Selasa, 08 Maret 2011

Oase


















Kekerasan: Agama atau Tindakkan
Oleh Suhartoyo Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala Surabaya

Bangsa Indonesia dihantam lagi permasalah kekerasan terhadap kerukunan umat beragama. Kasus penganiayaan yang dialami Gereja Huria Kristen Batak Protestan(HKBP) meninggalkan kenangan yang memilukan. Kemudian pada 6 Februari 2011, media melaporkan lagi bahwa Jemaat Ahmadiyah telah dianiaya, sehingga tiga nyawa pun melayang. Kekerasan berdasarkan agama pun terjadi lagi di Temanggung dengan pembakaran dan pengerusakan tiga gereja berkaitan dengan kasus penodaan agama Kompas 11 Februari 2011).

Kehidupan bangsa Indonesia yang multireligius telah tergoncang. Perbedaan agama dengan mudahnya disulut api pertikaian dan konflik, bahkan menjadi opini publik.

Agama tidak lagi menjadi muara ketenangan dan menemukkan makna hidup bagi manusia. Wadah untuk membangun kualitas hidup. Akan tetapi, agama melahirkan pengalaman pahit bagi pemeluk umat beragama, karena berbeda pandangan dan keyakinan. Akibatnya, nyawa seseorang terancam dan melayang.

Maka, agama memberikan pengalaman positif tentang ajaran kebahagiaan dan kedamaian hidup dalam hal moralitas. Di sisi lain, agama juga melahirkan kisah tragis. Akhirnya, agama justru melahirkan perpecahan dan perselisihan kita sebagai satu saudara.


Kartini: Agama dan Tindak Kekerasan

Raden Adjeng Kartini (1879-1904) mengajak kita untuk menimbang secara kritis terhadap kekerasan umat beragama yang terjadi. Apakah agama yang menyebabkannya?

Permasalahan kekerasan dalam kehidupan beragama telah menjadi masalah klasik di Indonesia. Dalam suratnya kepada Zeehandelaar 18 Agustus 1899, Kartini mengatakan: “Agama harus menjaga kita dari pada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!”(1997: 39).

Menurut Kartini, agama adalah penyatu sebagai saudara terhadap sesama. Apabila terjadi kekerasan atas nama agama, hal ini diakibatkan oleh adanya topeng. “…karena banyak kami lihat orang memakai topeng agama berkelakuan yang tidak menaruh kasihan (tidak bertindak cinta). Lambat laun barulah kami tahu, bukanlah agama itu yang tiada menaruh kasihan, melainkan manusia jugalah yang memperburuk segala sesuatu yang semulanya bagus suci itu.” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon 12 Desember 1902)

Berdasarkan pemikiran Kartini, ada pun hal yang patut dikecam bukan tentang agama, melainkan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Atau tindakan kekerasan tersebutlah yang perlu dikecam. Tindakan yang tidak berdasarkan cinta.

Agama tidak menyebabkan kerkerasan. Justru agama menjadi topeng kekerasan yang sangat empuk. Bagaikan api yang mudah disulut. Akibatnya, tindakan brutal atas nama agama telah menghakimi orang lain sangat tragis. Sampai pada penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap sesama manusia.

Tindakan Cinta

Tindak kekerasan yang berselubung agama menjadi sangat bombastis. Hal ini dapat kita lihat pada jemaat HKBP, Ahmadyah, dan perusakan gereja. Ada kepentingan atau ”selubung hitam” yang tersembunyi atau kepentingan tertentu.

Dalam hal ini, kita dapat melihat dan mengecam tindakan kekerasan itu sendiri. Bagi Kartini, kekerasan itu terjadi karena orang tidak bertindak berdasarkan cinta. Apakah itu ”tindakan cinta”?

Dalam surat 4 September 1901, kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengatakan cinta itu mahakuasa yang melenyapkan sifat yang membeda-bedakan. Tindakan cinta yang dimaksud adalah tindakan yang menepiskan sifat pembedaan terhadap orang lain atau menerima perbedaan.

Tindakan cinta adalah bertindak dengan mengubur sikap arogansi yang selalu membenarkan diri dalam pandangan dan ideologinya. Orang membuka dirinya terhadap keyakinan, kepentingan dan pandangan orang lain. Orang lain tidak menjadi asing, melainkan saudara, sesama manusia. Untuk arti saudara ini, Kartini merujuk pada pengertian bahwa adanya suatu ikatan yang mendalam dengan orang lain. Ikatan yang membentuk kesatuan hakiki antara aku dan diri orang lain.

Maka, agama tidak membawa kekerasan. Agama menjadi media atau ”selubung hitam” atas terjadinya kekerasan tersebut. Ada kepentingan tertentu, entah itu politis, sosial dan ekonomi. Akan tetapi, kekerasan itu disebabkan oleh manusia yang bertindak tidak berdasarkan ”tindakan cinta”. Tindakan yang menerima perbedaan dan melenyapkan pembedaan di antara sesama manusia. Namun, orang lebih meninggikan diri dalam ideologi, keyakinan, dan pandangannya. (*)

Tidak ada komentar: