Kamis, 18 Maret 2010

Oase


KESEJATIAN HIDUP DALAM KELUARGA

Apabila kita perhatikan dengan seksama, anak-anak mempunyai kesamaan atau kemiripan denagan orang tuanya. Semakin bertambah besar, ia semakin menampakkan ciri-ciri yang terdapat pada orang tuanya. Rambut, mata kulitnya dan sebagainya, juga bagaimana cara dia berbicara, makan, marah, dan memecahkan masalah. Sifat dan tingkah lakunya hampir semua meniru orang tuanya.

Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak, paling tidak ketika anak masih bayi. Orang tua sering mendapat julukan sebagai pendidik pertama dan utama. Dari merekalah anak-anak mulai mengalami cinta, benci, dan sedih. Sedikit demi sedikit anak-anak mempunyai gambaran diri dari orang tuanya. Anak mempunyai gambaran positif kalau diperlakukan dengan baik : “Saya dicintai, saya diperhatikan, saya diterima, saya anak yang diharapkan, saya anak yang tidak membebani orang tua dan sebagainya.”

Bila gambaran diri anak positif ia akan belajar merasa diri “Oke” dan mempunyai kepercayaan diri. Akan tetapi, tidak jarang anak-anak yang mempunyai gambaran diri seperti yang tidak dikehendaki kehadirannya. Membuat orang tua jengkel, tidak diperhatikan, tidak dicintai, lahir karena kecelakaan dan sebagainya. Anak akan mempunyai gambaran diri negatif.

Kita dapat mengetahui mereka mempunyai gambaran diri negatif dari ungkapan-ungkapannya: “Mengapa saya selalu dibanding-bandingkan dengan adik”, “Mama merasa menyesal karena melahirkan saya”, “Saya anak haram, anak yang tidak pantas dilahirkan”, dan sebagainya.
Gambaran diri yang negatif membuat anak menjadi minder, merasa diri “tidak oke”.

“Mereka mengatakan bahwa saya ini jelek, untuk apa saya dilahirkan?” seorang filsuf Jean Paul Sartre mengatakan “Orang lain adalah musuh bagiku.” Mengapa ia berpendapat demikian? Ia mempunyai gambaran diri yang jelek, maklumlah karena ia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang berantakan! Apalagi sebelah matanya cacat dan juling.

Kesalahan yang banyak dilakukan oleh orang tua adalah cara mendidik anak dengan sistem hukuman, dengan kata-kata kasar, bahkan kadang anak-anak sasaran pelampisan kekesalan dan kebingungan mereka. Anak yang begitu menderita secara sadar maupun tidak sadar, disebabkan oleh tindakan orang tuanya yang tidak tepat dalam memperlakukannya. Misalnya menerima dengan syarat-syarat, menghukum dengan kekerasan, bahkan tidak jarang anak dijadikan objek atau kemarahannya.

Anak-anak menerima dosa warisan orang tua mereka. Suatu saat nanti, mereka akan membawanya dalam kehidupan keluarga barunya, setelahnya mereka berkeluarga. Untuk itu, kita diajak dalam masa prapaskah dan paskah ini untuk menumbuhkembangkan kecintaan dan kebersamaan keluarga. Hal ini juga diserukan dalam tema APP 2010 secara umum : ”Kesejatian Hidup Dalam Keluarga”. Di Keuskupan Surabaya, Uskup bersama stafnya lebih mempersempitkan lagi menjadi ”Aku Cinta Keluarga”. Diharapkan dengan adanya tema keluarga dapat berkumpul, misalnya makan dan doa bersama. Dari situ akan timbul kebersamaan dan kecintaan keluarga secara utuh.

Dan, orang tua lebih memberikan kepercayaan dan kebebasan anak dengan kontrol sosial melalui kumpul keluarga minimal dalam satu bulan satu kali. Dengan begitu keluarga harmonis tercipta dengan sendiri.

Seperti illustrasi ini, ada salah seorang Frater sangat mengasihi anak-anak nakal. Mereka diterima. Mereka boleh berbuat apa saja dengan syarat tidak merugikan atau mengganggu orang lain. Dalam waktu 6 bulan, mulai terlihat perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku anak didiknya, yang dulunya pemurung sekarang mulai ceria, yang dulunya tidak acuh sudah mulai memperlihatkan gejala-gejala interes terhadap teman-temannya dan sebagainya. Mereka mulai berubah, mereka menemukan gambaran dirinya yang sebenarnya. Setiap orang membutuhkan rasa aman, merasa diterima apa adanya. Benih membutuhkan tempat untuk tumbuh. Anak membutuhkan persemaian yaitu keluarga Allah, keluarga anda, keluarga Katolik. (L . Vicky)

Tidak ada komentar: