Minggu, 31 Januari 2010

Luar Negeri


Tak Ada Bendera Indonesia

Mengunjungi kota bersejarah Philadelphia di deretan pantai timur Amerika tak lengkap bila tak memandang bentangan jalan raya megah bernama Benjamin Franklin Parkway, yang juga dikagumi publik sebagai Champ Elysees-nya Amerika. Jalan raya dua jalur berlapis ini berujung pada Love Park, yang logo cintanya menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan pada sisi lain berujung pada Museum of Art, bagunan gagah berusia labih dari satu seperempat abad dan dihuni lebih dari 225.000 karya seni.

Di antara dua spot tersebut terseling Logan Square, yakni dua taman berbentuk kotak yang mengapit taman air mancur berbentuk lingkaran. Keindahan taman ini tak lepas dari bangunan gagah yang mengepungnya yakni Franklin Institute, Cathedral of Philadelphia, Family Court dan Central Free Library of Philadlephia. Dari Logan Square ini terlihat pula deretan gedung tinggi dengan City Hall di centrum pemandangannya.

Menyusuri beberapa spot favorit ini kita akan dimanjakan dengan pelajaran berupa deretan bendera negara-negara seluruh dunia di dipajang gagah di sebelah kiri dan kanan jalan, berjarak rapi 15 meteran. Dengan semangat patriotis saya terus menoleh ke kiri ke kanan untuk menemukan bendera kesayanganku, merah putih. Sekali jalan saya langsung mengatakan, saya tak menemukan. Pikiranku langsung merendah dengan berpikir, “Ah pasti aku sudah melewatinya, tapi aku mungkin melamun saat melewatinya.” Beberapa hari kemudian, sambil pulang sekolah mobil saya belokkan kearah itu lagi, sekali keliling dan belum menemukan. Pikiranku mulai merendah lagi, pastilah terkacaukan dengan bendera Monako yang sama persis dengan bendera Indonesia, atau bendera Polandia yang dihormati secara berbalik, putih merah. Mencoba tak putus asa, pada kesempatan lain aku berkeliling lagi, dan benar, aku tak melihat bendera Indonesia, sedangkan dua bendera mirip yang tersebut tadi bertengger di sana dengan nama negara di bawahnya. Sepanjang tiga setengah tahun aku tinggal di kota ini aku dihantui pertanyaan ini, mengapa bendera Indonesia seperti tak di akui di kota tempat Amerika dimerdekakan dari pemerintahan dan sistem perpajakan Inggeris ini. Perasaan seperti diperparah oleh rasa iri, mengapa “hampir” semua negara ada di sini. Saya mulai memakai kata “hampir”, karena mungkin ada negara lain yang benderanya tak terpajang di sini juga.

Pertanyaan berubah menjadi semacam protes ketika ada kesempatan berkumpul di kantor Interreligious Dialog Keuskupan Agung Philadelphia. Hadir dalam pertemuan itu adalah tiga orang professor dari Temple University, pastur moderator kantor tersebut, seorang suster sekretaris kantor, dua pemimpin komunitas Muslim Philadelphia dan saya sendiri. Setelah akhir pertemuan, tibalah saat bagi kami menghabiskan kopi dan ngobrol ringan. Para professor dan rohaniwan tadi bertubi-tubi bertanya untuk mengenali Indonesia dan populasi masyarakat Indonesia di Amerika. Mereka senantiasa tercengang dengan aneka informasi yang ada, dan tibalah kami melontarkan demo kecil-kecilan dengan mengatakan, “Tak ada bendera Indonesia di deretan itu.” Kami, tiga orang Indonesia, dikejutkan dengan kesanggupan romo moderator kantor tersebut yang mengatakan’ “Saya memang sudah pensiun tapi masih melayani City, saya akan perjuangkan agar bendera Indonesia dipasang”. Jujur saya tak terlalu peduli pada kesanggupan romo itu, tapi kesanggupannya telah menguatkan kesimpulan saya, bahwa bendera Indonesia tak dipasang di sana karena Indonesia sendiri tak terdengar lantang. Dari pergaulan sehari-hari saya yakin bahwa nama Indonesia terdengar paling lantang hanya oleh karena peristiwa tsunami Aceh.

Mulailah pikiranku mendata sumber-sumber kekuatan Indonesia di pantai timur Amerika umumnya dan Philadelphia pada khususnya. Pernah dicatat dalam Buku Welcomming Center of East Pennsylvanian bahwa pada 2006 masyarakat Indonesia di kota kecil ini berjumlah 6.000an. Di lapangan terbaca bahwa belakangan menyusut karena gencarnya operasi petugas imigrasi dan karena krisis Amerika yang menyulitkan orang Indosia mendapatkan pekerjaan. Di kota ini memiliki puluhan gereja dan satu masjid Indonesia di mana para pendeta, pastornya, dan imam masjidnya sangat aktif berkumpul dalam aneka aktifitas keagamaan dan kemasyarakatan. Di seputar Philadelphia pula beberapa pejabat seperti Dr. Alwi Sihab yang terkenal sebagai menteri luar negerinya Gus Dur pernah belajar. Di kota ini pula bisnis khas Indonesia bermunculan. Di seputar phila lahir kelompok seni Indonesia yang aktif di sebuah perguruan tinggi. Jarak dua jam perjalanan dari Philadelphia terletak pula Konsulat Indonesia New York, bahkan tak jauh pula dari Philadelphia adalah Washington DC, tempat kedutaan Indonesia di Amerika berdomisili. Saya bermimpi kelak bendera Indonesia akan dipasang sejajar dengan bangsa lain. Lebih dari pada sekedar sebuah panji, tetapi setiap unsur kekuatan bangsa Indonesia dengan perannya di tengah bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Philadelphia, tentu hal ini adalah tugas bersama, tugas mengalahkan perasaan takut yang kita bawa-bawa, tugas untuk memerankan diri di tengah kota ini, dan tugas mengenalkan diri sebagai bagian dari Indonesia, bangsa berdaulat yang penuh potensi laksana bangsa lain pula.

Ignatius Suparno, CM., Philadelphia 25 Januari 2010.

Tidak ada komentar: