Kamis, 18 Maret 2010

Gelar 475 Tahun Ordo Santa Ursula di Indonesia


Santa Maria Tampilkan Opera Kolosal

Menyambut 475 Tahun Ordo Santa Ursula, Yayasan Paratha Bhakti bersama unit TK, SD, SMP, dan SMA Santa Maria Surabaya mempersembahkan Pentas Budaya. Panitia ini mengemasnya dalam opera kolosal dengan 800 pemain, Sabtu (27/2). Mulai teater, sendratari, modern, karawitan kontemporer, orkestra, kulintang, angklung, band, dan paduan suara.

Sebelum acara dimulai, penonton dimanjakan dengan sajian karawitan karyawan pimpin Wicak, karawitan kontemporer pimpin Pambuko, dan 100 penari Remo yang rancak pimpin Maria Damayanti.

Opera Kolosal ini dibuka oleh Sr Erdina, OSU selaku pengurus dengan pemukulan gong. Dan, Sr. Diah bersama dua siswa balet dari SD Santa Maria melakukan prosesi dimulai dari belakang penonton dengan didahului puisi yang digaungkan oleh Bernadetha.

Opera kolosal ini sangat meriah dengan kehadiran para undangan dari berbagai instansi dan elemen. Dan, Barongsai dan dorprize dari para sponsor pun memeriahkan kegiatan ini, jelas Benedictus selaku Humas 475 tahun Ordo Santa Ursula.

Benedictus menambahkan persiapannya kurang lebih 4 bulan. Selama 4 bulan ini, panitia memikirkan konsep acaranya. Bermula dari ide Kumpul Kempel Art yang diselenggarakan di Cak Durasim, Taman Budaya. Pada waktu itu, penyelenggaranya dari SMA dan ketua panitianya, Pambuko selaku guru seni budaya. Semula direncanakan di Cak Durasim berkembang menuju di SSCC Supermall Pakuwon.

Dari situlah, kita mempunyai ide untuk membuat kegiatan pentas budaya. Dan, SMA sendiri kegiatan tersebut dilakukan dua tahun sekali. Rapat kali pertama dilakukan di pendopo, Minggu dengan tujuan untuk mengembangkan talenta siswa-siswi Santa Maria serta menumbuhkembangkan kecintaan pada budaya Indonesia. (asep)

Oase


KESEJATIAN HIDUP DALAM KELUARGA

Apabila kita perhatikan dengan seksama, anak-anak mempunyai kesamaan atau kemiripan denagan orang tuanya. Semakin bertambah besar, ia semakin menampakkan ciri-ciri yang terdapat pada orang tuanya. Rambut, mata kulitnya dan sebagainya, juga bagaimana cara dia berbicara, makan, marah, dan memecahkan masalah. Sifat dan tingkah lakunya hampir semua meniru orang tuanya.

Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak, paling tidak ketika anak masih bayi. Orang tua sering mendapat julukan sebagai pendidik pertama dan utama. Dari merekalah anak-anak mulai mengalami cinta, benci, dan sedih. Sedikit demi sedikit anak-anak mempunyai gambaran diri dari orang tuanya. Anak mempunyai gambaran positif kalau diperlakukan dengan baik : “Saya dicintai, saya diperhatikan, saya diterima, saya anak yang diharapkan, saya anak yang tidak membebani orang tua dan sebagainya.”

Bila gambaran diri anak positif ia akan belajar merasa diri “Oke” dan mempunyai kepercayaan diri. Akan tetapi, tidak jarang anak-anak yang mempunyai gambaran diri seperti yang tidak dikehendaki kehadirannya. Membuat orang tua jengkel, tidak diperhatikan, tidak dicintai, lahir karena kecelakaan dan sebagainya. Anak akan mempunyai gambaran diri negatif.

Kita dapat mengetahui mereka mempunyai gambaran diri negatif dari ungkapan-ungkapannya: “Mengapa saya selalu dibanding-bandingkan dengan adik”, “Mama merasa menyesal karena melahirkan saya”, “Saya anak haram, anak yang tidak pantas dilahirkan”, dan sebagainya.
Gambaran diri yang negatif membuat anak menjadi minder, merasa diri “tidak oke”.

“Mereka mengatakan bahwa saya ini jelek, untuk apa saya dilahirkan?” seorang filsuf Jean Paul Sartre mengatakan “Orang lain adalah musuh bagiku.” Mengapa ia berpendapat demikian? Ia mempunyai gambaran diri yang jelek, maklumlah karena ia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang berantakan! Apalagi sebelah matanya cacat dan juling.

Kesalahan yang banyak dilakukan oleh orang tua adalah cara mendidik anak dengan sistem hukuman, dengan kata-kata kasar, bahkan kadang anak-anak sasaran pelampisan kekesalan dan kebingungan mereka. Anak yang begitu menderita secara sadar maupun tidak sadar, disebabkan oleh tindakan orang tuanya yang tidak tepat dalam memperlakukannya. Misalnya menerima dengan syarat-syarat, menghukum dengan kekerasan, bahkan tidak jarang anak dijadikan objek atau kemarahannya.

Anak-anak menerima dosa warisan orang tua mereka. Suatu saat nanti, mereka akan membawanya dalam kehidupan keluarga barunya, setelahnya mereka berkeluarga. Untuk itu, kita diajak dalam masa prapaskah dan paskah ini untuk menumbuhkembangkan kecintaan dan kebersamaan keluarga. Hal ini juga diserukan dalam tema APP 2010 secara umum : ”Kesejatian Hidup Dalam Keluarga”. Di Keuskupan Surabaya, Uskup bersama stafnya lebih mempersempitkan lagi menjadi ”Aku Cinta Keluarga”. Diharapkan dengan adanya tema keluarga dapat berkumpul, misalnya makan dan doa bersama. Dari situ akan timbul kebersamaan dan kecintaan keluarga secara utuh.

Dan, orang tua lebih memberikan kepercayaan dan kebebasan anak dengan kontrol sosial melalui kumpul keluarga minimal dalam satu bulan satu kali. Dengan begitu keluarga harmonis tercipta dengan sendiri.

Seperti illustrasi ini, ada salah seorang Frater sangat mengasihi anak-anak nakal. Mereka diterima. Mereka boleh berbuat apa saja dengan syarat tidak merugikan atau mengganggu orang lain. Dalam waktu 6 bulan, mulai terlihat perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku anak didiknya, yang dulunya pemurung sekarang mulai ceria, yang dulunya tidak acuh sudah mulai memperlihatkan gejala-gejala interes terhadap teman-temannya dan sebagainya. Mereka mulai berubah, mereka menemukan gambaran dirinya yang sebenarnya. Setiap orang membutuhkan rasa aman, merasa diterima apa adanya. Benih membutuhkan tempat untuk tumbuh. Anak membutuhkan persemaian yaitu keluarga Allah, keluarga anda, keluarga Katolik. (L . Vicky)

Opini

BUDAYAKAN
MENULIS DAN MENELITI
Johana Rosalia Nirmala-Guru Biologi SMAK Seminari Garum

Bagaimana menulis dan meneliti menjadi budaya?
Budaya berarti menjadi kebiasaan, gaya hidup yang melekat pada seseorang atau sekelompok masyarakat, hasil dari pemikiran, daya kreativitas, keinginan selalu maju dan berkembang, ataupun juga dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Misalnya dari kebudayaan manusia dari jaman batu sampai dapat membentuk peralatan sendiri untuk mencari makan.

Demikian juga budaya menulis dan meneliti akan menjadi kebiasaan dan gaya hidup jika sering dilakukan, dikembangkan dengan banyak membaca dan membaca. Kebiasaan menulis dan meneliti pada guru, guru wanita, dan wanita mungkin sudah tidak asing lagi, namun keberanian, ketekunan untuk menulis secara rutin dalam rangka pengembangan diri yang belum diberdayakan secara maksimal.

”Secara kontekstual, realitas banyak masalah-masalah di masyarakat, sosial, isu sosial yang dapat diangkat dituangkan dalam bentuk tulisan melalui gagasan-gagasan yang dapat membangun masyarakat, mencerdaskan bangsa, dan mampu berpikir secara multikultur."


Apalagi di dunia pendidikan dimana guru selalu mempertanyakan kondisi perkembangan murid-muridnya, Mengapa begini hasilnya? Bagaimana proses pembelajarannya? Apakah ada keluhan siswa terhadap cara mengajar guru? Yang terangkum dalam 5W+1H sehingga selalu mengkondisikan guru untuk menulis, meneliti siswanya.

Dalam sertifikasi guru juga hampir seluruh kegiatan atau kalau boleh dikatakan semua mengandung aktivitas menulis dan meneliti. Contohnya penyusunan Portofolio, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dan peer teaching.

Guru dapat melakukan pengajaran, bimbingan, dan pelatihan bagi siswanya, namun sebelumnya tentu guru berusaha membekali dirinya sendiri dengan berbagai kemampuan pedagogis, kepribadian, sosial maupun professional. Jadi tidak sekedar NATO (Not action not only) menganjurkan atau mengharuskan siswa menulis dan meneliti. Tetapi guru sendiri tidak pernah melakukan.

”Komunikasi dan pertukaran informasi dalam bentuk tulisan jauh lebih efektif, efisien, dan akurat. Dengan menulis, orang akan bisa menyuarakan aspirasinya. Berupa ide, gagasan, laporan peristiwa, persoalan masyarakat, keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan politik secara lugas, obyektif, transparan, dan argumentative serta berdimensi social (Jamal, 2009 : 181).”

Alangkah baiknya jika kondisi yang ada ataupun yang telah dikondisikan diolah menjadi budaya, kebiasaan, dan gaya hidup menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan sehingga dapat memberikan wacana, wawasan, informasi yang berguna bagi siapapun yang membutuhkan.

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam menulis adalah merumuskan masalahnya. Masalah adalah kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan dan kenyataan yang dialami. Dalam menulis satu hal yang harus diperhatikan adalah aspek “nilai gunanya” apakah tulisan itu berguna bagi orang banyak atau tidak, apakah tulisan kita terkait dengan konteks sekarang atau tidak? Dan juga dapat mendorong orang berpikir kritis sebelum melakukan sesuatu (Luturmas, 2002; 36).


Sejak dini harus tekun membaca agar menguasai sejumlah sumber informasi yang berkembang. Tidak hanya terikat dengan buku, tetapi juga majalah, surat kabar, radio, televisi. Bahkan harus membuka jaringan internet. Bila menguasai sejumlah informasi melalui sarana belajar yang ada akan bisa mengetahui perkembangan dan perubahan di masyarakat. Dan selanjutnya akan luas pula dalam menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan.

Namun dalam kenyataannya kadang sudah luas informasinya tapi masih punya keengganan untuk menulis apalagi meneliti sehingga informasi hanya sekedar wacana tak ada keinginan atau semangat untuk menuliskannya dan meneliti.

Apalagi sudah berusaha menulis, misalnya seorang wanita Pritta menulis di email. Akhirnya menjadi masalah seperti kasus yang akhir-akhir ini terjadi, orang jadi enggan atau trauma berpendapat, berkeluh kesah, mengkritik masyarakat takut menjadi “dewasa” dengan tanda kutip melihat sudut positif memperbaiki diri, meminta maaf jika salah.

Banyak hasil-hasil kesenian, budaya Indonesia yang diakui, diambil alih oleh Negara lain diantaranya karena menulis sebagai sarana untuk memberitahukan, melaporkan hasil karya belum menjadi kebiasaan, budaya masyarakat kita. Misalnya Batik dan Reog Ponorogo. Di sisi lain mungkin juga kita sendiri sebagai generasi penerus belum berusaha mewarisi hasil-hasil budaya bangsa sendiri.

Penelitian pada dasarnya diartikan. Pertama suatu usaha untuk mengumpulkan, mencari, dan menganalisis fakta-fakta mengenai sesuatu masalah (Marzuki, 1983: 4). Kedua, penelitian dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip (facts or principles) dengan sabar, hati-hati serta sistematis (Supranto, tahun 1974: 13). Ketiga, usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Marzuki, 1983: 5)


Menurut Soetrisno Hadi (1985: 3) yang dimaksud dengan menemukan adalah berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan; mengembangkan berarti memperluas dan mengali lebih dalam apa yang sudah ada; sedang menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih diragukan kebenarannya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip (menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran) dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik, dan dapat dipertanggungjawabkan (metode ilmiah).

Penelitian punya ciri pertama bersifat ilmiah artinya melalui prosedur yang sistematik dengan menggunakan pembuktian yang menyakinkan berupa fakta yang diperoleh secara obyektif. Kedua, merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus, sebab hasil suatu penelitian selalu dapat disempurnakan lagi, berlanjut atau dilanjutkan dengan penelitian lain.

Keberhasilan kegiatan penelitian yang dilakukan sangat tergantung pada sikap dan cara berpikir peneliti. Untuk menjadi seorang peneliti yang baik diperlukan tiga cara berfikir, yaitu: skeptis, analitis dan kritis. Berpikir skeptis yang dimaksud dengan sikap ini adalah bahwa peneliti selalu menanyakan bukti (fakta) yang dapat mendukung suatu pernyataan. Berpikir analitis peneliti harus selalu menganalisis setiap pernyataan atau persoalan.Berpikir kritis peneliti harus mendasarkan pikiran dan pendapatnya pada logika, serta menimbang berbagai hal secara obyektif berdasarkan data dan analisis akal sehat (common sense).
Di samping bersikap dan berfikir ilmiah, seorang peneliti harus pula memenuhi syarat-syarat lain kompeten, obyektif, jujur, faktual, terbuka.

Kompeten seorang peneliti yang baik memiliki kompetensi (berkemampuan) artinya: mampu menyelenggarakan penelitian dengan menggunakan metode dan tehnik penelitian tertentu. Obyektif seorang peneliti yang baik bersikap obyektif, artinya: dapat memisahkan pendapat pribadi dengan kenyataan.Jujur maksudnya tidak memasukkan keinginan sendiri ke dalam data. Faktual yang dimaksudkan dengan ini ialah bahwa peneliti bekerja dengan menggunakan fakta.Terbuka peneliti bersedia memberikan bukti penelitian dan siap menerima pendapat pihak lain tentang hasil penelitiannya.

Penelitian sangat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pada gilirannya akan sangat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan kemajuan bangsa. Apabila penelitian tumbuh subur, kemajuan IPTEK, semakin pesat. (Hermawan Wasito, 1993).

Syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang peneliti agar mendapatkan dasar-dasar deduksi yang benar dan tepat memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kecermatan dalam mengumpulkan fakta-fakta, cerdas, tajam dan obyektif dalam menganalisis, menginterpretasi dan menarik kesimpulan. (Mardalis, 1989).

Ketekunan, ketelitian, dan kecermatan dalam mengumpulkan fakta-fakta, obyektif jujur dapat menghindarkan dari kegiatan plagiat-plagiator yang lagi marak terekspos.

Kondisi atau budaya menulis dan meneliti tersebut mengandaikan banyak membaca atau ditunjang dengan banyak referensi sehingga kejadian yang memalukan dan memilukan yang mencoreng keprofesionalan tidak akan terjadi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan pemecahan masalah bagaimana menulis dan meneliti itu menjadi budaya tapi mengajak untuk melihat bahwa banyak kondisi yang dapat menjadikan menulis dan meneliti menjadi budaya bangsa Indonesia.khususnya guru, guru wanita, dan wanita. Pertama aktivitas guru yang sebagian besar berkaitan dengan menulis dan meneliti tinggal mengolahnya, kedua jumlah guru wanita, wanita yang bukan guru lebih banyak dan kecenderungan wanita lebih teliti, telaten, tekun bukan isu gender ketiga punya sarana-sarana untuk mengambangkan kemampuan menulis dan meneliti secara bertanggungjawab tanpa rasa takut misalnya koran tertentu punya sarana berpendapat tanpa rasa takut. Keempat masyarakat yang semakin hari semakin kritis yang kadang seide dengan dan mendukung gagasan-gagasan yang ditulis, yang secara realitas ada di masyarakat yang butuh kepedulian, kepekaan, dan aksi nyata. Kelima ketika gagasan-gagasan yang kontekstual, realistis ditulis dan ada yang menanggapi (yang berwenang) maka perkembangan akan terjadi di segala bidang.