Sabtu, 04 Juli 2009

Refleksi


SEBUAH PENSIL

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis
sebuah surat ."Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang
aku?"Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada
cucunya,

"Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang
lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai." "Nenek harap
kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti" ujar si nenek
lagi. Mendengar jawab ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali
kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek
pakai.


"Tapi nek sepertinya pensil itu sama saja denganpensil yang lainnya."
Ujar si cucu. Si nenek kemudian menjawab, "Itu semuatergantung bagaimana kamu
melihat pensil ini."

"Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu
selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip
itu di dalam hidup ini." Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah
pensil.

"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalo kamu bisa
berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis,
kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu
dalam hidup ini.
Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing
kita menurut kehendakNya" .

"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek
kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan
kembali pensil nenek.Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi
setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali.
Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima
penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang
yang lebih baik".

"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita
kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah.
Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal
yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang
benar"..

"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil
bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh
sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam
dirimu".

"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan
tanda/goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat
dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati
dan sadar terhadap semua tindakan".

(by Paulo Coelho)


KDRT


Konco Wingking Belum Tentu Negatif


Kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi pada perempuan. Perempuan ditindas oleh pria. Perlu diketahui bahwa perempuan sekarang bukan lagi sebagai ”konco wingking”. Konco wingking ini seringkali tugasnya di rumah yang hanya bisa macak, manak, dan masak.

Seringkali kaum perempuan diperlakukan tidak adil oleh laki-laki. Kerap kali kurang menghormati keberadaan sosok perempuan. Banyak kasus terjadi di Surabaya, bahkan di keuskupan Surabaya terjadi perceraian dikarenakan kekerasan. Kekerasan ini sering kali timbul karena minimnya komunikasi.

Kekerasan dalam rumah tangga terjadi, penyebabnya bukan hanya kekerasan fisik. Di antaranya kekerasan psikis, seksual, dan ekonomi. Keempat jenis kekerasan ini sering kali dilakukan oleh laki-laki.

Satu bulan lalu, koresponden mendapat kasus kekerasan rumah tangga yang termasuk di empat jenis tersebut. Katakanlah namanya Wanti yang berusia 28 tahun bercerita kepada koresponden T. Jubelium bahwa beberapa bulan yang lalu dia ditinggal suaminya bekerja di luar pulau. Nama suaminya, katakanlah Alfred (nama samaran, red.). Alfred ini pamitnya kepada istri mau merantau ke luar pulau untuk mencari pekerjaan.

Istrinya menyetujuinya untuk mencari pekerjaan ke luar pulau. Sampai di luar pulau, suami memberikan kabar bahwa dia telah bekerja di luar pulau. Kabar punya kabar hingga beberapa bulan kemudian, suami tidak kunjungan memberikan kabar ke istrinya.

Istrinya menjadi binggung, karena kondisi keuangannya semakin menipis. Seperti yang diungkapkan Wanti selama bekerja di luar pulau, suaminya memberikan nafkah kepada dia.

Padahal keluarga ini telah mempunyai satu anak perempuan yang kira-kira umur 10 bulan lebih. Keibaan terhadap anaknya tidak ada sama sekali, malahan kabar yang terakhir diterima oleh istrinya. Bahwa suaminya selama bekerja di luar pulau, ternyata telah menikah lagi dengan perempuan lain.

Betapa pedih hati istrinya mendengar kabar tersebut, hingga kebinggungan dalam mengatur kondisi keuangannya yang semakin menipis. Apalagi untuk biaya perkembangan anak perempuannya, seperti susu, pakaian, dan kebutuhan sehari-harinya. Bahkan yang terpenting mau tinggal dimana lagi, karena rumah yang ditempati hanya sekedar rumah kos yang berukuran kurang lebih 3x5 meter.

Tidak tahan akan tindakan dan tingkah laku suaminya, akhirnya Wanti mulai mencari jalan keluar. Beberapa kali mencari jalan keluar tidak ada penyelesaian yang baik. Sampai akhirnya kontak dengan koresponden T. Jubelium untuk meminta diantarkan ke salah satu panti asuhan Katolik di Surabaya. Koresponden T. Jubelium kaget sekali, Wanti datang dengan badan kurus dan membawa anak perempuannya. Tanpa panjang lebar koresponden T. Jubelium menyetujui akan ajak Wanti ini.

Diantarkannya ke panti asuhan yang dimaksud oleh Wanti, lama menunggu pengurus panti asuhan tidak ada. Akhirnya koresponden T. Jubelium memutuskan untuk membicarakannya kepada pengurus panti yang lain. Setelah koresponden T. Jubelium mempertemukannya, Koresponden T. Jubelium berpamitan, karena hendak kuliah.

Keesokkan harinya, teman-teman koresponden T. Jubelium yang lainnya memberikan kabar bahwa Wanti dan anaknya sudah pulang ke rumah orang tuanya. Karena tidak tega melihat kondisinya, teman-teman koresponden T. Jubelium mengantarkannya ke Lembaga Swadya Masyarakat Katolik untuk dimintakan uang transport selama menuju kota asalnya.

Teman-teman mengatakan bahwa barang-barangnya untuk sementara waktu dititipkan di panti asuhan tersebut. Dan, diantarakan oleh salah satu teman koresponden T. Jubelium sampai terminal Bungurasih.

Dan, perlu diketahui bahwa suami seperti itu bukan pria yang sejati, tetapi cowok atau laki-laki yang lari pada tanggungjawabnya. Belum siap untuk menjadi suami yang benar-benar sejati.

Inilah salah satu kasus kekerasan yang termasuk dalam jenis ekomoni dan psikis. Atau tidak dinafkahi lahir batin. Perlu diketahui bahwa hidup dalam rumah tangga seharusnya saling lengkapi. Dan, seperti yang dikatakan menciptakan komunikasi yang baik serta menerima apa adanya. Bahkan kalau kita melihat secara arti positif -konco wingking-tuganya bukan hanya 3M. Tetapi memberikan kekuatan yang tinggi bagi suami dalam mengatur rumah tangga.

Dengan adanya kasus ini menjadi pembelajaran kita semua untuk hati-hati dan membuat filter dalam mencari pasangan hidup. Buatlah tahap-tahap dalam masa penjajakkan untuk mencapai tujuan-pernikahan suci. Bahwa pernikahan ini tidak bisa dicerai beraikan dalam untung dan malang. Itulah kata-kata yang manis. Untuk mewujudnyatakan perkataan itu yang paling sulit.

Dan, bersyukurlah bahwa perempuan yang akan menjadi istri. Bahwa istri itu seorang ibu yang mendidik, bijaksana, lemah-lembut dan penuh kasih sayang dalam mendidik anak-anaknya, amanah dalam merawat dan menjaga harta yang dikumpulkan sang suami. Sang istri, yang dari filosofi wingking selalu mendorong dan menyemangati suaminya untuk selalu maju, tegar, dan tabah dalam segala keadaan mengarungi hidup.

Memang, filosofi konco wingking ini sebenarnya relatif sudah jauh bergeser konsepnya dalam konteks feminisme sekarang ini. Kalaupun masih banyak kaum perempuan yang masih menjadi konco wingking pada saat ini, hal itu lebih disebabkan oleh faktor eksternal seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan atau sikap patriarkhis yang masih membekas di sana-sini.

Namun dalam hubungan personal antara lelaki dan perempuan, kedudukan kaum hawa saat ini relatif equal dengan kaum adam. Kalau akhir-akhir ini kerapkali terjadi kekerasan dalam rumah tangga, itu adalah soal lain yang timbul justru karena perempuan bukan lagi berperan sebagai sekadar konco wingking.

Melalui Revolusi Industri (1760-1830) yang bermula di Inggris barangkali bisa dianggap sebagai momentum awal terjadinya pergeseran paradigma seperti itu. Pada masa itulah konsep perempuan sebagai konco wingking terdobrak oleh dinamika industrialisasi yang menjadikan mereka sebagai perempuan pekerja.

Dengan kata pekerja ini sudah menjadi kata negatif yang tidak menghargai jerih payah perjuangan seorang istri dalam mendampingi suami. (asep.)

Sambut Hari Lansia Nasional


Makin Tua, Makin Produktif

Menyambut Hari Lanjut Usia (Lansia) Nasional dan Hari Lansia Dunia 2009, Paguyuban Lansia Paroki Roh Kudus Surabaya mengadakan perayaan syukur di Gereja Roh Kudus, Minggu (7/6)). Mula-mula diadakan perayaan ekaristi di gereja secara sederhana. Para lansia yang mengikuti jalannya perayaan ekaristi kebanyakkan memakai batik.

Masing-masing berasal dari Kevikepan Surabaya Selatan yang meliputi Paroki Gembala Yang Baik, Roh Kudus, Hati Kudus Yesus, Salib Suci, St. Paulus, St. Maria Anutiata, dan Yohanes Pemandi. Paduan suara berbaju biru melantunkan pujiannya dengan merdu sekali. Paduan suara ini berasal dari paguyuban Lansia Paroki Salib Suci.

Perayaan ekaristi ini dipimpin oleh selebran utama Romo A. Haryo Pranoto didampingi empat romo SVD. Usai perayaan ekaristi, panitia mengajak para lansia untuk naik ke lantai dua balai paroki untuk ramah-ramah. Acara dikemas dalam acara diaolog dan hiburan. Pada saat pembagian komsumsi, salah satu lansia dari Salib Suci menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan harmonika dengan melantunkan lagu 'Ajarilah Kami Bahasa Cintamu'.

Kepiawaian memainkan harmonika, Ibu Joyo ini menghipnotis ratusan lansia yang berada di balai paroki. Bukan hanya itu. Para lansia juga membuat yel-yel disusul dengan Mars Lansia, yakni Masa Tua, Masa Bahagia. Bahkan ada yang mengekspresikan diri dengan macapatan.

Di sela-sela acara, J. Harry Poernomo menjelaskan, acara ini untuk memberikan apresiasi kepada para lansia agar paguyuban yang telah terbentuk tetap berdaya guna dan eksis di keluarga, gereja, dan masyarakat. (asep)

Lintas


Mahasiswa IAIN Studi di Katedral


Mempelajari agama lain menuntut gambaran yang utuh. Seorang sarjana perbandingan agama atau studi agama-agama harus adil dalam mempelajari atau menilai suatu agama tertentu beserta tradisi yang dikembangkan oleh pemeluknya. Memenuhi syarat tersebut bukanlah hal yang mudah.

Hal tersebut menjadi latar belakang mahasiswa Fakultas Ushuludin IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Jurusan Perbandingan Agama melakukan studi lapangan ke gereja-gereja dalam rangka memperdalam mata kuliah Kristologi. Sebanyak 30 mahasiswa semester dua IAIN Sunan Ampel pada Kamis (11/6) melakukan studi di Gereja Hati Kudus Yesus (HKY) dengan tema The Believer is Always Right.
Rombongan mahasiswa didampingi dosen Kristologi, Afdilah. Mereka diterima oleh Pastor Paroki HKY Romo Eko Budi Susilo dan Jeffrey (Seksi HAK dan Kerawam HKY). Adapun materi yang dibahas adalah sistem atau struktur gereja, peribadatan, dan gerakan sosial gereja.

Selanjutnya, rombongan menuju ke aula di lantai dua. Selama dua jam Romo Eko memberikan penjelasan mengenai materi-materi yang berhubungan dengan Gereja Katolik. Misalnya, struktur Gereja Katolik mulai dari Vatikan sampai paroki dan lingkungan. Struktur Gereja Keuskupan Surabaya, kedudukan serta tugas dan wewenang Paus, Uskup, dan Imam. Tujuh sakramen, karya sosial gereja, masalah teologi antara Katolik dan Protestan.

Setelah romo memberi penjelasan langsung diisi tanya jawab. Peserta sangat antusias bertanya. Misalnya, bagaimana cara pengangkatan Uskup, beda antara kanselir, ekonom, dewan keuangan. Apa yang melatarbelakangi perbedaan teologi Katolik dan Protestan, apakah imam, uskup, dan paus itu ada sekolah khusus. Manajemen yang rapi apakah diwajibkan Vatikan, sakramen penguatan, hingga sakramen untuk orang meninggal.

Ada juga pertanyaan menarik dari Liayatulil mengapa pastor tidak menikah. Ulumudin menanyakan apakah umat Katolik tersinggung kalau ada umat non-Kristen memakai simbol-simbol Kristen. Layaknya dosen, Romo Eko menjawab pertanyaan itu satu per satu.

Setelah menerima penjelasan dari Romo, rombongan mahasiswa IAIN meninjau ruangan pengakuan dosa, ruangan lonceng, balkon paduan suara, sakristi, serta Gua Maria. Muhamad Yunus menanyakan fungsi ruang pengakuan dosa. Kemudian Romo memberikan penjelasan singkat kepada peserta. Setelah meninjau beberapa ruangan di dalam Gereja HKY, rombongan berfoto bersama.

Acara selanjutnya makan siang bersama dan pemberian kenang-kenangan. Romo Eko memberikan buku “Iman Katolik" dan Kitab Hukum Kanonik”. Sebagai dosen pengampu mata kuliah Kristologi, Afdilah memandang penting kegiatan seperti ini. Menurut dia, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori di kampus IAIN.

