Selasa, 06 April 2010

In Memoriam


100 Hari, Wafatnya Gus Dur

Gus Dur mempunyai nama lengkap KH Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada usia 69 tahun karena sakit di RSCM Jakarta, Rabu (30/12) pukul 18.40 WIB.

KH Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Putra pertama dari enam bersaudara itu lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenni), Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Kamis (8/4) memperingati 100 hari wafatnya Gus Dur akan digelar di Pondok Pesantren, Tebuireng, Jombang. Dan, diperkirakan akan dipadati puluhan ribu orang. Tidak hanya para santri, kaum Nahdliyin, dan berbagai elemen masyarakat lain di Indonesia yang akan hadir.

Seperti yang diberita di media harian pagi, sekitar 250 turis asing mancanegara akan mnghadiri 100 harinya Gus Dur. Para turis ini mengaku suka karakter Gus Dur dan sekaligus idola kepada Mantan Ketua Umum PBNU sekaligus mantan Presiden RI ke-4 ini.

Bahkan ribuan masyarakat Indonesia, terutama Surabaya nantinya yang tidak datang di Ponpes Tebuireng akan menggelar doa bersama, seperti yang terpampang jelas baliho di sudut kota Surabaya untuk ajakkan doa bersama mengenang kepergian Tokoh Bapak Bangsa yang peduli pada isu-isu pluralisme. (asep) Foto : image.google.co.id

Semarak 475 tahun Ordo Santa Ursula di Indonesia


GELAR UYC II di Sativa, Pacet

Selain pentas budaya digelar dalam menyambut semarak 475 tahun Ordo Santa Ursula di Indonesia. Ursulin juga menggelar kegiatan yang lingkupnya lebih besar, yakni Nasional. Kegiatan ini dinamakan dengan Ursuline’s Youth Camp (UYC). UYC sudah pernah diadakan oleh suster-suster dan para staf kependidikan yang berada dalam naungan Ordo Santa Ursula. Atau dikenal dengan Ursulin.

UYC ini kegiatan menyatu dengan alam yang bukan kali pertama diadakan oleh Ursulin. Melainkan kegiatan kali kedua yang akan diselenggarakan di Sativa, Pacet-Mojokerto pada tanggal 2 – 5 Agustus 2010.

Dan, Kali ini kepanitian yang berada di wilayah Jawa Timur, seperti Madiun, Malang, Pacet, Sidoarjo, dan Surabaya.

Panitia akan mengundang seluruh siswa-siswi SMP dan SMA yang berada di seluruh Indonesia. Kegiatan ini merupakan wujudnyata dari kebersamaan dan kepedulian kita dengan sesama. Kegiatan ini bagian dari implementasi dari nilai-nilai Serviam yang ditumbuhkembangkan di sekolah-sekolah Ursulin melalui semangat hidup dan pelayanan Santa Ursula dan Angela. Dan, menjiwai semangat Santa Maria yang mempunyai kelembutan hati, rendah hati, mau peduli, dan peka terhadap sesama.

Kegiatan Ursuline’s Youth Camp II ini mempunyai berbagai acara yang menarik dalam gerakan sosial kemasyarakatan dan pentas seni. Diantaranya adventure, exploration, culture stage, out bond, dan fun games. (asep)

Teater Adhi Tama


Manggung Lagi di Bulan Juni’10

Selasa lalu (23/3) di pendopo Instituts Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS), suasananya tidak seperti biasanya di sebelah kiri pendopo di gedung B terpampang kain hitam yang dibentuk semacam lorong hitam.

Ternyata itu gedung B-14 dan 15 sengaja didesain seperti itu. Kaca dan trails pun ikut hitam dan dikombonasi dengan koran bekas. Dan, usut punya usut adanya pementasan teater Adhi Tama. Teater Adhi Tama, salah satu bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa di ITATS.

“Kali ini teater Adhi Tama menggelar Malam Budaya Seni dengan melakonkan Para Jahanam dan Puisi Teaterikal Bangsa Pelacur.“

Dalam gedung B-14 dan 15 berubah total dipenuhi kain hitam. Hitam merupakan warna inspirasi bagi seniman teater. Latar panggung dibuat minimalis dan pencahayaannya pun dibuat sederhana.

Sebelum pementasan teater, panitia menyajikan tari tradisional dengan judul ”Roro Minggir “, puisi spontanitas ”Rayuan”, dan perkusi Phsyco Noise dengan membawa dua komposisi, yakni selamat datang dan sampai jumpa Phsyco Noise. Permainan Phsyco Noise kompak sekali melalui perpaduan tong, perkusi, dan kayu yang di susun mirip kulintang.

“Semakin lengkap dan meriah Malam Budaya Seni dengan hadirnya puluhan mahasiswa ITATS, pemerhati seni teater, dan pembantu rektor III, yakni Bambang Setiono.”

Menurut Bambang menuturkan bahwa melalui peran seni pesan sosial kemasyarakatan tersampaikan dengan baik. Masyarakat akan lebih melek terhadap situasi dan kondisi saat ini. Dan, mengungkapkan sejarah kehidupan dunia. Beliau sendiri juga setuju dengan lagu yang dilantunkan Ahmad Akbar, yakni dunia itu panggung sandiwara.

Dengan teater, para pemain semakin peka dan peduli pada masalah sosial kemasyarakatan, terutama di Surabaya, tambah Bambang.

”Dunia sekarang tidak lagi putih dan jernih. Sekarang menjadi abu-abu atau bahkan hitam, itu karena manusia sendiri yang mengotorinya.”

Setelah berbagai sajian pembuka dan kata pengantar dari Bambang, lakon para jahanam pun digelar dengan setting panggung hanya terdapat satu meja dan kursi. Pak Tua sedang binggung mencari secarik kertas berisi puisinya.

Dan, memanggil istrinya, Tumiah. Tumiah mempunyai sifat selalu mengeluh akan hidupnya yang serba kekurangan. Setiap kali berkeluh kepada Pak Tua. Pak Tua selalu menjawab sabarlah dulu. Malahan meminta uang kepada istrinya untuk pasang lotre. Pak Tua mengantungkan hidupnya dengan lotre dan merah delima.

Begitu juga hidup keponakkannya, Ujang pun sama selalu hidup di jalan dan minum-minuman keras. Dan, berbuat mesum kepada si Janda. Tak kunjung datang rezeki dari loter, akhirnya Pak Tua gelisah dan stress. Mendapati Ujang yang lagi mabuk berat dan menyisakan minumannya.

Pak Tua langsung meminum minuman tersebut. Kembalilah tidur dan memasuki kamar sambil sempoyongan. Di dalam kamar tersebut ada keponakkan perempuannya dan istrinya yang sedang tidur. Tak sadar akibat minuman keras, Pak Tua menggauli keponakkannya dengan leluasan. Ending cerita dari Para Jahanam ini, akhirnya sang istri marah geram.

Lanjut, bangsa pelacur pun ditampilkan di malam budaya seni ini dengan mengisahkan perjalanan seorang pelacur. Penampilan teater Adhi Tama sangat ketal dengan gerak tubuh, ekspresi wajahnya, dan setting blokingnya. Bahkan olah vokalnya pun terdengar jelas. Semakin kuat karakter para pemain bangsa pelacur dengan alunan musik instrumentalia, permainan perkusi, seruling dari tim musik, permainan toya, dan tata lighting.

”Putu Wijaya mengatakan bahwa bermain teater tidak perlu membutuhkan biaya yang tinggi. Kebutuhan teater telah berada di alam, katanya.” (asep)

Teater Adhi Tama


Manggung Lagi di Bulan Juni’10

Selasa lalu (23/3) di pendopo Instituts Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS), suasananya tidak seperti biasanya di sebelah kiri pendopo di gedung B terpampang kain hitam yang dibentuk semacam lorong hitam.

Ternyata itu gedung B-14 dan 15 sengaja didesain seperti itu. Kaca dan trails pun ikut hitam dan dikombonasi dengan koran bekas. Dan, usut punya usut adanya pementasan teater Adhi Tama. Teater Adhi Tama, salah satu bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa di ITATS.

“Kali ini teater Adhi Tama menggelar Malam Budaya Seni dengan melakonkan Para Jahanam dan Puisi Teaterikal Bangsa Pelacur.“

Dalam gedung B-14 dan 15 berubah total dipenuhi kain hitam. Hitam merupakan warna inspirasi bagi seniman teater. Latar panggung dibuat minimalis dan pencahayaannya pun dibuat sederhana.

Sebelum pementasan teater, panitia menyajikan tari tradisional dengan judul ”Roro Minggir “, puisi spontanitas ”Rayuan”, dan perkusi Phsyco Noise dengan membawa dua komposisi, yakni selamat datang dan sampai jumpa Phsyco Noise. Permainan Phsyco Noise kompak sekali melalui perpaduan tong, perkusi, dan kayu yang di susun mirip kulintang.

“Semakin lengkap dan meriah Malam Budaya Seni dengan hadirnya puluhan mahasiswa ITATS, pemerhati seni teater, dan pembantu rektor III, yakni Bambang Setiono.”

Menurut Bambang menuturkan bahwa melalui peran seni pesan sosial kemasyarakatan tersampaikan dengan baik. Masyarakat akan lebih melek terhadap situasi dan kondisi saat ini. Dan, mengungkapkan sejarah kehidupan dunia. Beliau sendiri juga setuju dengan lagu yang dilantunkan Ahmad Akbar, yakni dunia itu panggung sandiwara.

Dengan teater, para pemain semakin peka dan peduli pada masalah sosial kemasyarakatan, terutama di Surabaya, tambah Bambang.

”Dunia sekarang tidak lagi putih dan jernih. Sekarang menjadi abu-abu atau bahkan hitam, itu karena manusia sendiri yang mengotorinya.”

Setelah berbagai sajian pembuka dan kata pengantar dari Bambang, lakon para jahanam pun digelar dengan setting panggung hanya terdapat satu meja dan kursi. Pak Tua sedang binggung mencari secarik kertas berisi puisinya.

Dan, memanggil istrinya, Tumiah. Tumiah mempunyai sifat selalu mengeluh akan hidupnya yang serba kekurangan. Setiap kali berkeluh kepada Pak Tua. Pak Tua selalu menjawab sabarlah dulu. Malahan meminta uang kepada istrinya untuk pasang lotre. Pak Tua mengantungkan hidupnya dengan lotre dan merah delima.

Begitu juga hidup keponakkannya, Ujang pun sama selalu hidup di jalan dan minum-minuman keras. Dan, berbuat mesum kepada si Janda. Tak kunjung datang rezeki dari loter, akhirnya Pak Tua gelisah dan stress. Mendapati Ujang yang lagi mabuk berat dan menyisakan minumannya.

Pak Tua langsung meminum minuman tersebut. Kembalilah tidur dan memasuki kamar sambil sempoyongan. Di dalam kamar tersebut ada keponakkan perempuannya dan istrinya yang sedang tidur. Tak sadar akibat minuman keras, Pak Tua menggauli keponakkannya dengan leluasan. Ending cerita dari Para Jahanam ini, akhirnya sang istri marah geram.

Lanjut, bangsa pelacur pun ditampilkan di malam budaya seni ini dengan mengisahkan perjalanan seorang pelacur. Penampilan teater Adhi Tama sangat ketal dengan gerak tubuh, ekspresi wajahnya, dan setting blokingnya. Bahkan olah vokalnya pun terdengar jelas. Semakin kuat karakter para pemain bangsa pelacur dengan alunan musik instrumentalia, permainan perkusi, seruling dari tim musik, permainan toya, dan tata lighting.

”Putu Wijaya mengatakan bahwa bermain teater tidak perlu membutuhkan biaya yang tinggi. Kebutuhan teater telah berada di alam, katanya.” (asep)