Selasa, 16 September 2008

*Tahbisan Imam Keuskupan Surabaya dan Kongregasi Misi

Menghapus Mitos Panggilan


“Orang sering kali memiliki mitos yang kurang tepat tentang panggilan. Mereka berkata, 'Saya tidak punya panggilan." Tidak ada istilah seperti itu. Malahan, saya sendiri yang memanggil kamu sekalian untuk menjadi imam-imam bagi umat. Itu juga panggilan! Malahan langsung dari saya.”

Penegasan ini disampaikan Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono dalam kotbah di depan kurang lebih 2.000 umat yang hadir di Gereja Katedral “Hati Kudus Yesus” Surabaya. Sore itu, 14 Agustus, umat berbondong-bondong menyaksikan sekaligus mendukung enam frater diakon yang akan ditahbiskan menjadi imam.
Sembari merayakan Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, umat Keuskupan Surabaya juga mengadakan perayaan besar bagi para imam. Perayaan tersebut adalah tahbisan imam yang dipimpin langsung oleh Mgr. Vinsensius Sutikno Wisaksono. Imam baru itu empat imam Praja Surabaya dan dua imam Lazaris (CM).
Para diakon yang ditahbiskan adalah Felicianus Joni Dwi Setiawan (dari Paroki St. Yosef, Ngawi), Ignatius Prasetyo Ambardy (dari Paroki St. Maria Annuntiata, Sidoarjo), Laurensius Rony (dari Paroki St. Yusuf, Karangpilang, Surabaya), Stanislaus Dadang Ardianto (dari Paroki St. Petrus-Paulus, Wlingi, Blitar), Lorentius Iswandir CM (dari Paroki St. Yusup, Blitar), dan Thomas Christiawan (dari Paroki Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Malang). Ini kali kedua Mgr. Sutikno menahbiskan para imamnya, setelah menjadi Uskup Surabaya.
Pada misa konselebrasi tahbisan imam ini, Mgr. Sutikno Wisaksono didampingi oleh Pastor Paulus Suparmono CM (Provinsial CM Indonesia) dan Pastor P.C. Edi Laksito (Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya). Misa dihadiri lebih dari 100 imam, baik dari Keuskupan Surabaya maupun dari luar. Hampir sebagian besar dari mereka bekerja di Keuskupan Surabaya. Selain untuk mendukung para imam baru, kehadiran mereka dalam upacara tahbisan ini juga sekaligus untuk bernostalgia. Ada juga dari antara mereka yang merayakan ulang tahun imamat.

Kristus yang Lain
Mgr. Sutikno mengingatkan bahwa imamat adalah karunia khas yang diperoleh Gereja. Para imam bertindak sebagai alter Christus, Kristus yang lain. Mereka menjadi Kristus yang hadir di tengah-tengah umat. Untuk itu, mereka perlu mempunyai suatu dasar yang teguh. Yakni, harus mengobarkan karunia Allah yang ada dalam dirinya dan menjadi penyalur rahmat kepada umat.
“Para diakon yang akan ditahbiskan ini layak dipilih dan diteguhkan oleh Allah. Kristus telah memberdayakan dan bukan memperdayai kalian semua yang lemah ini untuk membangun relasi yang intim dengan Allah sendiri. Bukti nyata kedekatan seorang imam dengan Tuhan, nampak lewat doa-doa personal mereka. Lebih dari itu, berkat kekuatan Roh Kudus, para imam semakin didekatkan dengan diri-Nya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Mgr. Sutikno mengajak para imam baru dan imam yang lain untuk rajin mengikuti rekoleksi maupun retret yang diadakan oleh Keuskupan Surabaya. Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memupuk hidup rohani mereka. “Rayakanlah Ekaristi dengan senang hati dan penuh syukur! Tapi ingat, bahwa imam bukanlah seorang tukang misa. Imam juga harus menjadi man of communion, pemimpin dari persekutuan yakni Gereja. Dalam hidupnya, dia harus memupuk cinta kasih pastoral dalam tugas dan pelayanan. Hendaknya kalian bisa akrab satu sama lain, terlebih dengan sesama imam. Lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Carilah harta surgawi dan bukan yang duniawi. Janganlah menjadi gembala-gembala yang malah memakan domba-dombanya. Kenakanlah pakaian hamba dan pengurus rumah tangga Allah dan berusahalah setia dalam perkara-perkara kecil dan juga besar,” papar Mgr. Sutikno.
Tambahnya, menjadi seorang imam tidaklah harus seorang yang cerdas. Tapi satu hal yang dituntut oleh seorang imam, yakni bahwa dirinya haruslah suci. Itu yang harus dibangun dalam diri.
Secara khusus Monsinyur berpesan supaya umat berkenan menerima para imam baru ini sebagai pelayan rohani bagi umat. Mereka adalah Bapa/Romo bagi Anda sekalian yang pantas diterima karena memang mereka adalah para pelayan spiritual. Imam tidak perlu dikasihani. Malahan, kita patut berdoa bagi para imam agar mereka tetap disemangati dan dikuatkan oleh Roh Kudus.

Dari berbagai tempat
Seperti biasanya, misa penahbisan didatangi oleh banyak umat dari penjuru Keuskupan Surabaya. Banyak umat yang hadir dari berbagai paroki. Tak ketinggalan juga para adik kelas dari imam baru ini, yakni para frater yang berasal dari Seminari Tinggi Interdiosesan “Beato Giovanni XXIII” dan Seminari Tinggi CM S-1 (Langsep) dan S-2 (Badut), di Malang. Banyaknya umat yang hadir tidak membuat suasana upacara menjadi riuh.
Bertugas sebagai seremonarius misa kali ini adalah Pastor Dicky Rukmanto (Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya). Untuk mengurangi ketegangan umat, sesekali Pastor Dicky membuat umat tersenyum karena gayanya. Pastor yang pernah bertugas sebagai Direktur Tahun Rohani di Malang ini sekarang bertugas di Paroki St. Stefanus, Tandes, Surabaya.
Mewakili para imam baru, Pastor Thomas Christiawan CM menyampaikan sambutan. “Imamat bukanlah akhir bagi kami, tetapi malah sebaliknya menjadi awal bagi perjuangan kami, para imam baru. Seperti halnya seorang atlet yang akan mengikuti pertandingan olimpiade, kami menganggap bahwa diri kami ini masih baru lolos kualifikasi dan akan bertanding di ajang olimpiade sesunggungnya.
"Kami baru masuk dan berjuang dalam laga pertandingan. Masih banyak tantangan yang akan kami hadapi dan kami akan berusaha untuk tetap menjadi imam sampai akhir hayat kami. Untuk itu, kami tetap mohon doa dan dukungan dari umat agar kami senantiasa setia sampai akhir. Justru karena kami ini lemah, Allah berkenan memilih kami sebagai sarana penyalur rahmat bagi umat,” ucap Rm. Thomas, yang banyak dikenal oleh teman-temannya karena badannya yang kurus.
Sebuah wejangan menarik disampaikan oleh Bapak Stefanus Markun (ayahanda Pastor Dadang Ardianto). Dia menyampaikan bahwa para imam harus siap setiap waktu untuk menjadi gembala yang baik. “Menjadi gembala harus siap menghadapi segala risiko. Bukan hanya harus siap untuk menggembalakan domba-domba, tetapi harus siap juga untuk di-kencingi dan di-srinthili oleh kambing-kambingnya.
"Kami akan bangga bila anak-anak kami menjadi imam yang sukses dan dapat menggembalakan umat dengan penuh kesetiaan. Sebaliknya, kami orangtua para imam, akan menjadi stres ketika anak-anaknya dirasani oleh umat. Bahkan, bisa saja kami akan cepat mati kalau mendengar berita yang menyedihkan tentang anak-anak kami,” katanya. Oleh karena itu, Markun mengajak para imam baru untuk mau belajar dari para romo senior. Secara khusus, para orangtua memohon supaya para romo senior berkenan mendampingi dan membimbing anak-anak kami yang masih muda-muda ini.
Usai misa, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah yang diadakan di samping Katedral. Dalam acara ini, Mgr. Sutikno juga mempersembahkan sebuah lagu bagi para hadirin. (Dhani Driantoro)

2 komentar:

rinus pantouw mengatakan...

Notulensi yang bagus dan mengena, terutama seperti kondisi sekarang dimana sakramenImamat tetep up todated untuk diperkenalkan kepada Umat sehingga siapapun akan merasakan betul kekuatan sakramen Imamat bagi kekuatan Iman Katolik dan memulyakan kerajaan Allah.

rinus pantouw mengatakan...

Notulensi yang bagus dan mengena, terutama seperti kondisi sekarang dimana sakramenImamat tetep up todated untuk diperkenalkan kepada Umat sehingga siapapun akan merasakan betul kekuatan sakramen Imamat bagi kekuatan Iman Katolik dan memulyakan kerajaan Allah.