Selasa, 08 Maret 2011

Teater BATA Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS)


Usung Isu Sosial Kemasyarakatan

“Berasal dari tanah, bukan siapa siapa. akan tetapi tanah itu adalah tanah yang spesial sehingga dapat berguna dalam kehidupan manusia.”

Itulah motto Teater BATA, salah satu komunitas teater kampus di Universitas Katolik Widya Mandala yang berada dalam naungan Unit Kegiatan Mahasiswa 3 (UKM 3) dan dilatih oleh praktisi yang profesional dalam bidangnya. Komunitas teater BATA ini selalu latihan di depan kapel Universitas Widya Mandala setiap hari Sabtu sore, jam 14.00 – 17.00 WIB. Dan, Komunitas teater BATA juga mempunyai slogan, yakni ”Tumbang”, yakni tumbuh dan berkembang seiring berjalannya aktifitas kampus UKWMS, jelas Leonardo C, koordinator pelaksana.

Sudah berulang kali, komunitas teater BATA menampilkan Performance Art baik di dalam dan di luar kampus. Diantaranya open house, WM Superstar, Remaja dan Budaya, serta Ormawa (organisasi mahasiswa) Fair 2010.

Koordinator pelaksana teater bata menambahkan memakai nama BATA merupakan tanah liat yang dipergunakan sebagai bahan bangunan. Untuk membangun rumah. Awal mula berasal dari tanah liat, kemudian dibentuk oleh para pengerajin menjadi persegi. Membentuk batu bata melalui proses pembakaran di tungku.

Dari situlah, komunitas teater ini menamai dirinya, yakni BATA. Sesuai dengan ciri khas Universitas sendiri dengan bangunan batanya. Karena anggota kami semua berasal dari tanah dan kita adalah tanah yang BERBEDA. Tanah yang spesial yang memiliki keistimewaan. Akan tetapi tidak hanya sampai di situ, kami juga mau untuk terus dibakar (baca: belajar) untuk menjadi sesuatu yang lebih berguna dan bermakna bagi publik, salah satu wujudnya menjadi batu BATA, tambahnya.

“Dengan begitu BATA menjadi fondasi hidup komunitas teater kami. Dalam melangkah semakin maju ke depan bersama kemajuan Universitas kami.”

Teater BATA tidak hanya tampil di dalam kampus, BATA telah menampilkan berbagai gestur, yakni pasar malam Cap Tunjungan dengan lakon AKU. Aku sebagai tokoh penjuang yang tangguh dalam melawan penjajah. Perjuangan AKU ini diulang kembali dalam peluncuran buku 50 tahun UKWMS dengan performance yang berbeda dengan gigihnya dalam menempuh pendidikan lanjut, hingga sampai saat ini BATA mempersiapkan diri.

Untuk tampil selanjutnya, kolaborasi dengan teater Akse pada bulan April mendatang. Tidak hanya itu BATA juga membuat film Indie. Dan itu, salah satu program BATA di tahun 2011. Lepas dari itu BATA juga akan menggelar pertunjukkan mandiri dan memeriahkan kegiatan kampus tercinta, terang Edo di sela-sela latihan.
Selain itu, kami juga mempunyai penghubung sebagai salah satu media kami untuk menyatukan budaya bangsa dengan membuat blog dan facebook, yaitu www.akucintabata.blogspot.com dan fb : BATA the Theater Company. (asep)

Misa Khusus Hari Orang Sakit Sedunia (HOSD)


Jangan Sekadar Mengobati, tapi Memulihkan
“Marilah Kepada-Ku Semua Yang Letih Lesu dan Berbeban Berat, Aku Akan Memberikan Kelegaan Kepadamu” (Matius 11:28).

Ketika seseorang jatuh sakit, ia merasa tidak berdaya. Ia tidak lagi dapat melakukan kegiatan seperti biasa. Jika terus berkelanjutan, perasaan tersebut akan berkembang menjadi depresi dan putus asa. Gereja tidak menginginkan hal itu terjadi. Hal itulah yang mendasari Gereja Katolik lewat Paus Yohanes Paulus II mencetuskan sebuah hari khusus setiap tanggal 11 Januari sebagai Hari Orang Sakit Sedunia.

Mengemban tugas mewartakan sukacita penyembuhan, secara rutin, setiap tahun RS Katolik St Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya selalu mengadakan Misa Hari Orang Sakit Sedunia. Dengan mengambil tema Yesus Penyembuh Ilahi, Maria Penolong Abadi, misa yang diadakan kali ke-19 pada tahun ini lebih menekankan pada peningkatan nilai kepedulian dan penghargaan bagi mereka yang sakit. Kapel RKZ dipilih sebagai tempat pelaksanaan misa yang dipimpin Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, didampingi Rm. Lukas Kilatwono SVD dan Romo Eko Wiyono.

Dalam khotbahnya, Mgr. Sutikno mengungkapkan bahwa Gereja harus selalu berpihak pada orang sakit dan penderitaan mereka. Bapa Uskup menambahkan bahwa sudah sepantasnya kita terbuka kepada orang sakit, sama seperti Yesus terbuka dan menerima mereka yang letih dan berbeban berat.

Misa yang dihadiri 300-an umat ini berjalan lancar dan khidmat. Umat dari berbagai paroki se-Surabaya, bahkan dari Bali, datang untuk memohon berkat penyembuhan dari Allah sendiri. Walaupun mereka datang dengan berbagai penyakit fisik namun secara spiritual mereka tampak sangat bersemangat. Keterbatasan fisik, berkursi roda, kruk, bahkan di atas bed pasien tidak menghalangi mereka untuk datang.

“Kami juga menyebarkan undangan ke rumah sakit lain seperti RS Darmo dan RS William Booth,” ujar Sr. Odilia SSpS, ketua Tim Pastoral Care RKZ. Tim Pastoral Care juga mengakomodasi pasien yang sedang dirawat inap untuk secara leluasa mengikuti Misa. “Kami pasti tetap menjaga kondisi pasien, termasuk yang datang menggunakan bed. Kami tetap memantau kondisi mereka dibantu dengan dokter umum,” ujar Gertrudis Sri Hardaningsih, Asisten Manajer Rawat Inap RKZ.

Menutup rangkaian pelayanannya, Bapa Uskup mengungkapkan bahwa seharusnya seluruh masyarakat lebih memperhatikan orang sakit. “Jangan jadikan mereka hanya sebagai objek, tetapi layani mereka dengan sepenuh hati,” tegasnya.

Bapa Uskup menambahkan: “Seharusnya kata rumah sakit diubah saja menjadi rumah pemulihan. Karena di rumah pemulihan para pasien tidak hanya sekadar dianggap sebagai mereka yang sakit dan lemah, tetapi sebagai umat manusia yang membutuhkan pemulihan, tidak hanya fisik, tetapi juga secara mental." (elieza/drAKS)

Merenungkan Aksi Kekerasan yang Melanda Indonesia
Oleh Bernadus Satya Graha
Umat Paroki St. Petrus & Paulus Temanggung
Ringgal di SKJJ Trawas, Mojokerto


Tulisan ini mencoba untuk melihat dan merenungkan realitas yang terjadi di negara kita, secara khusus aksi perusakan dan pemabakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah, yang bisa dikatakan dapat mengancam kebinekaan.

Akhir-akhir ini, berbagai media masa telah memuat berbagai aksi kekerasan yang melanda negara kita. Kejadian terkini telah merekam ada 17 insiden yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Mulai Februari 2006 di Tangerang, Banten, demonstrasi penolakan pendirian gurdwara (tempat ibadah agama Sikhs) di Karang Mulya, kecamatan Karang Tengah, hingga 8 Februari 20011 di Temanggung terjadi pembakaran dan perusakan gedung gereja. (Kompas, 14/2/2011).

Kejadian-kejadian ini sangat memprihatinkan dan meninggalkan duka dan kecemasan bagi para korbannya. Peristiwa semacam ini bukanlah hal yang baru karena kekerasan serupa selalu muncul dan kerap mengorbankan kelompok-kelompok minoritas. Sebagai orang Katolik yang masuk kategori kaum minoritas, kita sudah sering kali merasa dipojokkan oleh berbagai pihak dalam bermacam-macam hal. Sepertinya ruang gerak kita diawasi dan selalu disoroti. Bahkan, upaya pengamalan niat baik kita pun tidak jarang dicurigai sebagai usaha KRISTENISASI. Kalau sudah demikian, tidak banyak yang bisa kita perbuat. Kadang-kadang niat baik memang tidak selalu diterima baik pula oleh pihak lain, namun niat baik inilah yang menjadikan kita lebih mulia di hadapan Allah.

Kasus kekerasan SARA di Temanggung memang menimbulkan duka yang mendalam, khususnya bagi umat Katolik Paroki St. Petrus dan Paulus Temanggung. Hampir seluruh isi gereja diporak-porandakan oleh masa tak dikenal. Kaca-kaca pecah, patung-patung digulingkan, organ dirusak dan yang paling tragis, Romo Sadana yang mencoba untuk menyelamatkan Sakramen Mahakudus dipukul oleh massa yang ternyata lebih cepat masuk gedung gereja. Kejadian ini sungguh mengguncang warga Temanggung, khususnya umat Katolik. Selama ini Temanggung dikenal sebagai kota yang ayem tentrem kartaraharja dan tiba-tiba ada kerusuhan yang menyita perhatian sampai ranah nasional.

Dalam kasus ini, kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Mungkin di berbagai media masa banyak orang mengkritik kinerja aparat keamanan yang dinilai cenderung membiarkan dan tidak siap dalam mencegah aksi kekerasan ini. Dalam arti tertentu, mungkin hal ini dapat dibenarkan, namun kita sebagai orang Katolik sebisa mungkin merenungkan peristiwa ini sebagai pengalaman iman dan tidak perlu menilai siapa yang benar dan siapa yang salah.

Rm. Sulistya MSF selaku pastor paroki St. Petrus dan Paulus Temanggung mengajak umat untuk tidak mengenang atau memikirkan kesedihan ini, apalagi menyimpannya sebagai dendam. “Kami mengutuk perbuatan perusuh itu, tapi tidak perlu membenci pelakunya. Pelakunya adalah manusia sehingga jika kemarin dia berbuat jahat, di masa depan dia masih bisa berubah menjadi orang yang lebih baik.” Ajakan dari Rm. Sulitya, MSF ini setidaknya membuat umat lebih tenang dan mau dengan rendah hati memaafkan dan menerima kenyataan pahit ini sebagai bentuk ujian iman pada Tuhan.

Melihat realitas semacam ini, muncul beberapa pertanyaan dalam diri saya: “Dapatkah agama-agama berperan aktif untuk mengakhiri berbagai konflik dengan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah?” Tanpa berpikir panjang, mungkin banyak orang akan memberikan jawaban spontan, enteng, dan normatif kira-kira sebagai berikut: “Kenapa tidak? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih?” Namun jawaban atas pertanyaan yang sama tidak akan spontan, enteng, dan normatif jika konflik yang dimaksudkan adalah konflik yang melibatkan agama-agama seperti yang terjadi di Maluku, Poso, Pandeglang, dan Temanggung.

Siapa yang harus bertanggung jawab mendamaikan agama-agama yang terlibat dalam konflik tersebut? Ke manakah Allah harus berpihak ketika kedua belah pihak yang bertikai itu sama-sama mengklaim sedang berperang untuk dan atas nama Allah?

Pertanyaan reflektif ini yang selalu membayangi saya dan mungkin juga anda sekalian. Kalau kita lihat, sebenarnya sudah banyak kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk menjalin kerukunan hidup beragama. Upaya dialog antar agama sudah sering dilakukan di sana-sini, namun masih saja terjadi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Mengapa demikian? Karena dialog semacam itu hanya berlangsung diantara para elit (tokoh yang sudah memiliki pemahaman benar tentang agamanya) dan belum menjangkau kelompok-kelompok garis keras yang kerap kali menjadi sumber persoalan dalam hubungan antar agama.

Franz Magnis Suseno SJ (2010) dalam buku Menggugat Tanggungjawab Agama-agama Abrahamik bagi Pedamaian Dunia yang ditulis kembali oleh Robert B. Baowollo, menekankan perlunya bertindak realistis dan bijaksana terhadap mereka yang dikategorikan sebagai kelompok-kelompok garis keras. Beliau mengungkapkan jika dialog dengan kelompok-kelompok garis keras atau kelompok fundamentalis dilakukan dengan memakai pendekatan personal dan informal sebelum masuk ke dalam model dialog yang lebih terbuka dan formal serta melibatkan banyak pihak, akan jauh lebih efektif. Melalui suatu hubungan dan kedekatan personal dengan individu atau kelompok-kelompok garis keras, maka akan terbangun trust diantara para peserta dialog. Personal trust adalah syarat mutlak menuju sebuah dialog yang terbuka dan saling menghargai. Sebuah dialog tanpa trust adalah sebuah medan pertarungan ide dan ideologi yang liar, tanpa hakim dan tanpa titik temu, karena, kelompok-kelompok garis keras, fundamentalis dan eksklusif hanya akan memasuki ruang dialog dengan pola pikir argumentum ad hominem, untuk memaksakan dan mempertahankan konsep mereka. Dan itu berarti tidak ada dialog.

Gagasan Romo Magnis ini kiranya dapat diterapkan untuk menjangkau para peserta dialog yang masuk dalam kelompok-kelompok garis keras (fundamentalis). Dengan pendekatan personal dan informal sebelum masuk dalam dialog yang umum, setidaknya akan mempermudah para kelompok garis keras untuk mampu terbuka dan memiliki pandangan yang luas terhadap ajaran agama-agama lain. Dengan demikian, subjek pelaksana dialog antar agama tidak hanya dilakukan oleh para tokoh agama saja, namun umat (kaum awam) juga memiliki tugas dan kewajiban untuk berperan aktif dalam menciptakan dialog yang baik dan benar. Dengan banyaknya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama ini, orang Katolik perlu merefleksikan peristiwa ini. Lepas dari penilain mana yang benar dan mana yang salah, alangkah baiknya jika kita menjaga sikap dan tutur kata agar tidak menyinggung atau menjelek-jelekkan agama lain. Demikian sebaliknya, kita juga jangan mudah terpancing emosi oleh berbagai isu atau hasutan yang mengarah pada ajaran agama lain. Semoga Allah sendiri yang berkenan menyempurnakan segala niat baik kita untuk membangun kerukunan antar umat beragama, sehingga manusia yang sama-sama ciptaan Allah tidak lagi bertengkar satu sama lain dengan mengatasnamakan Allah sebagai pendukungnya. (*)

Oase


















Kekerasan: Agama atau Tindakkan
Oleh Suhartoyo Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala Surabaya

Bangsa Indonesia dihantam lagi permasalah kekerasan terhadap kerukunan umat beragama. Kasus penganiayaan yang dialami Gereja Huria Kristen Batak Protestan(HKBP) meninggalkan kenangan yang memilukan. Kemudian pada 6 Februari 2011, media melaporkan lagi bahwa Jemaat Ahmadiyah telah dianiaya, sehingga tiga nyawa pun melayang. Kekerasan berdasarkan agama pun terjadi lagi di Temanggung dengan pembakaran dan pengerusakan tiga gereja berkaitan dengan kasus penodaan agama Kompas 11 Februari 2011).

Kehidupan bangsa Indonesia yang multireligius telah tergoncang. Perbedaan agama dengan mudahnya disulut api pertikaian dan konflik, bahkan menjadi opini publik.

Agama tidak lagi menjadi muara ketenangan dan menemukkan makna hidup bagi manusia. Wadah untuk membangun kualitas hidup. Akan tetapi, agama melahirkan pengalaman pahit bagi pemeluk umat beragama, karena berbeda pandangan dan keyakinan. Akibatnya, nyawa seseorang terancam dan melayang.

Maka, agama memberikan pengalaman positif tentang ajaran kebahagiaan dan kedamaian hidup dalam hal moralitas. Di sisi lain, agama juga melahirkan kisah tragis. Akhirnya, agama justru melahirkan perpecahan dan perselisihan kita sebagai satu saudara.


Kartini: Agama dan Tindak Kekerasan

Raden Adjeng Kartini (1879-1904) mengajak kita untuk menimbang secara kritis terhadap kekerasan umat beragama yang terjadi. Apakah agama yang menyebabkannya?

Permasalahan kekerasan dalam kehidupan beragama telah menjadi masalah klasik di Indonesia. Dalam suratnya kepada Zeehandelaar 18 Agustus 1899, Kartini mengatakan: “Agama harus menjaga kita dari pada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!”(1997: 39).

Menurut Kartini, agama adalah penyatu sebagai saudara terhadap sesama. Apabila terjadi kekerasan atas nama agama, hal ini diakibatkan oleh adanya topeng. “…karena banyak kami lihat orang memakai topeng agama berkelakuan yang tidak menaruh kasihan (tidak bertindak cinta). Lambat laun barulah kami tahu, bukanlah agama itu yang tiada menaruh kasihan, melainkan manusia jugalah yang memperburuk segala sesuatu yang semulanya bagus suci itu.” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon 12 Desember 1902)

Berdasarkan pemikiran Kartini, ada pun hal yang patut dikecam bukan tentang agama, melainkan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Atau tindakan kekerasan tersebutlah yang perlu dikecam. Tindakan yang tidak berdasarkan cinta.

Agama tidak menyebabkan kerkerasan. Justru agama menjadi topeng kekerasan yang sangat empuk. Bagaikan api yang mudah disulut. Akibatnya, tindakan brutal atas nama agama telah menghakimi orang lain sangat tragis. Sampai pada penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap sesama manusia.

Tindakan Cinta

Tindak kekerasan yang berselubung agama menjadi sangat bombastis. Hal ini dapat kita lihat pada jemaat HKBP, Ahmadyah, dan perusakan gereja. Ada kepentingan atau ”selubung hitam” yang tersembunyi atau kepentingan tertentu.

Dalam hal ini, kita dapat melihat dan mengecam tindakan kekerasan itu sendiri. Bagi Kartini, kekerasan itu terjadi karena orang tidak bertindak berdasarkan cinta. Apakah itu ”tindakan cinta”?

Dalam surat 4 September 1901, kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengatakan cinta itu mahakuasa yang melenyapkan sifat yang membeda-bedakan. Tindakan cinta yang dimaksud adalah tindakan yang menepiskan sifat pembedaan terhadap orang lain atau menerima perbedaan.

Tindakan cinta adalah bertindak dengan mengubur sikap arogansi yang selalu membenarkan diri dalam pandangan dan ideologinya. Orang membuka dirinya terhadap keyakinan, kepentingan dan pandangan orang lain. Orang lain tidak menjadi asing, melainkan saudara, sesama manusia. Untuk arti saudara ini, Kartini merujuk pada pengertian bahwa adanya suatu ikatan yang mendalam dengan orang lain. Ikatan yang membentuk kesatuan hakiki antara aku dan diri orang lain.

Maka, agama tidak membawa kekerasan. Agama menjadi media atau ”selubung hitam” atas terjadinya kekerasan tersebut. Ada kepentingan tertentu, entah itu politis, sosial dan ekonomi. Akan tetapi, kekerasan itu disebabkan oleh manusia yang bertindak tidak berdasarkan ”tindakan cinta”. Tindakan yang menerima perbedaan dan melenyapkan pembedaan di antara sesama manusia. Namun, orang lebih meninggikan diri dalam ideologi, keyakinan, dan pandangannya. (*)

Pesta St. Angela

Gelar Tablo di Aula SanMar

Sabtu (19/2) TK Santa Maria juga merayakan pesta St. Angela. Pesta Angela diselenggarakan di aula lantai 4. Pesta diawali dengan gerak dan lagu dari TK A, Puisi Bunda Angela berbahasa Inggris yang dibacakan tiga anak, dan Lagu dari TK B dengan menyanyikan lagu Bersatu dalam Doa yang dipimpin oleh Kak Anton.

Menurut Kepala TK Santa Maria Sr. Susana Ernawati OSU, St. Angela adalah wanita kudus yang sederhana, tangguh, dan mempunyai semangat juang yang tinggi. Begitu juga seorang ibu dan pendidik yang luar biasa.

Dengan merayakan St. Angela, kita diharapkan tidak bersikap dingin dalam hidup kita. Tetapi mengisi hidup ini dengan hal-hal yang berguna.(sep)

Meneladani Santa Angela


Komunitas OSU Rayakan Pesta St. Angela

Bagi komunitas suster-suster Ordo Santa Ursula (OSU) Surabaya dan Pacet, 27 Januari menjadi tanggal istimewa. Hari itu merupakan hari penuh kebahagiaan di mata hati mereka, karena pesta Bunda Angela.

Angela dilahirkan dari keluarga Yohannes Merici dan Biancon de Salo. Namun, sejak kecil Angela telah ditinggal oleh orang tuanya dan diasuh oleh pamannya. Pamannya sangat sayang pada Angela. Begitu juga Angela sayang pada paman. Angela rajin membantu di rumah pamannya. Setelah selesai Angela mengumpulkan anak-anak kampung dan mengajak mereka untuk bermain dan belajar.

Tidak hanya itu. Angela juga mengajarkan agama dan perbuatan baik kepada mereka dengan sabar dan menarik hati. Dari itu situlah benih-benih pelayanan Angela tumbuh dan mempunyai cita-cita. Untuk bertapa bersama saudarinya. Tetapi dengan bijaksana pamannya mencegahnya. Setelah meninggalnya barulah Angela dizinkan masuk biara Ordo III Fransiskanes.

Berangkat dari situlah, benih-benih panggilan Angela semakin tumbuh. Sekitar tahun 1945 Angela pulang ke Desenzano menjenguk makam pamannya. Dan, melihat penampakan bahwa Angela sedang memberi pelajaran agama kepada anak-anak putri dengan karya cinta kasih dan membukalah sekolah bagi anak-anak putri pada tahun 1516 di Brescia. Banyak wanita mendukung Angela. Angela menghimpun para pendukungnya dan mengornisir secara baik serta memberikan peraturan sederhana.

Dari situlah, awal mulanya Ordo Santa Ursula berdiri. Secara resmi dan atas pengesahan dari Tahta Suci di bawah perlindungan Santa Ursula tahun 1522. Santa Ursula sangat dihormati sebagai teladan martir dan keperawanan Kristen.
Karya-karya Bunda Angela bersama putri-putrinya sungguh berkembang pesat di bidang pendidikan. Dan, pimpinan gereja barulah mengizinkan biara itu hidup sungguh-sungguh seperti biara lainnya. Sesuai cita-cita Bunda Angela, yakni ”Hiduplah di tengah-tengah dunia, tetapi bukan dari dunia.”

Setelah memegang pimpinan selama tiga tahun, pada 1540 Bunda Angela meninggal dunia dengan tenang. Paus VI dan VII menyatakannya sebagai orang kudus. Biara Ordo Santa Ursula semakin berkembang dalam jumlah dan mutu hingga tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Masuknya Ordo Santa Ursula berkat suster-suster dari Belanda yang singgah dan berkarya di Surabaya dengan menggunakan kapal. Dan, berlabu di Kalimas.

Pesta Santa Angela

Kali ini Pesta Santa Angela diperingati di Komunitas Pacet, tepat di Wisma Bintang Kejora, Kamis Kliwon (27/1). Sebelum mengadakan pesta komunitas Surabaya dan Pacet yang terdiri dari suster, guru, staf administrasi, dan karyawan-karyawati. Menggelar perayaan ekaristi yang dipersembahkan oleh Romo Bruno.

Dalam pesta ini, tema yang diambil adalah Ketekunan Santa Angela sebagai Teladan Kita.” Melalui teladan Santa Angela, kita dijak untuk selalu bertekun mendidik, mengajar, dan melatih anak didik dengan cinta kasih. Hal ini ditegaskan pula oleh Romo Bruno bahwa berkarya di dunia pendidikan ini sungguh-sungguh mulia.

Berbahagialah Anda yang bertekun dan meneladani Santa Angela. Karena Santa Angela merupakan sosok bunda yang penuh kasih setia dalam berkarya di duni pendidikan. Dan, tampak dari kesetiaan yang Anda berikan dan abdikan di Yayasan Paratha Bhakti ini.
”Ini sungguh-sungguh menekuni panggilan yang luar biasa. Menumbuhkembangkan manusia muda yang penuh dedikasi tinggi.”

Setelah homili, romo yang mendampingi para frater tahun rohani memberkati cincin 25 tahun pengabdian. 25 tahun ini merupakan pesta perak pengabdian bagi guru, staf administrasi, dan karyawan yang telah mengabdikan diri di Yayasan Paratha Bhakti. Di antaranya drg. Sonny Hartanto (SD Santa Maria Surabaya), HA Endang Widayati (SD Santa Maria Surabaya), A.F. Yoke Aprilliana W. (SMA Santa Maria Surabaya), Teguh Rahayu (Nasaret Surabaya), J. Bambang Edi Poernomo (SMP Santo Yusuf Pacet), dan Theresia Puji Astutik (SMP Santo Yusuf Pacet).

Pada kesempatan ini, Muder Lidwina secara istimewa memberikan cincin 25 tahun beserta piagam penghargaan kepada mereka yang mengabdikan diri.
Usai perayaan ekaristi, panitia dari SMP Santo Yusuf Pacet mengajak seluruh komunitas Surabaya dan Pacet untuk ramah-tamah di aula SMP Santo Yusuf. Berbagai hidangan disajikan di pesta Santa Angela ini, di antaranya jagung, ketela, ubi, dan kacang rebus. Kemudian semua menikmati makan siang yang sederhana. Dan, hiburan Band dari SMP Santo Yusuf. Tidak mau kalah, di masing-masing unit mempersembahkan keunikkan, yakni modern dance, tari topeng Gayus, gerak lagu, dan puisi Bunda. Keesokkan harinya, SMA Santa Maria mengadakan perayaan ekaristi di Gereja Hati Kudus Yesus yang dipimpin oleh Romo Sairin.(sep)

Konser Tur AVC Surabaya ke Bali


Mendampingi OMK dan Panti Asuhan

Komunitas ini terbentuk tahun 2007. Awalnya Angelii Vox Choir (AVC) merupakan paduan suara kecil (small choir) yang beranggotakan kurang lebih 8-12 orang.
Nama Angelii Vox sendiri diberikan oleh romo pembimbing komunitas ini, yaitu Romo Andreas Andri Noertjahja EW.

Sebenarnya, secara gramatikal bahasa Latin seharusnya Vox Angelii, tetapi di samping karena nama tersebut sudah banyak dipakai, di satu sisi Romo A’an, panggilan akrab Romo Andri ingin agar kelompok ini tidak saja melulu mengedepankan suara saja (VOX), tetapi lebih pada pengembangan spritualitas dan devosi kepada tiga malaikat agung pelindung paduan suara ini, yakni Santo Mikael, Santo Raphael, dan Santo Gabriel (ANGELII).

Dalam perkembangannya AVC tidak hanya melakukan latihan olah vokal saja, tetapi juga melatih diri secara spiritual dengan devosi dan berdoa doa litani para malaikat. Terakhir, AVC mengadakan tur selama tiga hari di Bali. Rangkaian kegiatan yang bertajuk To Serve with Love II-Bali berlangsung pada 12-14 Pebruari 2011 di Gereja Katolik Roh Kudus Paroki Babakan, Canggu, Bali dan di Panti Asuhan Sidhi Astu.
Rombongan AVC sengaja menginap di Panti Asuhan ini yang juga menyediakan tempat. Untuk menginap agar dapat melakukan pelayanan pula bagi adik–adik di panti asuhan tersebut. "Sekali dayung dua pulau terlampaui," kata Lucia Setyawati, Project Leader.
Sabtu (12/2), pelatihan paduan suara bersama Orang Muda Katolik (OMK). Kemudian, mempersiapkan diri untuk pelayanan misa Minggu pagi, di mana AVC bergabung dengan Paduan Suara OMK St. Don Bosco. “Saya baru tahu kalau latihan koor itu juga perlu pemanasan," ujar salah satu OMK Don Bosco.

Minggu (13/2) pagi, selesai misa bersama, diadakan acara sarasehan dan ramah-tamah yang men-sharing-kan mengenai musik liturgi, pemilihan lagu-lagu liturgi, pelatihan pemazmur, serta pelatihan paduan suara paroki. Pada sarasehan tersebut hadir pula Kepala Paroki Babakan Romo Lucius Nyoman Purnawan, yang menyambut positif terselenggaranya acara tersebut.

Menurut Lucia, di luar misa pun kita dapat berkarya dan meningkatkan kemampuan, misalnya dengan menyelenggarakan konser mini. Lagu-lagunya bisa lebih variatif, sehingga apabila kita ingin “unjuk gigi” tidak dilakukan pada saat misa.
Nah, konser mini ini mendapat tanggapan yang antusias dari umat Paroki Babakan. Tidak hanya AVC yang tampil, Koor OMK St. Don Bosco dan Koor Paroki yang baru terbentuk menunjukkan penampilan mereka. Antusiasisme mereka diungkapkan dengan penyajian lagu-lagu rancak, penuh semangat, dan diakhiri dengan menyanyikan lagu If You’re Happy bersama-sama.

Senin (14/2), acara beralih dari kegiatan parokial di gereja ke kegiatan sosial di Panti Asuhan Sidhi Astu, tempat AVC menginap selama tiga hari. Acara Hari Valentine bersama anak-anak panti. Kor bernyanyi bersama, membuat games-games lucu, dan berbagi hadiah kecil untuk semua anak, karyawan, dan suster-suster.

Bahkan, dua personel AVC rela berdandan aneh demi terciptanya suasana yang lebih semarak dengan menjadi tokoh Peri Cinta yang memberi nasihat pada anak-anak. Kegiatan ini sengaja diselenggarakan di bulan Februari karena bertepatan dengan suasana hari kasih sayang. Pelayanan ini berangkat dari kepedulian AVC terhadap perkembangan musik gereja dan musik liturgi di daerah-daerah terpencil atau paroki-paroki di daerah. Sebab, di paroki–paroki kecil atau daerah sering kurang mendapatkan informasi mengenai perkembangan terbaru baik koleksi lagu–lagu maupun teknik pelatihan vokal dan paduan suara.

Pembimbing OMK Paroki Babakan FX Ketut Wiryanto mengatakan, Paroki Babakan mempunyai keunikan tersendiri di Pulau Dewata. Sebab, hampir 90% warga desa Babakan beragama Katolik. Umat Katolik di paroki ini juga merupakan cikal bakal perkembangan iman Katolik sejak tahun 1930-an sama seperti di Paroki Tuka (bersebelahan dengan Paroki Babakan) dan Paroki Palasari yang sangat terkenal itu.(sep)