"Kami tidak ingin hanya teori saja, tetapi mahasiswa diajak langsung ke gereja-gereja agar mereka memperoleh gambaran yang utuh dan tidak parsial mengenai Gereja Katolik. Ke depan, kegiatan-kegiatan ini tetap dilanjutkan dengan melakukan dialog yang lebih intensif. Syukur alhamdulilah, kami diterima dengan baik di Gereja HKY," katanya.

(Silvester Woru)

*Profil Paroki Ratu Pecinta Damai, Pogot, Surabaya


Bermula dari Stasi Kecil

Di Pinggir Kota


Gereja Ratu Pecinta Damai, Pogot, Surabaya, atau lebih dikenal dengan Paroki Pogot, boleh dibilang gereja ‘pendatang baru’ di Jawa Timur bila dibandingkan dengan gereja-gereja tua yang dibangun pada era Hindia Belanda. Gereja ini terletak di pinggir kota, jauh dari hiruk-pikuk plasa, mal, serta pusat perbelanjaan moderen.


Alkisah, pada 27 Februari 1979 diadakan pertemuan bersama Pengurus Dewan Paroki Kepanjen dan para tokoh umat Katolik setempat, sehingga terbentuk panitia pembangunan gereja. Saat itu, Pogot dan sekitarnya masuk wilayah Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria (Kelsapa), Kepanjen. Dalam perkembangannya, kata Alfonsus Siswadi, tokoh umat, beberapa kegiatan rohani seperti perayaan ekaristi diadakan di Sidotopo. Pogot berkembang menjadi stasi yang hidup dengan empat wilayah. “Apalagi, banyak anggota TNI Angkatan Laut yang merupakan keluarga muda. Terjadilah relasi antara Stasi Sidotopo Lor, Tenggumung, dan Pogot. Perkembangannya sangat pesat,” tutur Alfonsus Siswadi, bekas pastor kongregasi misi (CM).


Hal ini ditanggapi positif oleh Paroki Kelsapa, dengan membentuk dua lingkungan yang mandiri. Tanggal 22 Maret 1976 Romo Heuvelmans CM mendapat rekomendasi dari Lurah Dusun Tanah Kalikedinding dan Camat Sukolilo untuk membeli tanah sekaligus mendirikan bangunan Gereja Katolik di wilayah tersebut. Pada saat itu, Pak Lurah juga berkeinginan mendirikan sebuah rumah sakit. Rekomendasi tanggal 24 Maret 1976 dari RT 02/RW 06 Pogot Baru menyetujui pembangunan gereja di Jalan Pogot Baru.


Peletakan batu pertama pada 12 September 1976 serta pemasangan fondasi oleh Romo PJA Heuvelmans CM selaku Romo Paroki Kepanjen, disaksikan oleh pejabat pemerintah dan pejabat gereja. Akhirnya, didirikan Gereja Katolik di Pogot Baru dengan bentuk Joglo. Bentuk Joglo ini banyak pertimbangan, inspirasinya dari Jogjakarta.

Pada 1977-1980 Gereja Katolik Pogot mendapat surat izin dari Polda Jatim dan Departemen Agama Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya memberikan izin prinsip lokasi untuk mendirikan Gereja Katolik Pogot, di desa Tanah Kalikedinding, Kecamatan Sukolilo, Surabaya, pada areal seluas sekitar 1.920 meter persegi.


GEDUNG GEREJA DIBERKATI


Menurut Johanes Samsudi selaku Ketua Dewan Paroki Ratu Pecinta Damai, pada 1979 pembangunan gedung gereja sudah jadi meskipun belum sempurna. Pembangunan gereja didesain oleh putra gereja Pogot, salah satunya Ir Robby yang telah lulus kuliah di Jerman dan memenangi lomba desain gereja. Samping kanan kiri dibuat etalase untuk sirkulasi udara dan penerangan. Penerangan ini didesain dengan unsur alami untuk kepentingan umat dalam perayaan ekaristi.


Gedung gereja diberkati oleh Romo L Tjahyo Kusumo CM. Sejak saat itu kegiatan dan perayaan ekaristi dilaksanakan di gedung gereja baru. Pada awalnya kegiatan dan perayaan ekaristi di rumah AY Meijik serta Sumardjono. Awal tahun 1981 pembangunan gedung gereja selesai sepenuhnya, kata Samsudi.


Pada 25 Januari 1981 Mgr Johanes Klooster CM. berkenan memberkati gedung gereja dengan nama pelindung Ratu Pecinta Damai. Mengapa harus memakai nama pelindung Ratu Pecinta Damai, tidak yang lain? Soal nama pelindung ini masih terjadi kesimpangsiuran antara tokoh umat dengan Romo gembala. Romo Everard van Mensvoort CM tetap berkeinginan untuk memberi nama pelindung Maria. Di dalam penanggalan liturgi yang berkenaan dengan Maria, yakni Maria Ratu Damai, dirayakan 9 Juli.


Nah, tanggal 9 Juli bertepatan dengan Pesta Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria, para misionaris tarekat. Dengan alasan bulan Juli sudah tidak lagi musim hujan, sehingga umat dapat mengadakan kegiatan di gereja. Tetapi, Ratu Damai pada saat itu telah dipakai oleh Stasi Ujung (Armada Angkatan Laut, red) sebagai nama pelindung gereja di sana. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka diberi nama pelindung Ratu Pecinta Damai, bukan Ratu Pencinta Damai. “Dengan melihat perkembangannya nama pelindung Ratu Pecinta Damai juga bisa dilihat dari Pengembangan Litani Santa Perawan Maria,” jelas Aloysius Siswadi.


PERKEMBANGAN UMAT


Berdirinya gedung gereja Pogot merupakan titik perubahan dari gereja diaspora yang telah digagas oleh Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr (almarhum). Gereja Diaspora yang terpencar-pencar menjadi sebuah Gereja yang satu, mempersatukan bangunan tubuh Kristus yang kecil-kecil menjadi sebuah tubuh Kristus yang lebih besar.


Awalnya, umat Pogot berada dalam teritorial Paroki Kelsapa, Kepanjen. Pada tahun 1980-an Gereja Pogot menjadi stasi dari Paroki Kristus Raja dengan kepala paroki, Romo Everard van Mensvoort CM. Perkembangan umat saat itu menjadi enam lingkungan yang dikoordinir oleh RD Mardjono.


Pada 9 September 1984 terjadi pergantian wilayah dengan ketua wilayah MS Purwanto serta Romo B Martokusumo CM sebagai romo wilayah. Dengan proses perkembangan umat yang pesat, akhirnya wilayah Pogot menjadi Stasi Ratu Pecinta Damai dengan ketua stasi, Yohanes Samsudi.


Yohanes Samsudi menjelaskan bahwa pada waktu itu banyak karya yang telah dilakukan oleh umat. Di bidang pendidikan mengadakan pelajaran agama, ketrampilan untuk melatih life skill umat, dan mendirikan sekolah (TK, SD, SMP yang sekarang diberi nama sekolah Ratu Pecinta Damai, red). Selain karya dalam bidang pendidikan formal, Stasi Pogot membentuk lembaga kursus ketrampilan dalam asuhan Yayasan Isidorus. “Tanggal 2 Juli 1989 umat Stasi Pogot mempunyai Pasturan Ratu Pecinta Damai yang diresmikan oleh Bapak Uskup,” terangnya.


DARI STASI KE PAROKI


Tahun 2002-2003 Stasi Ratu Pecinta Damai, Pogot, berkembang dengan 16 lingkungan empat wilayah. Romo Yohanes Gani Sukarsono CM dipercaya menjadi romo stasi. Hadirnya Romo Gani mempercepat perkembangan umat Pogot. Umat berani membuat visi dan misi: Bersama Umat Mewujudkan Gereja yang Solider untuk Mencapai persaudaraan Sejati dalam Umat dan Masyarakat. “Visi dan misi ini membuat motivasi umat Pogot menjadi kuat untuk lebih mandiri walaupun masih tertatih-tatih,” kata Samsudi.


Perubahan diawali dengan pembentukan struktur pengurus gereja berdasarkan acuan pada Buku Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Surabaya edisi 1997. Umat Pogot bukan hanya bergerak pada rutinitas di seputar altar, melainkan menjalin persaudaraan keluar dengan umat agama lain. Setelah cukup mantap, kata Romo Th Tandyasukmana CM, selaku pastor paroki, Dewan Stasi memberanikan diri untuk hidup mandiri. Menjadi paroki sendiri, lepas dari induknya.


“Menjadi Paroki Ratu Pecinta Damai tepat pada 25 Januari 2004,” kata Romo Tandyasukmana. Tanggal ini sengaja disesuaikan dengan peresmian gereja dengan nama pelindung Ratu Pecinta Damai pada 25 Januari 1981. Paroki Ratu Pecinta Damai akhirnya diresmikan dan diberkati oleh Romo Julius Haryanto C, Administrator Keuskupan Surabaya. Saat ini umat Katolik di Paroki Pogot kurang lebih berjumlah 3.500 jiwa.

(A. SEPANCANARYANTO)