Senin, 01 Juni 2009

Ziarah Bersama Tuhan


Aneka Rasa “Cokelat” Panggilan
Oleh Y.B. Nuroto

Dalam sebuah Perayaan Ekaristi dalam rangka Aksi Panggilan, seorang pemuda (tampangnya kayak Frater...) berdiri di mimbar dan berkata:
“Saudara-saudari yang terkasih, panggilan itu ibaratnya butiran-butiran cokelat. Banyak ragam bentuk, jenis dan rasanya. Ada cokelat rasa petani, ada cokelat rasa pegawai, ada cokelat rasa pedagang, ada cokelat rasa rohaniwan/wati, ada cokelat rasa pelajar atau mahasiswa, ada cokelat rasa TNI/Polri, ada cokelat rasa peternak, ada cokelat rasa .... (silakan diisi sendiri, rasa apa yang disukai atau diingini) dan masih banyak lagi rasa-rasa yang lain.

"Namun, pada umumnya orang-orang hanya mengenal dan menginginkan satu rasa cokelat: cokelat rasa rohaniwan/wati!!! Orang belum menyadari – sekalipun telah mengalami dan merasai sendiri – keberadaan cokelat-cokelat rasa yang lain. Orang-orang kerap hanya terpaku memandang cokelat yang satu itu sehingga tidak memperhatikan keberadaan cokelat-cokelat lain, yang bertebaran di sekelilingnya. Entah terlalu silau oleh pesona rasanya atau memang benar-benar belum tahu.”

*****

Entah mengapa, kata “panggilan” akrab dikaitkan dengan hidup dan golongan orang tertentu saja. Panggilan bahkan telah menjadi identik dengan hidup para romo, bruder, suster, frater, dan kelompok kaum berjubah lainnya. Benarkah Tuhan hanya memanggil orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ini? Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang hidup di luar (tembok) kelompok-kelompok ini? Adakah panggilan dalam hidup mereka? Mungkinkah Tuhan juga memanggil mereka?

Bertolak dari orasi pemuda tersebut di atas, saya melihat adanya “reduksi” istilah panggilan. Terjadi semacam eksklusivikasi dalam/terhadap panggilan. Seolah-olah hanya mereka yang berjubah itulah yang dipanggil Tuhan. Akibatnya, ada semacam “arogansi” dari kelompok ini karena merasa diri “dipanggil” Tuhan. Tidak dipungkiri bahwa mereka memang dipanggil oleh Tuhan bahkan secara khusus, sebagai pelayan jemaat. Namun, bukan berarti hal itu harus “meniadakan”, “menyingkirkan” dan “menegasi” yang lain. Memandang lebih rendah eksistensi panggilan hidup yang lain.

Tidak disangkal bahwa kesan ini muncul karena beberapa “tetes nila, hingga rusaklah susu sebelanga”. Di lain pihak, faktor pandangan dan perlakuan umat pun kerap kali mendukung tercipta dan berkembangnya situasi yang demikian ini. Hal yang demikian ini menjadi semacam pupuk penyubur bagi berkembangnya neofeodalisme dalam tubuh Gereja.

Bagi saya, semua yang lahir, yang hidup – utamanya manusia tentu saja – adalah dipanggil oleh Tuhan. Hidup ini adalah sebuah panggilan, tidak terbatas dan hanya menunjuk kelompok tertentu (kaum berjubah) saja. Dengan hidup, manusia dipanggil untuk menjaga dan memelihara serta mengusahakan perkembangan segala anugerah yang telah Tuhan berikan secara cuma-cuma, demi kemuliaan nama-Nya dan keselamatan umat manusia serta segala makhluk. Hal ini tentu saja dapat dilakukan dengan beraneka macam cara dan jalan. Bertani, berdagang, beternak, menjadi pegawai kantor pemerintahan ataupun swasta, menjadi guru, TNI-Polri dan masih ada seabreg jalan hidup yang lain, yang juga panggilan Tuhan. Dengan ini, pertanyaan “Apakah hanya kaum berjubah saja yang dipanggil Tuhan” kiranya telah mendapatkan jawabannya.

Menurut pemahaman saya, panggilan bukanlah masalah “apa”, namun lebih merupakan persoalan “bagaimana”. Bukan masalah “apakah” aku seorang petani atau pedagang atau pegawai atau romo/suster dan seterusnya, namun lebih pada “bagaimanakah” aku menghayati semuanya itu sebagai panggilan dari Tuhan. Kalau semuanya menginginkan cokelat rasa romo atau suster atau bruder atau frater, bagaimanakah dunia ini akan berkembang?

Setiap kelahiran adalah sebuah panggilan. Panggilan untuk hidup, untuk selanjutnya hidup demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan seluruh ciptaan.

Ada begitu banyak jalan hidup atau panggilan. Mungkin jumlahnya “sebanyak jalan ke Roma”. Semua dari kita adalah dipanggil oleh Tuhan, secara lebih khusus lagi: setiap dari kita yang telah dibaptis dan dikuatkan dengan Krisma adalah dipanggil oleh Tuhan untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia yang semakin “menggila” ini.

Dengan lahir manusia dipanggil untuk hidup. Dengan hidup ia dipanggil untuk memuliakan namaNya dan menyelamatkan segala ciptaan yang telah dianugerahkan-Nya. Berkat Baptis dan Krisma, kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah. Berkat Baptis kita telah menerima IMAMAT UMUM sebagai umat Allah dan dipanggil untuk mewarisi tritugas Kristus: untuk memimpin, menguduskan dan mewartakan kabar sukacita-Nya di tengah-tengah dunia.

Yang membedakan dengan para kaum berjubah utamanya para klerus yang memperoleh TAHBISAN suci sebagai tanda penerimaan anugerah IMAMAT KHUSUS “hanyalah” soal wilayah (kekuasaan) dan tugas/fungsi perutusannya. Hakikatnya adalah sama. Sama-sama dipanggil demi kemuliaan nama-Nya dan keselamatan segala makhluk.

*****

Akhirnya, marilah kita bercermin guna berbenah, mengubah segala kekeliruan pandangan atau anggapan serta perspektif yang kita anut dan pegang erat selama ini. Kita semua sama. Sama-sama dipanggil oleh Tuhan untuk mewartakan kabar keselamatan-Nya. Baik sebagai romo, suster, bruder, frater ataupun sebagai petani, pedagang, tukang, guru, pegawai dan seterusnya, adalah sama di hadapan dan dalam panggilan Tuhan. Perbedaan itu “hanyalah” soal wilayah dan tugas/fungsi di dalam perutusan. Yang lainnya adalah sama. Sama-sama sebagai umat Allah yang sedang berziarah di tengah padang gurun dunia.

Sekali lagi, marilah kita melihat dengan kacamata yang baru dan benar bahwa yang ada bukan hanya cokelat rasa rohaniwan/wati saja, tetapi masih ada banyak rasa cokelat yang lain, yang menanti untuk kita nikmati. [NOR@]

Tidak ada komentar: