Selasa, 16 September 2008

Tahbisan

Doa Orangtua Selalu Mengiringi

Menjadi romo merupakan kebanggaan yang sangat besar bagi keluarga. Tetapi, perlu diingat bahwa tantangan dunia saat ini luar biasa besar. Enam imam baru dari Keuskupan Surabaya ini ibarat bayi yang masih belajar berjalan. Untuk belajar jalan, diperlukan dukungan dari orangtua dan umat.
Stefanus Markun (56), ayah dari Romo Stanislaus Dadang Ardiyanto, yang berasal dari Ponorogo ini memuturkan, sejak kecil anaknya ingin jadi "orang", di antaranya pegawai dan pejabat, termasuk romo. Jadi romo yang baik, romonya romo, dan mengayomi umatnya.
Pribadi Dadang itu menarik, dewasa, berani memutuskan hidupnya mau ke mana. Tetapi kelemahannya, kata Pak Markun, banyak diam dan terlalu serius menjalani hidup. Orangtuanya ingin Dadang itu humoris, tidak terlalu serius. "Nanti dikira romo ini sombong atau tidak acuh kepada umatnya," tuturnya.
Dia berpesan kepada Romo Dadang bahwa moto yang dibuatnya janganlah menjadi slogan, melainkan digeluti sebagai pengabdian mengikuti Kristus. Kalau istilah Jawanya, Abdi Dalem, itu harus setia kepada tuannya. Tidak boleh mbanggel kepada tuan! Ayahnya berkendak Romo Dadang tidak mementingkan atau tertarik pada orang-orang tertentu, tapi memperhatikan seluruh umat, tidak memandang umat itu kaya atau miskin.

Begitu pula yang dikatakan oleh Yosepha Finansia Trisnasuprapti (58), ibunda Romo Thomas Christiawan CM. Ketika Thomas memutuskan melanjutkan studi di Seminari Menengah Garum, ibunya sempat stres selama tiga bulan, karena anaknya hanya dua. Kakaknya pada waktu itu kelas tiga SMA mau jadi suster, Brigita Desi Ariyani. Pertama kali ibunya mengatakan kepada kakaknya, kalau jadi suster dari SMA kerjanya membersihkan kamar mandi dan kakus.
Begitu mendengar percakapan tersebut, Thomas tergesa-gesa melontarkan ucapan bahwa dia juga mau jadi romo. Kaget, ibunda mengatakan tidak mengizinkan sang anak masuk seminari karena dia anak laki satu-satunya. Tetapi karena keinginan yang sangat kuat, ibunda tidak berbuat apa-apa. "Ya, terserah kamu," kenang Ibu Yosepha.
Akhirnya, sang ibu mengatakan, kalau kamu mau masuk ke seminari, surat-surat kamu urus sendiri. Setelah itu Thombas bilang kepada ibunda: "Saya tidak mempunyai uang untuk biaya surat menyurat dan check up." Ternyata, apa yang dikatakan Thomas itu bohong. "Saya tahu sejak kecil, Thomas suka menyimpan uang di bawah bantal. Bahkan, setiap selesai makan permen di taruh di bawah kasur. Ibu juga tidak boleh mengganti seprei, harus menunggu dulu Thomas pulang dari sekolah."
Setelah sekian tahun menggeluti perziarahan panggilan, Thomas mengatakan serius menjadi romo yang akan mengabdi Tuhan dan melayani sesama. Mendengar itu, Ibunda Thomas berpesan kalau memang mau menjadi romo, pakailah jubahmu sampai mati. Dan, sebelum naik di altar menerima jubah dan stola, pikirkan benar-benar keputusanmu. Kalau memang ya berangkatlah dengan membawa wejangan Ibunda ini. Akhirnya, Ibunda ikhlas mempersembahkan anaknya kepada Tuhan.
Tidak hanya orangtua Romo Dadang dan Romo Thomas yang menyertai jalan panggilan anaknya. Orangtua Romo Lorentius Rony men-sharing keunikan Rony. Rony ini cita-citanya tinggi sekali, displin, dan tidak bertele-tele. Pada waktu itu di Paroki St. Yusup Karangpilang ada kunjungan frater-frater dari Jogjakarta. Dari situlah Rony tertarik untuk menjadi romo. Maka, lulus dari SMAK St. Yusup, Surabaya, dia memutuskan masuk Seminari Menengah Garum, kelas khusus.
Keputusan ini didukung oleh ayahnya. Sang ayah berpesan supaya Rony jangan membedakan umat kaya atau miskin. Kaya atau miskin itu sama saja. “Terlanjur terjun sekalian aja minum air, tidak ada kata nanggung dalam menapaki perziarahan batin ini." pesan Nikolaus Ora Ronggi kepada anaknya. (asep)

Tidak ada komentar: