Minggu, 05 Oktober 2008

Refleksi Hari Pangan Nasional 2008



Berpikirlah Kristis Dalam Menciptakan Keanekaragaman Pangan
dan Menyelamatkan Bumi


"Dan Bunda Gereja sepanjang sejarah senantiasa mengajarkan bahwa semua barang ciptaan diperuntukkan bagi semua orang. Alam serta kekayaannya diusahakan demi pengembangan lingkungan hidup yang menghasilkan kesejahteraan bagi setiap orang dan seluruh masyarakat .... Manusia membutuhkan daya dukung lingkungan alam ciptaan. Dan memelihara hidup manusia baik untuk hari ini maupun hari depan.” (Surat Gembala tentang Lingkungan Hidup tahun 1989)


Melalui Hari Pangan Nasional 2008 yang diperingati tanggal 16 Oktober 2008, bahkan dunia juga memperingati Hari Pangan Sedunia atau World Food Day adalah satu momen di mana masyarakat Indonesia diajak untuk merefleksikan dan memperhatikan kembali kondisi pangan Indonesia. Kita lihat data yang diolah oleh Panitia HPS KWI mengatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia 2008 sebesar 220 juta jiwa dan terus berkembang. Jika konsumsi beras per kapita sebesar 115 kg/tahun, maka jumlah yang harus dipenuhi tahun ini sebesar 25,3 juta ton, atau setara gabah kering giling (GKG) 43,5 juta ton. Untuk memenuhi produksi yang aman, diperlukan lahal seluas 8,7 juta ha. Data riil mengatakan tahun 2008 ini setelah dikurangi laju konversi lahan sawah menjadi non pertanian yang mencapai 134 ribu ha/tahun, diperkirakan seluas 11,4 juta ha. Jadi tahun ini diperkirakan surplus beras. Kenapa Indonesia menjadi kekurangan beras, hal ini ada apa? Diperlukan kepekaan dan kepedulian dalam mencerna dan melakukan terobosan baru dalam mengatasi permasalahan ini? Bagaimana kondisi nantinya di tahun 2018, diperkirakan laju pertumbuhan penduduk tahun 2018 1,5% per tahun, maka populasi penduduk mencapai 270,8 juta jiwa. Kebutuhan beras sebanyak 40,2 juta ton atau setara 69,1 juta ton GKG, yang dapat dihasilkan dari luas panen 13,8 juta ha. Padahal luas sawah yang ada tinggal 10,45 juta ha. Dikhawatirkan pada satu dekade mendatang Indonesia sudah krisis pangan.
Untuk mengatasi krisis pangan ini diperlukan terobosan baru dalam mengisi celah-celah tersebut. Melalui Hari Pangan ini harus dijadikan momentum yang terbaik dalam menumbuhkembangkan kembali ke pertanian organik, pertanian organik bukan saja tuntutan kebutuhan konsumen tetapi juga menadi kepentingan petani. Karena pertanian organik ini menjadi dasar bagi perwujudan kemandirian petani dan mengurangi ketergantungan dari pihak luar yang mewajibkan petani menggunakan pupuk berbahan kimia dan pestisida. Padahal pupuk kimia dan pestisida ini mengelabui kita dan para petani, karena secara tidak langsung bila petani terus menerus memakai pupuk tersebut melegalkan pemanasan global. Pemakaian pupuk yang berbahan kimian salah dalam budidaya tanaman, khususnya yang monokultur pada hamparan luas, akan meningkatkan akumulasi gas ammonia di atmosfir.
Seperti yang diungkapkan Eddy Locke, Staf Komisi PSE di Wisma Pastoral Hati Kudus Yesus lantai 3, memang kalau menggunakan pupuk yang berbahan kimia tahan hama dan tumbuhnya cukup bagus bila dilihat kasat mata, tetapi hasilnya bila dikonsumsi masyarakat akan membuat ketahanan tubuh kita tidak baik. Tampaknya enak dikonsumsi, didalamnya membunuh kita secara berlahan-lahan, ungkap Staf Komisi PSE.
"Memang pertanian organik ini bertolak belakang dengan pertanian kimiawi dan transgenik yang dikendalikan secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya karena sebagai hasil kebijakan neo-liberalisme. Kita harus kritis terhadap kebijakan neo-liberalisme dalam mengatasi kondisi krisis pangan tahun 2018 nantinya. Pertanian organik mampu kesuburan tanahnya sebaliknya pertanian kimiawi merusak kesuburan tanah.”
Maka perlu ditumbuhkembangkan kemandirian petani dan masyarakat melalui pertanian organik, pertanian organik ini didukung juga melalui penggunaan pupuk kompos, pestisida alami, budidaya padi melalui padi organik, dan pembenihan/pemuliaan tanaman. Pupuk kompos diciptakan melalui daun-daun yang kering, sampah basah, kotoran ternak.
Pupuk kompos ini juga telah digalak oleh salah satu Media Harian di Surabaya bekerjasama dengan Pemerintah kota Surabaya mencanangkan Green and Clean dengan gerakan penghijauan dan mengurangi sampah dari Tempat Pembuangan Akhir melalui pemilahan sampah diantaranya sampah basah, kertas, dan plastik. Sampah basah ini diolah kembali menjadi pupuk kompos melalui keranjang Takakura yang telah diproduksi oleh pihak Pusdakota, sampah kertas didaur ulang digunakan sebagai diary msupun bingkai yang dikombinasi dengan daun kering ataupun biji-bijian dari pohon pinus, sedangkan plastik didaur ulang menjadi souvenir yang apik seperti tas dari kemasan deterjen, topi, vas bunga, dan bunga dari bahan plastik.
Tidak hanya pupuk kompos masyarakat juga perlu melakukan diversifikasi pangan dengan menanam berbagai ragam sumber pangan, diantaranya jagung, ketela, ubi, sukun, kelapa, sayuran dan buah. Salah satu contoh yang dilakukan Bapak Tatang H Soerawidjaja membuat bahan baker dari Ubi-ubian, yakni Singkong yang dinamakan Biofuel. Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari tumbuhan atau hewan, biasanya dari pertanian, sisa padatan juga hasil hutan. Coba kita lihat biofuel, khususnya etanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, tanaman-tanaman seperti Singkong dapat dikonversi menjadi bahan bakar, (Sumber : Trubus, Judul : Mengebor Bensin di Kebun Singkong, 12/01).
Jangan berpikir kalau belum makan nasi (beras, red.) berarti belum makan. Pemikiran yang kolot untuk dibuang jauh-jauh. Hal ini juga dibarengi dengan usaha ekstensifikasi membuka lahan baru tanpa merusak daya dukung alam. Perlu diberi kesempatan mengolah lahan milik pemerintah dalam meningkatkan lapangan pekerjaan. Pemerintah janganlah egosi lahan yang ada hanya diperuntuk kalangan pemodal ataupun investior untuk pembuatan mal, villa, hotel, dan Ruko. Pembuatan mal, villa, hotel, dan ruko suatu kebijakan yang tidak berpihak pada petani. Padahal kebutuhan pangan sangat mendesak harus segera direalisasikan untuk kepentingan bersama.
Untuk mengembalikan semangat dan mental petani pada pertanian yang ramah lingkungan dan menghasilkan makanan sehat diperlukan adanya pencerahan untuk penyadaran. Pencerahan yang dilakukan dan didukung oleh semua pihak dan terlebih kebijakan pemerintah baik soal perundang-undang, anggaran, tenaga dan perhatian untuk implementasi.
Tidak hanya pertanian organik yang telah digalak oleh berbagai LSM, seperti di Blitar dan Magelang. Perlu juga usaha ternak dan ikan, ternak ini berfungsi sebagai tabungan dan tenaganya bisa dimanfatkan untuk membantu para petani membajak sawah dan mengurangi penggunaan traktor, karena harga BBM sekarang ini sedang gil-gilaan. Dagingnya dapat meningkatkan mutu gizi keluarga para petani. Petani juga bisa melalukan usaha tanaman toga dapat menghasilkan obat-obatan alami tanpa harus mengeluarkan biaya lagi untuk ke dokter, karena tidak semuanya obat atau resep dari dokter berasal dari alami juga berasal dari bahan kimian. Memang kita sehat tetapi daya tahan tubuh kita lemah.
Untuk itu perlu dilakukan penanaman pohon, diantaranya pohon penghijauan, pohon buah, dan pohon industri di berbagai tempat, salah satunya yang dilakukan oleh Komisi Justice, Peace and Integration of Creation (JPIC) dari tarekat SVD dan SSpS Jawa mengadakan aksi bersama penanaman 6.000 pohon mangrove pada Sabtu, (14/6) di pantai timur Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Kegiatan ini bekerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Surabaya, Gereja Katolik Roh Kudus, dan warga Wonorejo, menanggapi isu pemanasan global atau global warming, perubahan iklim, serta penggerusan pesisir pantai Wonorejo, Surabaya (Sumber Jubelium), karena penanaman pohon ini berfungsi sebagai penyangga kebutuhan air di saat musim kemarau dan pelindung laju air (run-off) yang perlu mendapat perhatian serius, hutan di Pulau Jawa tinggal 10%.
Begitu juga dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya telah mengalakkan Ruang Terbuka Hijau, diantaranya Kebun Bibit, Taman Bungkul, Taman Apsari, dan Taman Prestasi. Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikemas menjadi ekosistem yang cukup tinggi manfaatnya bagi masyakarat kota Surabaya, karena RTH berfungsi sebagai filter udara dan daerah tangkapan air, dan mengurangi kadar zat pencemar udara serta menambah kenyamanan kota. RTH juga sangat efektif mengurangi efek-efek climatological heath pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya anomali-anomali pergerakan zat pencemaran udara yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan maupun mahluk hidup.
Akhirnya RTH melahirkan suatu tempat yang menyajikan unsur refreshing, tempat wisata, keindahan bunga dan pohon, satwa yang ada juga memilki nilai pendidikan lingkungan. Hal ini direspons oleh SDK St. Theresia I, peraih penghargaan Adiwiyata 2007 untuk selalu menumbuhkembangkan pendidikan nilai melalui peka, peduli, dan berbudaya lingkungan sebagai interaksi antara manusia dengan alam telah diterapkan oleh mereka dengan memilah dan mendaur ulang sampah, baik itu sampah daun, basah, plastik, dan kertas. Bahkan komunitas biara, Puteri Kasih (PK) yang berpusat di Kediri pun peka, peduli, dan berbudaya ramah lingkungan dengan menggalakkan daur ulang plastik dari berbagai plastic kemasan deterjen disulap menjadi souvenir yang cantik, yakni tas jingjing.
Umat Katolik, khusunya Keuskupan Surabaya baik di Paroki maupun di Stasi hendaknya mempunyai inisiatif untuk membuat program pengadaan ruang terbuka hijau, penanaman pohon, usaha ternak dan ikan, usaha tanaman pangan dimulai dari keluarga sendiri dan yang terpenting menjaga kesehatan lingkungan untuk mengantisipasi krisis pangan dan lingkungan di tahun 2018. (asep.)

Tidak ada komentar: