” karena memang hal ini yang sesungguhnya Stephanie rasakan. Stephanie belajar namun bukan sekedar belajar di sekolah tapi juga mendalami ritmik hidup, jalan pikir, dan pola kebiasaan orang Amerika. Ilmu yang didapatkan bukan hanya pelajaran formal di sekolah tetapi juga pelajaran nilai hidup di rumah hostfamily. Salah satu pengalaman yang terpatri paling dalam di hatinya pengalaman menjadi seorang kakak, tuturnya.

Di keluarga naturalnya, Stephanie adalah anak bungsu yang memiliki dua orang kakak laki-laki. Sudah perempuan sendiri, anak bungsu pula. Anda pasti bisa membayangkan betapa dimanjakannya . Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa Stephanie akan merasakan rasanya menjadi seorang kakak. Di hostfamily, Stephanie memiliki adik perempuan berusia 6 tahun dan kakak laki-laki berusia 18 tahun. Sang kakak tinggal di tempat lain sejak ia berusia 16 tahun, sehingga adiknya sudah terbiasa menjadi ‘anak tunggal’ di rumah. Mungkin dia juga tak pernah menyangka akan punya kakak perempuan seperti Stephanie. Tahun ini adalah pengalaman pertama bagi kami untuk memiliki seorang sister.

Namanya Brookelyn. Rambut pirang sebahu membingkai pipinya yang bersemu merah di kulitnya yang putih seperti tipikal orang Amerika pada umumnya. Badannya tergolong sangat tinggi untuk anak seumuran dirinya. Sekarang ia duduk di kelas satu di sekolah dasar swasta, Washington state. Sepintas Brookelyn sama dengan teman-teman sebayanya, namun ia sebenarnya menderita sensory disorder, cerita Stephanie.

Kelainan ini membuat dirinya terkadang tak bisa mengendalikan atau menyadari seberapa besar kekuatan yang ia kerahkan pada objek di sekitarnya. Misalnya saja maksud ia untuk memeluk tetapi terasa seperti cengkeraman, atau dorongan terasa seperti pukulan. Karena ini pengalaman pertama Stephanie bersama anak berusia 6 tahun, Stephanie kurang tahu apakah hal ini biasa terjadi pada anak seumurannya. Dari pengamatan Stephanie, dia tidak terlalu berbeda dari teman-temannya; hanya saja ia mengambil occupational teraphy setiap minggu sekali untuk membantu dirinya menguasai dan mengontrol kekuatannya.

Bersama Brookelyn, kami bersama-sama belajar untuk mengerti satu sama lain sekaligus tumbuh berkembang untuk mencapat tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Stephanie belajar untuk menjadi kakak yang baik, meski hal itu gampang-gampang susah. Sebelumnya Stephanie merasa bahwa sudah cukup dewasa, namun ternyata kedewasaan itu tidak cukup untuk meladeni Brookelyn, hingga suatu saat hampir lepas kendali saking geregetannya. Seringkali keegoisan menjadi alasan utama yang menghambat proses Stephanie dan Brookelyn. Stephanie juga disibukkan oleh 3 peran saya sebagai siswa, anak, dan saudara perempuan sehingga mungkin Stephanie tidak sempat menghabiskan seluruh waktu Stephanie bersama Brookelyn.

Stephanie juga menambahkan persoalan membagi waktu dan prioritas: harus belajar, sedangkan dia meminta untuk menemaninya bermain. Namun di balik semua itu Stephanie banyak memiliki pengalaman berharga bersama Brookelyn. Rasanya ada kepuasan tersendiri sebagai seorang kakak ketika melihat senyumnya setelah ia bangun tidur di pagi hari, ketika tahu bahwa Stephanie dibutuhkan olehnya, ketika Stephanie berhasil mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengalah, ketika Stephanie berhasil mengajari dia tentang sesuatu, ketika berhasil menjawab segudang pertanyaan penuh rasa ingin tahu, ketika berhasil memperkenalkan ‘dunia’ kepadanya, atau mungkin sekedar keberhasilan untuk menamatkan satu level di game kesayangan bersama-sama, tambahnya.

Stephanie mengatakan rasa cuti sekolah setahun itu terbayar dengan pengalamannya menjadi kakak karena tak pernah ada sekolah untuk menjadi seorang kakak. Pengalaman langka ini mungkin hanya bisa didapatkan sekali seumur hidup dengan ikut program pertukaran pelajar. Stephanie terharu ketika mendengar kata-kata Brookelyn yang diucapkannya tiap hari selama satu minggu terakhir sebelum pulang ke tanah air. “I don’t want Stephanie to go,” katanya. Yang hanya bisa Stephanie katakan adalah : “I am not going anywhere. I am staying in your heart as your first and last sister. We will meet again for sure.(asep)