Jumat, 02 Juli 2010

Cerpen


Lebah
Oleh Kumbakarna

Sebetulnya, sudah lama aku tidak pernah bermimpi tentang lebah hitam. Sosok lebah dengan bulu hitam di sekujur tubuhnya, yang bersayap hitam dengan beberapa lingkaran emas di luarnya, yang bersungut pengisap dan juga berwarna hitam. Tapi tiba–tiba saja aku hari ini berjumpa lagi dengan dia. Tidak lagi di dalam mimpi, tapi di dunia nyata.

“Pagi, Sayang….”

Ah, suara Nena pagi itu begitu renyah. Tiba–tiba saja dia nongol di kamarku, lalu dengan seenaknya menarik sarungku hingga angin pagi yang dingin dengan rakus menerjang kulit kakiku yang telanjang. Ya, aku memang terbiasa tidur dengan hanya mengenakan celana pendek dan berbalut sarung. Udara kota ini terlalu panas untuk mengenakan piyama ala orang–orang Eropa. Bahkan kalau saja tadi malam tidak hujan, mungkin sarung itu pun sudah dari tadi terjatuh di atas lantai.

“Ayo, bangun, Sayang…," katanya sesudah mengecup bahuku. “Hari ini kau kan ada janji,” ujarnya sambil terus menebar senyum bahagia. “Janji apa?” bingung aku dibuatnya. “Janji apa?! Bukankah kau sudah lima hari magang di kantor komisi? Dan hari ini adalah hari di mana kamu akan mulai bekerja. Masa kamu lupa, Sayang?”

Nena, Nena, aku tak tahu harus berkata apa. Dia terlampau bahagia pagi ini. Mendengarku akan bekerja saja, telah membuat sebagian mimpinya terbang mendekati kenyataan. Tahun depan kami akan punya cukup uang untuk menikah. Tahun depan, tahun depan…, tiba–tiba saja kulihat lebah hitam itu berkelebat masuk bersama angin. Dia berdiri di samping Nena dengan lagaknya yang manis. Pada Nena dia tersenyum, lalu padaku, dia menyeringai.

Kemarin adalah hari terakhirnya magang di kantor komisi itu. Dia memulai pekerjaan itu dengan sebuah niatan yang dia kira adalah baik. Dia sudah lama tidak bekerja secara tetap, dia ingin memiliki penghasilan yang layak setiap bulan, dia ingin membenahi hidup, dan yang pasti, dia ingin mengumpulkan uang agar dapat kawin dengan Nena kekasihnya yang sudah hampir dua tahun ia pacari. Dan satu lowongan terpampang di hadapannya, menjadi sekretaris di kantor komisi. Indah bukan? Bekerja sekaligus melayani. Apalagi ada berpuluh pengalamannya menjadi relawan yang melahirkan beratus impian untuk mencurahkan tenaga demi kemajuan umat. Bonum commune, seperti yang sering digembar–gemborkan seorang pastor baik hati dalam berbagai pertemuan.

Entah bersama relawan ataukah bersama umat kebanyakan. Dalam diskusi ataupun khotbah. Lalu dia jalani saja masa orientasi itu, tanpa pernah berpikir panjang. Bukankah tempat ini adalah tempat di mana cinta berasal, mungkin begitu pikirnya.

Lebah hitam berdiri memandang lelaki lugu itu. Lelaki itu tampak asyik di belakang meja, memainkan jemari di atas keyboard komputernya, dan sang lebah asyik merokok tepat di bawah tanda dilarang merokok di seberang kaca hitam yang membatasi ruangan sang lelaki. Sesungguhnya lebah sendiri bingung untuk menilai lelaki itu. Apakah dia itu lugu atau dungu? Bekerja dan terus bekerja, tanpa pernah tahu berapa upah yang akan ia terima. Hingga tiba–tiba handphone di sakunya berdering melantunkan lagu Terajana. Sebentar saja lelaki itu mengamati layar, dan tidak perlu waktu lama ia mengangkatnya dengan wajah yang gembira. “Halo, Romo…” serunya.

Para lebah sedang terbang di antara bunga. Di kota ini saja, ada sekitar 21 rumpun jumlahnya. Sebagian memang penuh dengan nektar, sebagian lagi agak kerontang. Berkeliling para lebah mengumpulkan nektar hingga berpeti–peti jumlahnya. Dan nektar–nektar itu dibawa ke sebuah gudang di sebuah istana. Tak pernah jelas apakah gudang itu kosong ataukah tumpah ruah. Para lebah memang pintar menyamarkannya. Gudang itu adalah sebuah rahasia. Hanya para lebah yang tahu berapa banyak isinya. Dan lebah hitamlah yang menjadi palang pintunya. Lebah yang lain, ada yang tergugah, tapi hanya mampu diam seribu bahasa. Ya, tetap saja mereka adalah lebah.

Ada banyak manusia yang bekerja di sekeliling istana lebah. Sebagian dari mereka terjebak. Bertahun–tahun berupah rendah. Sebagian jujur bertahan. Sebagian mulai berubah serupa lebah. Dan di antara mereka ada pula yang mulai menghitam bulunya.

Kutarik lagi sarungku. Lalu kubalikkan badanku hingga memunggungi Nena. “Ayolah, Sayang,” rajuknya. “Nanti kamu terlambat loh…!”

Kubalikkan lagi tubuhku hingga menghadapnya. Sejenak aku menatap matanya yang bulat hitam lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang. Kuraih tangannya dan kuajak Nena duduk di sebelahku. "Kenapa, Sayang?” tanyanya dengan heran. “Aku tidak jadi bekerja di sana, Nena,” ujarku. Nena terperanjat, “Loh, kenapa?”

“Aku hanya ditawari upah 600 ribu.”
“Lalu?”
“Ya, aku tolak.”
“Mengapa kau tolak?”
“UMR saja lebih dari 900 ribu, Nena.”
“Tapi, daripada kau menganggur….”

Aku diam memandang Nena. Pagi yang indah, seketika berubah menjadi petaka. Ah, betul juga katanya, daripada aku menganggur. Sejenak aku tercenung, menerima lemparan kata-kata itu, daripada aku menganggur. Tapi bagaimana aku dapat bekerja untuk para lebah? Karena aku adalah manusia dan manusia ingin dapat hidup layak. Sedangkan mereka…. (*)

Tidak ada komentar: