Minggu, 31 Januari 2010

SanMar Cup ke-4


Junjung Tinggi Sportifitas

SanMar Cup ke-4 merupakan kegiatan dua tahunan yang digelar oleh OSIS SMA Santa Maria bidang Presepsi, Apresiasi, Kreasi, dan Seni bekerjasama dengan ekstrakurikuler Sepak bola. Kemasan SanMar Cup ini dalam kompetisi sepak bola SMA se-Surabaya. Baik itu Swasta Katolik, Negeri, dan Swasta Non Katolik.

Kompetisi sepak bola ini diadakan di Stadion Brawijaya, Kodam. Awal dari SanMar Cup ini dibuka dengan opening ceremony, Sabtu (23/1). Diantaranya upacara singkat, janji wasit, janji tim atau pemain, pembagian bola. Dimeriahkan semarak cewek bola, modern dance, dan tradisi Tionghoa, yakni barongsai.

Detik-detik kompetisi ini semakin lengkap dilakukan pelepasan seratus balon, yakni putih dan hijau. Putih melambangkan sportivitas dan kerjasama antar tim.

Hijau melambangkan keikutsertaan tim dari masing-masing sekolah menengah atas yang terdiri dari 16 tim. Diantaranya SMA Santa Maria, SMA St. Agnes, SMAK St. Louis, SMAN 11, SMAK Stella Maris, SMAK Stanislaus, SMAK Frateran, SMA St.Yusup, SMA Ciputra, SMA Untung Suropati, SMAK Carolus, SMA Margie, SMK Petra, SMAN 20, SMAK St. Louis 2, dan SMK St. Louis.

Semakin lengkap opening ceremony ditandai dengan tendangan bebas dari Ir. Marceline Prophylia, penyerahan bola kepada masing-masing tim, dan penyerahan piala bergiling. Pertandingan perdana pun dimulai antara SMA Santa Maria melawan SMA St. Agnes. Hasilnya dimenangkan SMA St. Agnes dengan adu pinalti.

Menurut Johanes Metekohy S.Pd. selaku ketua panitia mengungkapkan kompetisi ini dilaksanakan selama 5 lima dengan menggunakan sistem gugur. Dan, antusias supporternya sangat bagus dan tertib sampai memadati tribun stadion Brawijaya, ungkapnya.

Selain itu kemeriahan di atas, SanMar Cup 4 dimeriahkan lomba fotografi antar siswa-siswi SMA St. Maria. Lomba Jurnalistik tingkat SMP se-Surabaya, yakni SMP Mimi, Vincentius, Karitas II, dan SMP Stanislaus. Sebelum lomba Jurnalistik, mereka dibekali dengan pelatihan menulis soft dan hard news. Bukan hanya menulis artikel, tetapi panitia memberikan materi lay out atau tata letak. Dengan menghadirkan narasumber, yakni FX. Rudy Prasetya S.S. dan Agustinus Sepanca Naryanto, jelas Antoni, salah satu panitia-seksi dokumentasi.

Pertandingan putaran ketiga SMA Ciputra melawan SMAN 20, Selasa (26/1). Walaupun hujan membanjiri lapangan Brawijaya, SMAN 20 berhasil membobol gawang SMA Ciputra 2-0. Gol pertama dipersembahkan oleh Bagas Sulistino (7) melalui tendanganya yang ampuh. Tak lama kemudian babak kedua, SMAN 20 mempersembahkan gol yang kedua melalui Junet (8).

Rabu (27/1), pertandingan semi final pun berlanjut. SMAK St. Agnes melawan SMAN 2O. SMAN 20. Babak pertama kedudukkannya masih 1-1. Tak sampai beberapa menit babat kedua, SMAN 20 melakukan serangan balik menuju gawang SMA St. Agnes. Hasilnya 0-2 dimenangkan oleh SMAN 20 melalui tendangan Junet.

Semi final begitu cepat dilalui oleh SMAN 20. Akhirnya pada babak final, SMAN 20 bertemu dengan SMK St. Louis. Perebutan bola semakin ketat dan saling mempertahankan posisi mereka. Untuk memperebut gelar juara I di SanMar Cup 4. Babak pertama Setan Merah (SMK St. Louis), akhirnya berhasil menerobos pertahanan lawan melalui kaki Benedictus Alexyatus (5) dan Alexius Gonorus Orno (12) berhasil menjebol gawang SMAN 20 dengan 2 – 0.

Kurang lebih jam 16.00 wib pertandingan berakhir. Dra. Indrayati memberikan tropi secara simbolis kepada sang juara SanMar Cup 4.

Penutup SanMar Cup 4
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Panitia bahwa penyerahan tropi sang juara dilaksanakan di aula Santai Maria, Sabtu (28/1). Sebelum penyerahan tropi, panitia menyambutnya dengan berbagai acara yang menarik, diantaranya band, modern dance, fashion show dengan dress code pakaian olah raga tennis, dan tari kreasi, jelasnya.

Penyambutan diawali dengan karawitan kontemporer menuju pintu masuk. Dan, para siswa-siswi menyambutnya dengan tepuk tangan untuk para sang juara. Menuju tempat duduk yang terdepan.

Dilanjutkan dengan sambutan oleh Ir. Marceline Prophylia diwakili oleh ketua panitia. Ketua panitia mengucapkan terima kasih partisipasinya kepada seluruh tim sepak bola SMA se-Surabaya, karena telah menjunjung tinggi semangat sportitifas dalam kompetisi SanMar Cup tahun 2010 ini. SanMar Cup ini akan tetap dilakukan setiap dua tahun sekali.Dan, semakin ada kemajuan sepak bola tingkat sekolah menengah atas, ucapnya.

Setelah sambutan, tiba saatnya MC mengumumkan Sang Juaranya, yakni Juara I SMK St. Louis, Juara II SMAN 20, dan Juara III SMAK St. Agnes. Ketiga sang juara ini menerima tropi, sertifikat, medali, beasiswa, dan satu paket bola.

Tidak hanya sang juara saja yang mendapatkan tropi. Best Player direbut oleh pemain SMK St. Louis (12), yakni Alexius Gonorus Orno. Top Score diraih pemain SMA St, Agnes yakni Stenly. Best Coach diberikan kepada Bapak Sunarto SMK St. Louis.

Pemilihan cewek bola terfavorit, yakni Rania X7. Untuk lomba Jurnalistik, panitia mengumumkan bahwa Juara I SMP Mimi, Juara II SMP Karitas II, dan Spirit Award SMP St. Vincetius, jelas mc. (asep)

Yayasan Paratha Bhakti


475 Tahun Ordo Santa Ursula

Yayasan Paratha Bhakti Surabaya mempersembahkan Pentas Budaya dengan tujuan untuk mengembangkan talenta siswa-siswi Santa Maria serta menumbuhkan kecintaan pada budaya Indonesia. Opera Kolosal ini melibatkan pemain sejumlah ± 700 siswa mulai dari TK sampai SMA Santa Maria. Dipentaskan Sabtu, 27 Februari 2010 mulai pukul 17.00 – 21.00 Wib tempat di SSCC Supermall Pakuwon. Dan, 60 lebih Tari Remo dan karawitan karyawan Yayaysan Paratha Bhakti turut memeriahkan event ini. Untuk undangan kontak Ibu Atik 03171072662, kerjasama sponsor menghubungi Ibu Diana 0818301072, dan Ibu Ken 081330947620. (asep)

Diskusi Jumatan Bengawan


Tampilkan Anak Koruptor

Komisi Kepemudaan yang bermarkas di Catholic Center, jalan Bengawan mempunyai beberapa kegiatan. Salah satunya diskusi Jumatan Bengawan yang diadakan setiap hari Jumat.

Berbagai materi yang dibahas dalam diskusi ini, diantaranya bedah film, buku, artikel, dan kasus yang aktual di wilayah Keuskupan Surabaya. Bahkan kasus berada di Surabaya maupun nasional. Seperti kasus nasional, yakni Prita pernah dibahas dalam diskusi Jumatan ini.

Diskusi Jumatan Bengawan kali ini, Jumat lalu (29/1) diadakan di lantai dua, dihadir kurang lebih 25 orang muda katolik membahas tentang musyawarah pastoral yang didahului dengan pentas teater dari komunitas Sanggar. Komunitas Sanggar ini, salah satu bagian dari Komisi Kepemudaan.

Mengawali diskusi ini, komunitas Sanggar mementaskan Anak Koruptor. Anak Koruptor disutradarai Albertus Prameidy dan penulis naskahnya Eric ”Genjur”, diperankan oleh tiga tokoh. Diantaranya anak diperan oleh Edo, ibu diperankan oleh Filia, dan Rico memerankan Abu. Abu di sini seorang kacung yang setiap harinya menemani majikannya, yakni ibu.

Ibu selalu bercerita tentang anaknya yang susah diatur kepada Abu. Karena anaknya mempunyai sifat sombong dan congkak. Binggung akan tingkah laku anaknya yang sombong dan korupsi ini. Menjadi pikiran dalam hati ibunya, hingga sempat jatuh di ruang tamu. Abu menolongnya dan mencoba memberikan pengharapan supaya tidak selalu memikirkan anaknya yang koruptor.

Pada ending cerita itu mengatakan bagaimana jika yang koruptor itu bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri yang menjadi koruptor.

Selesai pentas teater tersebut, Yudhit Ciphardian sebagai moderator mengajak para hadir untuk mengapresiasi dari Anak Koruptor. Dionita menanyakan bagaimana memilih peran atau tokoh dari Anak Koruptor. Karena menurut Dionita, Edo kurang pas menjadi anak. Sifatnya tidak dapat dalam cerita Anak Koruptor tersebut. Malah si Abu yang cocok menjadi tokoh si anak, tanyanya.

Salah satu anggota komunitas Sanggar menjawab bahwa proses penentuan tokoh itu melalui casting atau audisi kecil-kecilan. Kalau peran Edo menjadi tokoh anak, kami menilai bahwa karakternya kuat. Sedangkan Rico lebih cenderung pada olah vokal. Nah, kebetulan yang dicasting itu hanya tiga orang. Maka Ibu itu diperankan oleh Filia dan tidak ada lagi ceweknya, jawabnya dengan canda.

Beberapa saat kemudian, setelah mengapresiasi Anak Koruptor ini. Moderator mencoba menggabungkan masalah tersebut dengan musyawarah pastoral yang telah diadakan pada November tahun lalu.

Dan, untuk hasil dari musyawarah pastoral ini, Romo Tri Kuncoro Yekti menjelaskan secara singkat hasil dari musyawarah pastoral. Intinya dari musyawarah pastoral ini menelorkan arah dasar dari pastoral Keuskupan Surabaya. Di dalamnya musyawarah pastoral ini terdapat berbagai elemen yang mempunyai berbagai program.

Seperti keluarga mempunyai program kunjungan dan kumpul keluarga. Untuk orang muda katolik mempunyai program, yakni kaderisasi dan mempercayakan kepada orang muda katolik untuk membuat event atau kegiatan. Di mana kepanitiaannya ditangani oleh semua orang muda katolik. Sedangkan Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) mempunyai program untuk menyuarakan Ajaran Sosial Gereja (ASG) kepada umat dan orang muda katolik di parokinya masing-masing.

Salah satu Mudika Paroki St Vincentius a Paulo, Widodaren menanyakan tentang kaderisasi mudika di paroki dan tidak mudah mempercayakan event atau kegiatan orang muda katolik, tanyanya.

Untuk hal itu nantinya akan kita kontrol melalui hirarki. Karena setiap paroki mempunyai program tersusun yang telah dirumuskan dalam musyawarah pastoral diantaranya yang saya sebutkan. Dan, untuk kegiatan yang sifatnya besar itu harus ada minimal satu tahun sekali kegiatan besar. Untuk kepercayaan pada orang muda katolik sejak dulu sebenarnya harus diterapkan dan kapan lagi. Karena nantinya merekalah akan yang menggantinya, jawab romo cun cun, panggilan akrabnya. (asep)

Luar Negeri


Tak Ada Bendera Indonesia

Mengunjungi kota bersejarah Philadelphia di deretan pantai timur Amerika tak lengkap bila tak memandang bentangan jalan raya megah bernama Benjamin Franklin Parkway, yang juga dikagumi publik sebagai Champ Elysees-nya Amerika. Jalan raya dua jalur berlapis ini berujung pada Love Park, yang logo cintanya menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan pada sisi lain berujung pada Museum of Art, bagunan gagah berusia labih dari satu seperempat abad dan dihuni lebih dari 225.000 karya seni.

Di antara dua spot tersebut terseling Logan Square, yakni dua taman berbentuk kotak yang mengapit taman air mancur berbentuk lingkaran. Keindahan taman ini tak lepas dari bangunan gagah yang mengepungnya yakni Franklin Institute, Cathedral of Philadelphia, Family Court dan Central Free Library of Philadlephia. Dari Logan Square ini terlihat pula deretan gedung tinggi dengan City Hall di centrum pemandangannya.

Menyusuri beberapa spot favorit ini kita akan dimanjakan dengan pelajaran berupa deretan bendera negara-negara seluruh dunia di dipajang gagah di sebelah kiri dan kanan jalan, berjarak rapi 15 meteran. Dengan semangat patriotis saya terus menoleh ke kiri ke kanan untuk menemukan bendera kesayanganku, merah putih. Sekali jalan saya langsung mengatakan, saya tak menemukan. Pikiranku langsung merendah dengan berpikir, “Ah pasti aku sudah melewatinya, tapi aku mungkin melamun saat melewatinya.” Beberapa hari kemudian, sambil pulang sekolah mobil saya belokkan kearah itu lagi, sekali keliling dan belum menemukan. Pikiranku mulai merendah lagi, pastilah terkacaukan dengan bendera Monako yang sama persis dengan bendera Indonesia, atau bendera Polandia yang dihormati secara berbalik, putih merah. Mencoba tak putus asa, pada kesempatan lain aku berkeliling lagi, dan benar, aku tak melihat bendera Indonesia, sedangkan dua bendera mirip yang tersebut tadi bertengger di sana dengan nama negara di bawahnya. Sepanjang tiga setengah tahun aku tinggal di kota ini aku dihantui pertanyaan ini, mengapa bendera Indonesia seperti tak di akui di kota tempat Amerika dimerdekakan dari pemerintahan dan sistem perpajakan Inggeris ini. Perasaan seperti diperparah oleh rasa iri, mengapa “hampir” semua negara ada di sini. Saya mulai memakai kata “hampir”, karena mungkin ada negara lain yang benderanya tak terpajang di sini juga.

Pertanyaan berubah menjadi semacam protes ketika ada kesempatan berkumpul di kantor Interreligious Dialog Keuskupan Agung Philadelphia. Hadir dalam pertemuan itu adalah tiga orang professor dari Temple University, pastur moderator kantor tersebut, seorang suster sekretaris kantor, dua pemimpin komunitas Muslim Philadelphia dan saya sendiri. Setelah akhir pertemuan, tibalah saat bagi kami menghabiskan kopi dan ngobrol ringan. Para professor dan rohaniwan tadi bertubi-tubi bertanya untuk mengenali Indonesia dan populasi masyarakat Indonesia di Amerika. Mereka senantiasa tercengang dengan aneka informasi yang ada, dan tibalah kami melontarkan demo kecil-kecilan dengan mengatakan, “Tak ada bendera Indonesia di deretan itu.” Kami, tiga orang Indonesia, dikejutkan dengan kesanggupan romo moderator kantor tersebut yang mengatakan’ “Saya memang sudah pensiun tapi masih melayani City, saya akan perjuangkan agar bendera Indonesia dipasang”. Jujur saya tak terlalu peduli pada kesanggupan romo itu, tapi kesanggupannya telah menguatkan kesimpulan saya, bahwa bendera Indonesia tak dipasang di sana karena Indonesia sendiri tak terdengar lantang. Dari pergaulan sehari-hari saya yakin bahwa nama Indonesia terdengar paling lantang hanya oleh karena peristiwa tsunami Aceh.

Mulailah pikiranku mendata sumber-sumber kekuatan Indonesia di pantai timur Amerika umumnya dan Philadelphia pada khususnya. Pernah dicatat dalam Buku Welcomming Center of East Pennsylvanian bahwa pada 2006 masyarakat Indonesia di kota kecil ini berjumlah 6.000an. Di lapangan terbaca bahwa belakangan menyusut karena gencarnya operasi petugas imigrasi dan karena krisis Amerika yang menyulitkan orang Indosia mendapatkan pekerjaan. Di kota ini memiliki puluhan gereja dan satu masjid Indonesia di mana para pendeta, pastornya, dan imam masjidnya sangat aktif berkumpul dalam aneka aktifitas keagamaan dan kemasyarakatan. Di seputar Philadelphia pula beberapa pejabat seperti Dr. Alwi Sihab yang terkenal sebagai menteri luar negerinya Gus Dur pernah belajar. Di kota ini pula bisnis khas Indonesia bermunculan. Di seputar phila lahir kelompok seni Indonesia yang aktif di sebuah perguruan tinggi. Jarak dua jam perjalanan dari Philadelphia terletak pula Konsulat Indonesia New York, bahkan tak jauh pula dari Philadelphia adalah Washington DC, tempat kedutaan Indonesia di Amerika berdomisili. Saya bermimpi kelak bendera Indonesia akan dipasang sejajar dengan bangsa lain. Lebih dari pada sekedar sebuah panji, tetapi setiap unsur kekuatan bangsa Indonesia dengan perannya di tengah bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Philadelphia, tentu hal ini adalah tugas bersama, tugas mengalahkan perasaan takut yang kita bawa-bawa, tugas untuk memerankan diri di tengah kota ini, dan tugas mengenalkan diri sebagai bagian dari Indonesia, bangsa berdaulat yang penuh potensi laksana bangsa lain pula.

Ignatius Suparno, CM., Philadelphia 25 Januari 2010.

Yayasan Paratha Bhakti


Berhenti Sejenak, Satukan Diri Dalam Tuhan

”Banyak penderitaan dalam hidup ini yang tidak bisa diubah oleh kita. Namun kita bisa mengubah sikap kita terhadap situasi penderitaan itu.”

Sering kali kita jenuh dengan rutinitas yang selama ini kita jalani. Di mana kita berada, entah itu di dunia bisnis, pendidikan, sosial, dan pemerintahan. Rasanya bosan menghadapi pekerjaan serba memupuk di atas meja kerja kita.

Bahkan suasana hati menjadi suntuk. Apalagi tujuan yang ingin kita capai, tak kunjung sampai?. Saat inilah, di tahun 2010 berhenti sejenak mengali segala rutinitas yang kita jalani. Untuk kita refleksikan melalui cermin pribadi kita.

”Maju tidaknya pribadi kita memang tergantung pada diri kita. Namun kita perlu menyerahkan diri kita kepada Allah melalui kelembutan hatiNya. Dan, rahmat Allah harus selalu kita syukuri, pasti menjadi berkat dan anugerah bagi kita bersama.”

Dengan begitu kita dapat menjalani rutinitas kita dengan happy always bersamaNya. Seperti yang dilakukan oleh Yayasan Paratha Bhakti sepanjang tahun 2009 berkarya di dunia pendidikan penuh dengan rutinitas. Kadang kita lelah dengan job kita, nah dari sinilah kita memerlukan istirahat untuk melakukan cermin diri, yakni retret. Bagi staf kependidikan dan staf non kependidikan.

Retret kali ini diadakan di Bintang Kejora, Pacet diikuti seluruh unit yang berada pada naungan Yayasan Paratha Bhakti. Diantaranya unit Santa Maria Pacet, Sidoarjo, Surabaya, dan Yayasan sendiri. Terbagi dalam 4 gelombang mulai Senin (11/1) sampai Selasa (19/1). Masing-masing gelombang terdiri dari 40 sampai 50 orang, kata Sr. Erna, OSU.

Retret tahun ini dibimbing oleh dua pastor dari Ordo Salib Suci, yakni Romo Eka WDS, OSC berasal dari Magelang dan Romo Aaron T. Waruwin, OSC berasal dari Nias, Sumatera Selatan. Para pendampingnya dari suster-suster Ursulin yang berdomisili di Raya Darmo 49 Surabaya.

”Dua pastor ini berdomisili di rumah retret Pratista, Cisarua-Bandung. Mereka berdua berkarya di pendampingan rekoleksi dan retret.”

Selama 2 Minggu lebih, para romo ordo Salib Suci ini membimbing staf non kependidikan dan kependidikan Yayasan Paratha Bhakti dengan gaya dan ciri khasnya, yakni gerak tubuh, mimik, dan ekspresinya.

Sebelum menjalani retret, romo yang berasal dari Nias mengajak menyamakan presepsi kita sebagai peserta retret. Apa tujuan kita ke Pacet sebenarnya?, tanya romo Aaron. Salah satu peserta menjawab bahwa ke Pacet ini ingin santai. Romo Aaron menjawab bahwa kita datang di Pacet bukan hanya sekadar santai, tetapi menjalani retret. Retret berarti merefleksikan kembali segala rutinitas kita yang selama ini kita lakukan di Surabaya di tahun 2009.

Tujuannya membangun relasi dengan diri kita bersama orang lain, terutama menjalin relasi dengan Tuhan secara utuh, yakni mendengarkan suaraNya dan menghargai pribadi orang lain. Di mana melalui orang lain, Tuhan hadir untuk menuntun perziarahan hidup kita. Kita sebagai umatNya perlu membangun sinerigi 4K. Diantaranya kebersamaan, kerjasama, keterbukaan, dan keajaiban, paparnya.

”Keajaiban ini kita dapat menemukannya melalui hal-hal baru dalam karya kita di dunia pendidikan. Bagaimana kita melayani siswa-siswi kita dengan tulus hati.”

Sehingga untuk mengejahwantakan retret kali ini, panitia mengusung tema : ”Belajarlah daripada-Ku sebab Aku Lembut dan Rendah Hati.” Kalimat ini salah satu dari nasehat St. Angela.

Tema retret ini menarik sekali, karena kita hidup di dunia masih berpusat pada aku, bukan berpusat pada Tuhan sendiri. Bila kita berpusat pada aku, pasti kita akan terlena pada kerasnya dunia. Dunia ini penuh dengan keegoisan, kemufanikan, uang menjadi segala-segalanya, dan teknologi yang canggih menjadi ketergantungan terhadap pribadi kita.

Padahal teknolgi hanya sebagai pendukung rutinitas kita, tetapi ketika teknologi tersebut hilang dan rusak. Seakan-akan kita tidak dapat berbuat apa-apa dengan menjalani rutinitas. Misalnya alat pendukung (laptop dan LCD), karena kita masih menghambakan dan mengantungkan teknologi serba canggih. Kreativitas manusia menjadi terbukam oleh teknologi, jelas romo yang berasal dari Magelang ini.

Romo Eka juga mengajak seluruh staf non kependidikan dan kependidikan ini untuk selalu melibatkan Tuhan dalam pribadi kita. Melibatkan Tuhan dalam perziarahan hidup kita ini dapat mengolah rasa iman kita dengan tidak sekedar kewajiban dan keharusan lagi. Melainkan kita sebagai umatNya menjadi peka dan kebutuhan menjalani relasi dengan Tuhan, ajaknya.

Untuk melibatkan Tuhan pada pribadi kita perlu mengolah diri melalui empaty kita terhadap orang lain. Dengan cara mendengarkan dan menghargai orang lain melalui hati dan pikiran kita yang terbuka pada orang lain. Sehingga kita bisa melihat 4 dimensi manusia yang saling berkaitan, yakni fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Dimana fisik lebih pada kebutuhan primer, mental berpusat pada kasih sayang, sosial tertuju ekonomi serta status, dan spiritual berpusat pada rohani.

Lebih jauh lagi, dalam teori Psikologi bahwa kita dapat menilai diri kita dengan satu tes kepribadian secara tertulis. Tes kepribadian ini mengajak kita untuk mengerti kelebihan dan kekurangan kita. Kelebihan dan kekurangan ini menjadi dasar dari perubahan diri kita. Perubahan tidak ada kata terlambat dalam diri kita. Perlu adanya proses menuju perubahan. Perubahan itu, 90 persen dari alam bawah sadar diri kita yang tergerak untuk memotivasi diri kita sendiri.

”Dimana penderitaan itu berkat bagi yang beriman pada Allah, karena luka tak akan hilang dengan sendirinya.”

Perubahan dapat dilakukan melalui proses diri kita sendiri dengan berkomitmen pada kedekatan Allah. Kedekatan Allah ini memerlukan daya tarik yang paling dalam, yakni kasih. Seperti yang dikatakan oleh St. Angela pada warisan no. 1.6 ”Cintailah dan Lakukanlah Apa Yang Kau Kehendaki.”

Romo Aaron menegaskan bahwa melalui kalimat St. Angela ini, kita diajak untuk membangun semangat atau spirit dengan sikap partisipasi diri kita. Kedua sikap ini perlu dibarengi action atau tindakan kita dengan berani memutuskan sikap dan komitmen yang tinggi. Fokus pada komitmen ini perlu menciptakan suasana hati yang happy. Sehingga kita sebagai citra Allah mempunyai keseimbangan diri antara think dengan feel, tegasnya. (asep)