Senin, 28 September 2009

Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo-Garum



MENULIS DAN MEWARTAKAN

(Sebuah Pembelajaran untuk Calon Pewarta)
Oleh IL Parsudi


Dalam rangka menghidupi tema tahunan “Seminaris Insan Pembelajar”, Sabtu (19/9), Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum menyelenggarakan seminar dengan tema “Budaya Menulis dan Meneliti: Apa dan bagaimana Menulis Opini?” Kegiatan ini berawal dari keprihatinan bahwa di era informasi ini masih dijumpai banyak calon imam yang kemampuan menulisnya masih rendah. Lebih lagi, bila kemampuan tersebut dipandang dari sudut pewartaan.

Oleh karena itu, tidak berlebihan bila Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum menangkap dan memperhatikan adanya kebutuhan meningkatkan kemampuan menulis para siswanya itu. Hadir sebagai pembicara dalam seminar ini, yaitu Bapak St. Kartono, guru SMA Kolese De Brito, Yogyakarta. Berikut pembelajaran yang dapat dipetik dari kegiatan seminar tersebut.

“Mengapa menulis?”

Demikian St. Kartono membuka seminar. Pertanyaan ini menggugah para peserta untuk menyadari makna kegiatan menulis. Sekian jawaban dapat segera dilontarkan. Ada yang menulis karena ingin terkenal. Ingin mencari nafkah tambahan. Ingin berkembang intelektualnya. Ingin mendiskusikan saja. Ingin ini itu dan sebagainya. Lebih dari itu semua, menulis karena ingin mengubah dunia.

Menurut penulis dan juga dosen itu, menulis adalah sebuah aktivitas yang kompleks, bukan hanya sekedar mengguratkan kalimat-kalimat, tetapi lebih daripada itu. Menulis adalah proses menuangkan pikiran dan menyampaikannya kepada khalayak. Ide yang sudah tertuang dalam tulisan, kelak memiliki kekuatan untuk menembus ruang dan waktu sehingga keberadaan ide atau gagasan tersebut akan abadi. Lain kata, proses menulis adalah satu upaya untuk mewariskan dan meneruskan ide atau gagasan kepada generasi selanjutnya agar ide tersebut terpelihara dan tetap “hidup”. Dalam kerangka pandang tugas manusia, dapat dikatakan “Menulis itu mewartakan”.

Menulis membutuhkan keberanian karena tulisan harus membawa pencerahan. Berani menyatakan pendapat meski mungkin berseberangan dengan arus utama. Inilah spirit yang membangun keberanian baru yang membawa pencerahan untuk masyarakat dan sesama.

Pintu masuk untuk menulis dan pencerahan adalah dengan membaca realitas dan teks dengan mata, telinga, dan hati dengan kritis. Ide-ide segar dilatih dengan bertanya. “Mengapa begini? Mengapa begitu? Bagaimana seharusnya? Bagaimana kenyataannya? Solusi apa yang bisa ditawarkan? Inilah pintu menuju penemuan pengetahuan.

Memahami Konteks

Konteks adalah situasi atau lingkungan yang berhubungan dengan suatu kejadian atau kegiatan. Dalam menulis, konteks akan memberikan bobot makna dan pengaruh/efek sebuah tulisan. Tanpa konteks, sebuah tulisan akan menjadi kering, tidak membumi dan tidak mempunyai kekuatan mengubah. Oleh karena itu, memahami konteks adalah perlu. Konteks yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Pertama, konteks penulis. Siapa pun ia penulis (pewarta) perlu menyadari siapa dirinya, di mana ia berada, sebagai apa ia di sana, dan bagaimana ia melibatkan diri di sana. Dalam dinamika reflektif, ia perlu berusaha memahami dan mengenal konteks latar belakang diri sendiri dan orang lain, peristiwa, atau tempat yang dihadapinya. Misalnya, seorang guru atau imam yang menulis (mewartakan) perlu mencoba mengenal konteks topik yang akan ditulisnya: lingkungan, kebiasaan, budaya, latar ekonomi, nilai-nilai tradisi yang dihidupi di tempat tertentu. Berusaha mengerti keprihatinan, masalah dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat yang menjadi perhatiannya. Dengan demikian, penulis dapat menentukan dengan tepat apa yang harus dan dapat dikembangkan mengenai sebuah masyakarat atau komunitas.

Kedua, konteks wacana nilai. Konteks untuk menyampaikan tulisan adalah wacana tentang nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan. Maksudnya agar pembaca menyadari nilai-nilai kemanusiaan yang ingin diperjuangkan. Nilai-nilai yang mestinya diperjuangkan seperti: persaudaraan, solidaritas, penghargaan terhadap sesama, tanggung jawab, kerja keras, kasih sayang, ugahari, ketaatan, kerja sama, kepentingan bersama, cinta lingkungan hidup.

Ketiga, konteks lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat yang mengusahakan suasana yang menghargai setiap orang, ditunjukkan kebaikannya, ditantang untuk melakukan yang benar, yang baik, dan yang indah. Idealnya, masyarakat sebagai bentuk kehidupan bersama merupakan tempat orang dipuji dan dihormati, tempat saling membantu, bekerja sama dengan semangat dan murah hati untuk menyatakan secara konkret melalui perkataan dan perbuatan idealisme bersama.

Menemukan Bentuk

Suatu gagasan akan menjadi konkret dan dapat dipahami bila diberi bentuk dan dikemas dengan baik. Gagasan sebuah tulisan akan jelas bila ada bentuknya misalnya berita, feature, opini, kolom, atau bentuk tulisan yang lain. Bentuk itu bermacam-macam tetapi roh yang menggerakkan sama, yaitu gagasan atau ide tulisan.

Kadang bentuk merupakan kekhasan seseorang. Seseorang bisa mewujudkan kekuatan pada kolom, dan yang lain pada opini, artikel, atau berita. Ini berarti seseorang dapat menemukan dan mengembangkan ciri khasnya untuk menjadikannya kekuatan yang mampu mengubah dunia melalui sebuah karya tulis.

Lebih daripada bentuk, cara memberi-bentuk (baca: membahasakan) sebuah gagasan dapat menjadi cermin jiwa seorang penulis. Ada ungkapan: bahasa adalah pikiran. Bahasa adalah jiwa. Adanya manusia dapat dipahami melalui bahasa. Hal ini dapat kita lihat pada contoh kasus berikut. Ketika ada kecelakan pesawat jatuh, muncul ungkapan yang berbeda-beda bergantung siapa yang mengungkapkan itu. Seseorang yang perhatiannya pada hal-hal yang tragis akan mengungkapkan, misalnya “Pesawat Jatuh, 15 Tewas Mengenaskan”. Akan tetapi, ada pula yang mengungkapkan, “Pesawat Jatuh, 2 Anak Selamat”. Dua ungkapan tersebut menunjukkan betapa rasa kemanusiaan berbeda satu dengan yang lain. Tentu, menjadi penulis akan berhadapan dengan belajar mencari bentuk yang sesuai dengan ketajaman kemanusiaannya. Begitu juga dengan bahasa gambar. Gambar yang ditampilkan sebagai bentuk ungkap suatu peristiwa mempunyai kadar kulitas daya-ungkap yang berbeda-beda.

Pencarian berbagai bentuk wacana amat penting untuk mengasah kepekaan rasa dan budi seorang penulis. Maka dapat dikatakan pula, menulis berarti mengasah kepekaan rasa dan kemanusiaan yang menjadi dasar pewartaan.

Mengubah

Menulis itu mencerahkan, menggugah, dan mengubah bila dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh kekuatannya. Menulis dapat mengantar seseorang pada penemuan yang terdalam akan diri, sesama dan dunia semesta. Untuk itu, “Menulislah, sebelum engkau ditulis orang!” -amdg-