Senin, 01 Agustus 2011

Sharing

Bukan.............
Sekedar Luar Biasa

Stephanie Santoso sekarang duduk di kelas XII untuk kedua kalinya. Teman-teman sering lupa bahwa saya harus mengenyam pendidikan SMA selama 4 tahun. Bukan karena saya tidak naik kelas, lho! Sebaliknya, saya mengambil cuti sekolah selama setahun karena saya terpilih dalam program pertukaran pelajar Youth Exchange and Studies (YES) ke negeri Paman Sam, tutur Stephanie.

Stephanie menjelaskan program YES adalah program beasiswa yang diprakarsai oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menjembatani upaya perdamaian dengan belasan negara bermayoritas muslim di dunia, termasuk Indonesia. Tahun ini kurang lebih empat ratus pelajar SMA dan sederajat dari seluruh dunia berpartisipasi dalam program ini. Lewat Yayasan Bina Antarbudaya, Indonesia berhasil mengirimkan 101 pelajarnya untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di AS selama kurang lebih sebelas bulan.

Selama setahun di Amerika Serikat “lebih dari sekedar luar biasa” karena memang hal ini yang sesungguhnya Stephanie rasakan. Stephanie belajar namun bukan sekedar belajar di sekolah tapi juga mendalami ritmik hidup, jalan pikir, dan pola kebiasaan orang Amerika. Ilmu yang didapatkan bukan hanya pelajaran formal di sekolah tetapi juga pelajaran nilai hidup di rumah hostfamily. Salah satu pengalaman yang terpatri paling dalam di hatinya pengalaman menjadi seorang kakak, tuturnya.

Di keluarga naturalnya, Stephanie adalah anak bungsu yang memiliki dua orang kakak laki-laki. Sudah perempuan sendiri, anak bungsu pula. Anda pasti bisa membayangkan betapa dimanjakannya . Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa Stephanie akan merasakan rasanya menjadi seorang kakak. Di hostfamily, Stephanie memiliki adik perempuan berusia 6 tahun dan kakak laki-laki berusia 18 tahun. Sang kakak tinggal di tempat lain sejak ia berusia 16 tahun, sehingga adiknya sudah terbiasa menjadi ‘anak tunggal’ di rumah. Mungkin dia juga tak pernah menyangka akan punya kakak perempuan seperti Stephanie. Tahun ini adalah pengalaman pertama bagi kami untuk memiliki seorang sister.

Namanya Brookelyn. Rambut pirang sebahu membingkai pipinya yang bersemu merah di kulitnya yang putih seperti tipikal orang Amerika pada umumnya. Badannya tergolong sangat tinggi untuk anak seumuran dirinya. Sekarang ia duduk di kelas satu di sekolah dasar swasta, Washington state. Sepintas Brookelyn sama dengan teman-teman sebayanya, namun ia sebenarnya menderita sensory disorder, cerita Stephanie.

Kelainan ini membuat dirinya terkadang tak bisa mengendalikan atau menyadari seberapa besar kekuatan yang ia kerahkan pada objek di sekitarnya. Misalnya saja maksud ia untuk memeluk tetapi terasa seperti cengkeraman, atau dorongan terasa seperti pukulan. Karena ini pengalaman pertama Stephanie bersama anak berusia 6 tahun, Stephanie kurang tahu apakah hal ini biasa terjadi pada anak seumurannya. Dari pengamatan Stephanie, dia tidak terlalu berbeda dari teman-temannya; hanya saja ia mengambil occupational teraphy setiap minggu sekali untuk membantu dirinya menguasai dan mengontrol kekuatannya.

Bersama Brookelyn, kami bersama-sama belajar untuk mengerti satu sama lain sekaligus tumbuh berkembang untuk mencapat tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Stephanie belajar untuk menjadi kakak yang baik, meski hal itu gampang-gampang susah. Sebelumnya Stephanie merasa bahwa sudah cukup dewasa, namun ternyata kedewasaan itu tidak cukup untuk meladeni Brookelyn, hingga suatu saat hampir lepas kendali saking geregetannya. Seringkali keegoisan menjadi alasan utama yang menghambat proses Stephanie dan Brookelyn. Stephanie juga disibukkan oleh 3 peran saya sebagai siswa, anak, dan saudara perempuan sehingga mungkin Stephanie tidak sempat menghabiskan seluruh waktu Stephanie bersama Brookelyn.

Stephanie juga menambahkan persoalan membagi waktu dan prioritas: harus belajar, sedangkan dia meminta untuk menemaninya bermain. Namun di balik semua itu Stephanie banyak memiliki pengalaman berharga bersama Brookelyn. Rasanya ada kepuasan tersendiri sebagai seorang kakak ketika melihat senyumnya setelah ia bangun tidur di pagi hari, ketika tahu bahwa Stephanie dibutuhkan olehnya, ketika Stephanie berhasil mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengalah, ketika Stephanie berhasil mengajari dia tentang sesuatu, ketika berhasil menjawab segudang pertanyaan penuh rasa ingin tahu, ketika berhasil memperkenalkan ‘dunia’ kepadanya, atau mungkin sekedar keberhasilan untuk menamatkan satu level di game kesayangan bersama-sama, tambahnya.

Stephanie mengatakan rasa cuti sekolah setahun itu terbayar dengan pengalamannya menjadi kakak karena tak pernah ada sekolah untuk menjadi seorang kakak. Pengalaman langka ini mungkin hanya bisa didapatkan sekali seumur hidup dengan ikut program pertukaran pelajar. Stephanie terharu ketika mendengar kata-kata Brookelyn yang diucapkannya tiap hari selama satu minggu terakhir sebelum pulang ke tanah air. “I don’t want Stephanie to go,” katanya. Yang hanya bisa Stephanie katakan adalah : “I am not going anywhere. I am staying in your heart as your first and last sister. We will meet again for sure.(asep)

Tidak ada komentar: