Selasa, 29 Desember 2009

Teater


Kunang-Kunang Kuning

Enny, selaku panitia natal GKI Diponegoro mengatakan kepada sutradara teater Kunang-Kunang Kuning. Jadwal latihan kita kurang lebih 12 kali pertemuan yang dilakukan pada hari Jumat dan Minggu. Jadwal tersebut plus gladi bersih. Gladi bersih dilakukan Selasa (23/12) pukul 18.00 di gereja GKI.

Proses gladi bersih sangat rapi dilakukan oleh tim teater, musik, dan multimedia. Setelah panitia melihat durasinya 1 jam lebih. Sutradara mengadakan break untuk menjelaskan property yang dibawa oleh masing-masing peran atau tokoh. Dan, menjelaskan posisi bloknya setiap peran.

”Dalam peran teater Kunang-Kunang Kuning ini, semua tokoh dari jemaat GKI Diponegoro. Mulai dari bapak, ibu, muda-mudi, remaja, dan anak-anak.”

Kunang-Kunang Kuning menceritakan seorang peziarah yang sedang mencari Sang Terang. Peziarah ini diperan oleh Gino. Peziarah ini mengalami kebinggungan dan merasa hidupnya hambar. Dan, berkelana ke kota, sampai ke kota dia bahagia. Tetapi di kota dia tidak diterima olah warga kota.

Akhirnya, bertemu dengan pemimpin kota yang membantu peziarah menemukan sang terang. Pemimpin kota ini juga mencoba untuk menyadarkan pizarah dengan membuka topengnya. Karena selama ini hidup peziarah, hidup di balik topeng. Bukan jati dirinya yang sesungguhnya.

Kesabaran timbul dari peziarah, saat bertemu dengan Sang Terang. Sang Terang mengirimkan Kunang-Kunang Kuning untuk menjemputnya. Dari situlah, akhirnya peziarah menjadi pribadi yang tangguh, utuh, dewasa, dan tanggungjawab. Pada setiap tugas dan kewajibannya sebagai umatNya.

Gino menuturkan tokoh peziarah ini sebenarnya hampir sama seperti saya. Sehingga pada saat diberi tokoh ini, saya langsung sanggup dan yakin bisa memerankannya dengan total, tuturnya.

Lain halnya, Yaya selaku tokoh pemimpin kota mensharingkan bahwa tokoh pemimpin kota ini ada sombongnya dan wibawanya. Mau menolong siapa saja. Bahkan setiap perkataannya, warga kota selalu percaya dengan gaya memimpinya, sharingnya. Namun kadang juga ditolak oleh warga kota.

Akhirnya Kunang-Kunang Kuning dapat ditampilkan dua kali, Rabu (24/12) dan berjalan sukses. Dan, slogan yang dibuat oleh anggota teater Kunang-Kunang Kuning, yakni yakin bisa menjadi motivasi dan spirit tersendiri. (asep)

Anjangsana



BUDAYA ANJANGSANA DI WAKTU NATAL


Hari Raya Natal merupakan hari yang dinanti-nantikan umat Katolik. Natal membawa kedamaian, kebersamaan, dan suka cita. Para pejabat gereja menetapkan bahwa tanggal 25 Desember merupakan hari raya Kelahiran Yesus Kristus.
”Lahirnya Yesus Kristus menjadi berkat bagi umatNya untuk berbagi damaiNya melalui budaya anjangsana (silaturahmi ), seperti yang dilakukan oleh umat Muslim pada saat hari raya Lebaran. “

Begitu pula yang dilakukan oleh umat katolik. Setiap tahun mereka merayakan natal dengan berkunjung ke rumah saudara, tetangga, dan rekan-rekannya. Untuk mengucapkan selamat Natal.

Seperti yang diungkapkan oleh Katarina W, guru ekonomi SMAK Seminari St. Vincentius a Paulo, hikmat dari budaya anjangsana ini bisa menambah umurnya bisa panjang. Dan, setiap umat selalu melakukan budaya ini tidak hanya pada saat natal ataupun paskah. Selain itu dengan berkunjung akan mendapatkan ilmu baru, wawasan, kenalan baru, teman atau bahkan saudara baru dan membawa sukacita. Bagi umat Katolik sendiri budaya ini juga merupakan implementasi dari makna kasih yang diajarkan Yesus Kristus dan Bunda Maria, ungkap guru ekonomi.
”Tetapi tidak semua daerah ada budaya anjangsana di waktu Natal. Kebetulan saya yang tinggal di daerah Blitar mengalami sendiri akan budaya anjangsana. ”

Sat hari raya Lebaran, Katarina memaparkan bahwa berkunjung ke umat Muslim, hari Waisak berkunjung ke umat Budha. Demikian juga ketika hari raya Natal, saya akan menerima tamu umat agama lain. Begitu pula yang pernah saya alami adalah bahwa mendapat kunjungan dari umat Katolik sendiri dari lingkungan lain.

Kunjungan ini dilakukan dengan cara dibagi per lingkungan di Paroki Santa Maria-Blitar. Biasanya dilakukan mulai tanggal 28 atau 29 Desember dan berlangsung selama 5 hari atau 6 hari tergantung dari jumlah lingkungan yang ada di daerah. Misalnya pada hari pertama Umat dari Lingkungan Matius akan menerima kunjungan dari umat lingkungan Markus, Lukas, Yohanes, Paulus. Pada hari kedua ganti umat Lingkungan Markus akan menerima kunjungan dari umat lingkungan lain. Demikian seterusnya kunjungan ini dilakukan mulai tanggal 28 atau 29 Desember dan berlangsung selama 5 hari atau 6 hari tergantung dari jumlah lingkungan yang ada, ungkapnya lewat message facebook.

Suasana ini sangat terasa setiap setelah selesai perayaan ekaristi. Umat tidak beranjak pulang, tetapi meluangkan waktu untuk tegur sapa melalui budaya anjangsana. Karena tujuan dari budaya ini membuat suasana guyup, relasi antara umat semakin rukun dan damai, terciptanya komunikasi yang sehat. Budaya Anjangsana waktu Natal juga sesuai dengan filsafat orang Jawa dengan istilah gupuh, lungguh, dan suguh. Ketika seseorang datang, tuan rumah senang menyambutnya dan mempersilakan untuk duduk. Baru kemudian suguhan (biasanya berupa kue-kue dan minuman). Dan merasa bahwa kedatangan tamu akan membawa berkah.

Budaya Anjangsana ini merupakan budaya yang klasik yang sedikitdemi sedikit terkikis oleh perkembangan globalisasi. Supaya tidak hilang dan terkikis, sebaiknya budaya seperti ini terus dikembangkan, dilestarikan, dan dapat dikembangkan pula di daerah lain.
Lebih dari itu yang terpenting dalam merayakan natal adalah menggunakan hati yang bersih dan suci. (asep)